Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Peluang dan Ancaman di MEA 2015

5 Mei 2014 | 00.00 WIB

Peluang dan Ancaman di MEA  2015
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Manggi T. Habir

AGAK mengkhawatirkan sejumlah dampak yang mungkin timbul setelah dibukanya alur perdagangan, investasi, dan warga dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) pada 2015, yang kurang mendapat perhatian masyarakat. Tanpa perdebatan panjang soal untung-ruginya, sulit untuk bisa dengan baik memanfaatkan peluang sekaligus mengurangi ancaman yang timbul akibat kebijakan regional ini.

ASEAN, seperti Uni Eropa, awalnya dibentuk sebagai solusi politik dan kemudian berkembang menjadi kebutuhan ekonomi. Uni Eropa kemudian melahirkan Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC), yaitu pasar terpadu dengan mata uang tunggal euro dan alur yang bebas terhadap barang dan jasa, modal dan in vestasi, serta warga agar dapat lebih bersaing di pasar global.

Mengikuti pola Eropa, cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dirancang pada 2007 dengan tujuan mencapai alur yang bebas terhadap barang dan jasa, modal dan investasi, serta warga di antara negara-negara ASEAN pada 2015. Tapi ada perbedaan yang cukup mendasar dari Eropa. Salah satunya adalah tidak mengadopsi mata uang tunggal. Selain itu, melihat keberagaman budaya, ekonomi, dan sistem politik, ASEAN mengambil pendekatan yang jauh lebih fleksibel berdasarkan keputusan tiap anggota secara sukarela, konsultatif, dan konsensus.

Kondisi Saat Ini

Salah satu bidang MEA yang telah mencatat kemajuan besar adalah sektor perdagangan. Kelima negara pendiri ASEAN, ditambah Brunei, telah menurunkan tingkat tarif rata-rata terhadap impor dari 3,64 persen pada 2000 menjadi 0,05 persen pada 2012. Anggota baru, yaitu Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar, menurunkan tarif dari 7,51 persen menjadi 1,69 persen pada periode yang sama.

Kebijakan tarif relatif mudah dilakukan. MEA saat ini sedang memusatkan perhatian pada penghapusan hambatan nontarif yang jauh lebih sulit serta menyederhanakan dan menstandardisasi prosedur perdagangan dan kepabeanan dengan tujuan menciptakan ASEAN Single Window.

Pada alur jasa, modal, dan investasi serta tenaga kerja belum ada kemajuan yang berarti. Negosiasi juga masih berlangsung untuk sektor-sektor menarik, seperti transportasi udara dan jasa keuangan.

Tapi, meskipun muncul kritik bahwa target pemberlakuan MEA pada 2015 tidak akan tercapai, sebenarnya tren alur perdagangan, investasi, dan warga terlihat cukup menjanjikan. Perdagangan antar-ASEAN tumbuh dari US$ 121 miliar pada 1998 naik menjadi US$ 598 miliar pada 2011. Jumlah ini mewakili 28 persen dari produk domestik bruto wilayah ASEAN dan 25 persen dari total perdagangan.

Investasi asing neto yang tidak terlihat pada 2000 naik menjadi US$ 26 miliar pada 2011. Meskipun tak ada angka pasti, arus tenaga kerja inter-ASEAN, kecuali Myanmar, Brunei, dan Filipina, meningkat lebih dari dua kali lipat selama 2000-2011. Terlihat bahwa individu dan perusahaan tidak menunggu pemberlakuan MEA dan sudah mulai bergerak ke arah sana.

Peluang dan Ancaman

Secara teoretis, yang paling untung dari pasar terbuka dan kompetitif adalah konsumen. Mereka mendapat beragam pilihan, harga yang rendah, dan membaiknya layanan. Ini terjadi sewaktu Indonesia membuka sektor perbankan pada 1980-an dan industri telekomunikasi pada pertengahan 1990-an. Kelas menengah, yang berkembang pesat di wilayah ASEAN, akan menjadi pemicu yang kuat untuk terbentuknya MEA.

Sebuah pasar terpadu dan terbuka, dengan 600 juta konsumen; kelas menengah yang berkembang dengan PDB per kapita US$ 3.745; struktur demografi yang relatif muda; tingkat pertumbuhan riil rata-rata 5,4 persen; serta nilai ekonomi sebesar US$ 2,3 triliun (dibanding Cina US$ 8,3 triliun dan India US$ 1,3 triliun) merupakan daya tarik sendiri bagi perusahaan dan investor.

Sebaliknya, pemberlakuan MEA juga berarti pasar akan jauh lebih bersaing. Dalam lingkungan ini, perusahaan yang akan untung bukan hanya produsen dengan biaya murah, melainkan juga mereka yang dapat meningkatkan skala atau volume produksi serta terus memperbaiki kualitas dan layanan. Masalahnya, hanya segelintir perusahaan ASEAN yang dapat melakukan hal ini dibanding perusahaan global yang lebih besar.

Lumrah bahwa perusahaan anggota ASEAN yang lebih maju, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, terlihat dapat mengembangkan usahanya di ASEAN dan berusaha sebagai pemain lokal di tiap pasar. Dalam perbankan, misalnya, ada DBS, OCBC, dan UOB dari Singapura serta Maybank dan CIMB dari Malaysia yang sudah lebih dulu berkembang.

Perusahaan global juga melihat peluang dari keanekaragaman kawasan ini dengan membangun call center di Filipina karena kemahiran berbahasa Inggris, mendapat pendanaan di Singapura sebagai pusat keuangan, memperoleh jasa IT dari Malaysia, serta mendirikan manufaktur di Indonesia dan Vietnam karena tersedianya tenaga buruh.

Di Indonesia, investasi perusahaan Jepang sedang meningkat sesuai dengan strategi mereka merebut kembali posisi mereka dari perusahaan Korea dan Cina. Tapi perlambatan di Cina dan ketegangan politik yang menghangat di antara kedua negara atas klaim teritorial mendorong Jepang semakin mendekati ASEAN. Sektor keuangan, otomotif, dan infrastruktur mendapat perhatian yang tinggi. Perusahaan otomotif Jepang menciptakan sebuah rantai produksi suku cadang mobil yang saling terkait di antara negara ASEAN.

Peluang besar lain adalah dalam manufaktur dengan skala teknologi rendah untuk Myanmar, Vietnam, dan Indonesia dengan mahalnya tenaga Cina, yang sudah naik tingkat skala teknologi pabriknya. Industri manufaktur sudah mulai melirik kembali ke ASEAN. Muncul tantangan sejauh mana tenaga kerja ASEAN dapat mempertahankan dan meningkatkan produktivitas, keterampilan, dan daya saing.

Peluang di atas adalah yang lebih terlihat mendekati 2015. Peluang jangka panjang berikutnya untuk alur jasa, modal, dan tenaga kerja akan memakan waktu lebih lama karena bergantung pada harmonisasi standar yang membutuhkan waktu. Masa depan MEA juga akan bergantung pada keberhasilan negara-negara ASEAN mengatasi ancaman-ancaman yang muncul.

Salah satu ancaman besar adalah gejolak yang biasanya menyertai pembukaan setiap pasar, sehingga sering memantik reaksi defensif atau menutup diri. Setiap kenaikan tingkat kompetisi akan menghasilkan pihak yang menang dan yang kalah. Semakin tinggi tingkat persaingan dinaikkan, rasio antara yang menang dan yang kalah akan turun.

Kenaikan persaingan yang terlalu cepat dan ke tingkat yang terlalu tinggi akan mengundang ketegangan sosial dan reaksi negatif terhadap pembukaan pasar. Apalagi kalau pembukaan tidak disertai dengan dukungan infrastruktur regulasi dan institusi yang sesuai untuk meringankan beban dari gejolak yang timbul dan buat mempercepat transisi, lewat program pelatihan ulang, agar mereka yang kehilangan pekerjaan dapat beralih ke sektor yang lebih menjanjikan.

Situasi diperkeruh jika sebagian besar pemenang berasal dari luar negeri, yang memudahkan ramalan akan timbulnya iklim proteksionis dengan tebaran "polisi tidur" di hadapan perjalanan MEA, seperti yang terjadi beberapa bulan lalu.

Persiapan

Perbaikan infrastruktur untuk lebih menyatukan ekonomi nasional akan saya taruh di posisi paling atas pada daftar harapan (wish list). Selain itu, kita perlu membuat iklim berusaha agar lebih nyaman, khususnya memudahkan untuk mendirikan dan menjalankan usaha serta menutupnya jika gagal. Kemampuan untuk pulih dari kegagalan sangat diperlukan buat memperoleh keunggulan kompetitif.

Sejumlah perusahaan sudah beroperasi secara regional. CIMB Malaysia beberapa tahun ini melatih bersama manajer dari tiap pasar ASEAN yang berbeda. Tujuannya untuk lebih memahami setiap pasar ASEAN dan meningkatkan kinerja. AirAsia Malaysia agresif mendirikan anak usaha di negara-negara ASEAN agar bisa mendapatkan rute lokal dan regional. Dari Indonesia, Grup Ciputra juga sedang aktif mengembangkan properti di Vietnam.

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia bisa berbuat lebih banyak untuk mempersiapkan badan usaha milik negara agar keluar dari zona aman mereka di pasar domestik. Salah satu contoh di sektor perbankan adalah meneliti kembali rencana lama untuk menggabungkan Bank Mandiri dengan Bank BNI-dua bank BUMN yang menempati peringkat nomor satu dan empat sebagai bank terbesar di dalam negeri.

Bank BNI, dengan cabang di luar negeri yang lebih mapan di pusat keuangan seperti Singapura, Hong Kong, Tokyo, New York, dan London, dapat menguatkan bisnis luar negeri Bank Mandiri. Posisi pasar domestik Bank Mandiri juga lebih mapan menghadapi pesaing dari luar dan sekaligus memiliki jaringan di luar negeri. Mungkin ini adalah sesuatu yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah baru yang masuk, siapa pun yang terpilih nanti.

Ekonom, Komisaris Independen di PT Bank Danamon Indonesia Tbk

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus