Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IGNAS KLEDEN
Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)
PEMIKIRAN politik kiri, yaitu filsafat politik yang menekankan persamaan dan keadilan, merupakan semangat zaman sekaligus intellectual fashion tempat hampir semua pendiri Republik Indonesia bertumbuh dan menjadi matang. Soekarno terpukau pada teori imperialisme Lenin, Hatta mempelajari ekonomi sosialis negara-negara Skandinavia dan memperjuangkan koperasi sebagai perwujudan ekonomi kerakyatan, Tan Malaka mencoba menerjemahkan sosialisme ilmiah ke dalam teori Madilog sebagai epistemologi materialis untuk mengikis alam pikiran mistis dan takhayul, sedangkan Sjahrir memperkenalkan dan mendirikan partai politik dengan asas sosial-demokrasi.
Dalam sejarah sosialisme di Barat—sebagaimana dijelaskan Sjahrir —konsep sosial-demokrasi muncul pertama kali di kalangan kaum sosialis Jerman di bawah pimpinan Eduard Bernstein, setelah berdirinya Gerakan Buruh Internasional II (dikenal sebagai Internasional II) di Paris pada Juli 1889. Internasional II lahir dua dasawarsa setelah Internasional I yang didirikan pada 1864 dengan mengikuti gagasan Marx, hancur berantakan oleh revolusi 1871 yang menelan korban lebih dari 20 ribu jiwa.
Menjelang akhir abad ke-19 terjadi perkembangan baru dalam industri di Eropa, yang tak sesuai dengan ramalan Marx tentang tahapan-tahapan menuju revolusi proletar. Industri bertumbuh pesat, kaum pekerja pabrik bertambah banyak dan proletarisasi memang meluas, tetapi kaum buruh tidak menjadi semakin miskin dan sengsara, tidak mengalami Verelendung sebagaimana diramalkan Marx. Demikianpun buruh tidak menjadi lebih radikal karena ditemukan metode baru untuk memperbaiki nasib mereka melalui mogok dan hak pilih.
Bernstein tampil dan mengusulkan agar kaum sosialis Jerman melepaskan diri dari ajaran Marx dan mendirikan partai politik sendiri. Sifat internasional gerakan buruh ditolak, karena menurut Bernstein dan pengikutnya, buruh tetap mempunyai tanah air. Ajaran Marx perlu direvisi secara besar-besaran sehingga gerakan ini dinamakan revisionisme di kalangan Marxis. Pemisahan kaum sosialis Jerman dari Marxisme ortodoks ditandai oleh terbitnya buku Bernstein berjudul Voraussetzungen des Sozialismus und die Aufgaben der Sozialdemokratie (syarat-syarat sosialisme dan tugas-tugas sosial-demokrasi) pada 1899.
Seperti biasa, munculnya kritik kepada Marx menimbulkan anti-kritik yang sama gencarnya mempertahankan Marxisme. Alhasil, pergolakan dalam kalangan Marxis Jerman melahirkan tiga sayap pergerakan, yaitu sayap kanan di bawah pimpinan Bernstein yang menganjurkan sosial-demokrasi, sayap tengah dengan dua tokoh utama, August Bebel dan Karl Kautsky, yang menolak mogok sebagai metode perjuangan kaum pekerja, dan sayap radikal di bawah Rosa Luxembourg. Internasional II praktis bubar dengan pecahnya Perang Dunia I, sampai muncul Internasional III sesudah pecah Perang Dunia II. Tiga pimpinannya yang kemudian memainkan peranan penting adalah Lenin, Trotsky, dan Stalin, yang mencoba menghidupkan kembali impian semula dari Marx, yaitu mengobarkan revolusi proletar di seluruh dunia.
Menarik bahwa meskipun pemikiran politik kiri, khususnya Marxisme, menjadi suasana umum dalam alam pikiran para pendiri republik Indonesia, yang mempersatukan semua mereka adalah nasionalisme dan keyakinan tentang kemerdekaan tiap bangsa sebagai sesuatu yang niscaya dan mungkin dilaksanakan. Aneh sekali, misalnya, bahwa Tan Malaka, yang menjadi seorang Marxis sejak muda, menjadi tokoh pertama yang memikirkan dan merencanakan bentuk negara Indonesia yang akan merdeka, yaitu republik. Ini jelas menyimpang dari Marxisme ortodoks yang amat menekankan sifat internasional dari gerakan proletar sedunia.
Menarik juga bahwa tidak banyak dari antara para pendiri republik yang berbicara tentang demokrasi sebagai isu penting untuk Indonesia Merdeka. Mungkin hanya Hatta dan Sjahrir yang memberi perhatian khusus kepada pentingnya demokrasi sebagai sistem politik yang dapat diusulkan dan melakukan pendidikan politik untuk mempersiapkannya. Koperasi dalam pengertian Hatta tak lain dari perwujudan demokrasi dalam bidang ekonomi. Sementara itu Sjahrir tak bosan-bosannya mewanti-wanti risiko pemikiran kiri dan euforia nasionalisme yang tidak diimbangi dengan semangat demokratis.
Terhadap pemikiran Marxis Sjahrir menolak bahwa individu tidak penting dan hanya menjadi unsur dan nomor dalam perjuangan kelas. Terhadap Bolsyevisme Lenin yang kemudian dipraktekkan oleh Stalin, dia mengecam keras adanya partai tunggal dan politbiro dengan kekuasaan tak terbatas. Dia tidak percaya bahwa Partai Komunis hanyalah peralihan sementara sebelum tercapai pemerintahan oleh kaum proletar dan bahwa pengorbanan manusia dalam perjuangan itu harus diterima sebagai necessary evil yang tak terhindarkan. Dengan sinis dia bertanya: bagaimana mungkin adanya partai tunggal yang dibenarkan oleh negara dan adanya politbiro yang demikian totaliter masih sejalan dengan teori Lenin tentang menghilangnya negara atau the withering away of the state, ketika proletar sudah sanggup memerintah dirinya sendiri?
Dalam pidatonya di depan Kongres Sosialis Asia II di Bombay pada 6 November 1956 Sjahrir berkata: ”Kaum sosial kerakyatan di Asia menyadari bahwa mereka mempunyai ketidaksabaran revolusioner yang sama dengan kaum komunis, tetapi mereka melihat dengan sangat jelas bahwa kaum komunis telah menempuh suatu jalan yang salah. Dituntun oleh ajaran-ajaran Lenin dan Stalin mengenai perjuangan kelas dan kesusilaan kelas, mereka menghancurkan, dalam diri mereka sendiri, jiwa serta semangat sosialisme, yaitu kemampuan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia.” Di sini terlihat Sjahrir berpaling ke demokrasi, yang mengakui bahwa secara politik rakyat berhak memerintah dirinya sendiri berdasarkan asas kedaulatan rakyat, dan secara moral kedudukan, hak serta martabat setiap orang harus dihormati dan dibela berdasarkan prinsip human dignity.
Dia menentang kekuasaan politik yang ditentukan berdasarkan susunan hierarkis dalam feodalisme maupun dalam politbiro ala Bolsyevik. Menurut Sjahrir, dalam pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dan martabat manusia, sosialisme yang dianutnya sejalan dengan demokrasi liberal, tetapi dengan satu perbedaan. Yaitu, bahwa pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dalam demokrasi sering kali masih menutup mata terhadap penghisapan satu golongan terhadap golongan lain yang jauh lebih besar.
Dia cukup realistis untuk melihat bahwa perwujudan kedaulatan rakyat hanya mungkin terlaksana apabila suatu bangsa sudah terbebas dari penjajahan asing. Karena itu dia memihak sepenuh hati kepada perjuangan kemerdekaan dan turut mendukung dengan caranya sendiri apa yang dinamakannya revolusi nasional, yang membuatnya dapat bekerja sama dengan tokoh lain yang menjadi sasaran kritiknya seperti Soekarno dan Tan Malaka. Akan tetapi dalam keyakinannya, revolusi nasional itu harus segera disusul oleh revolusi sosial, untuk mengubah susunan dan pandangan masyarakat agar pimpinan politik tidak telanjur jatuh ke tangan orang-orang yang berpikiran feodal. Kalau ini terjadi keadaannya akan menjadi sangat berbahaya karena susunan hierarkis feodal dapat segera bersekutu dengan fasisme, yang dengan mudah memanipulasi nasionalisme yang tak terkendali menjadi chauvinisme, yang bakal mempersulit pergaulan demokratis pada tingkat internasional.
Dia percaya bahwa baik sosialisme maupun demokrasi hanya bisa diwujudkan melalui kekuatan akal dan bukannya melalui jalan kekerasan. Namun sekaligus diperingatkannya bahwa penggunaan akal dapat membawa orang kepada pendewaan akal dalam ilmu pengetahuan, suatu hal yang jelas ditentang oleh tuntutan akal itu sendiri. Dia seakan meramalkan secara intuitif Dialektik der Aufklaerung (dialektik pencerahan) yang dicanangkan Max Horkheimer dan Theodor Adorno dari mazhab Frankfurt pada 1969, bahwa akal yang kehilangan kritik terhadap dirinya bakal membunuh dirinya sendiri.
Dalam sebuah esai yang penting Sjahrir menuntut agar demi perjuangan, seseorang harus bebas dari perasaan-perasaan yang menghalangi orang berpikir jujur sesuai dengan kebutuhan perjuangan. Pikiran dan tindakan hendaknya ”tidak dikuasai oleh unsur psikologis, melainkan oleh hukum akal budi dan otak yang sanggup berpikir dan bertindak menurut keadaan dan perubahan”. Tampaknya ada dialektik antara Sjahrir dan kebudayaan masyarakatnya, dan tuntutan Sjahrir mungkin hanya separuh benar. Dia lupa bahwa akal harus memperhatikan perasaan, rasio perlu menimbang psikologi, dan logika bertugas menerangi yang irasional. Kalau tidak, dialektik itu akan menelan korban, dan, tragisnya, korban itu tak lain dari diri Sjahrir sendiri, dengan meninggalkan sosial-demokrasi bagaikan yatim piatu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo