Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MANAJEMEN Perusahaan Listrik Negara (PLN) sibuk menyiapkan dokumen kesepakatan kerja sama delapan proyek pengembangan panas bumi. Rencananya bahan itu akan diserahkan ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan pekan ini. Perusahaan setrum pelat merah itu meminta fatwa lembaga pengawas internal pemerintah sebelum mengeksekusi proyek.
Opini BPKP itu diperlukan sebagai dasar bagi PLN untuk menindaklanjuti kesepakatan yang telah dibuat. Tujuannya untuk memastikan apakah kerja sama tersebut bisa menimbulkan kerugian bagi perusahaan atau tidak.
PLN telah menandatangani pokok-pokok perjanjian kerja sama (HoA) dengan PT Pertamina Geothermal Energy, anak perusahaan Pertamina, Kamis dua pekan lalu. Isinya merevisi harga dasar uap panas bumi dan tenaga listrik di delapan proyek panas bumi milik Pertamina. Penandatanganan dilakukan Direktur Utama PLN Nur Pamudji dan Direktur Utama Pertamina Geothermal Rony Gunawan.
Delapan proyek yang diperjanjikan itu meliputi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sungai Penuh di Jambi, PLTP Hululais di Bengkulu, PLTP Kotamobagu di Sulawesi Utara, PLTP Lumut Balai di Sumatera Selatan, PLTP Ulubelu di Lampung, PLTP Kamojang di Jawa Barat, PLTP Karaha di Jawa Barat, dan PLTP Lahendong di Sulawesi Utara. Total daya yang akan dihasilkan diperkirakan 700 megawatt.
Namun pokok perjanjian proyek Kotamobagu batal diteken karena sumur kering alias tidak ditemukan cadangan panas bumi. Pertamina akan mengevaluasi ulang kegiatan eksplorasi di area kerja ini. Walhasil, dari delapan proyek, akhirnya tinggal tujuh yang disepakati.
Di dua pembangkit-Sungai Penuh dan Hululais-PLN hanya akan membeli uap pada harga US$ 7 sen per kilowatt-jam (kWh). Sedangkan di lima pembangkit sisanya dilakukan jual-beli listrik dengan kesepakatan harga US$ 8,4-11,6 sen per kWh. "Untuk wilayah kerja pengembangan harga di kisaran US$ 8,4 sen per kWh, sementara untuk green field maksimal US$ 11,6 sen," kata Nur Pamudji.
Pokok perjanjian akhirnya diteken setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan menegur keras direksi kedua perusahaan saat rapat pimpinan BUMN di kantor pusat Pertamina, 10 April lalu. Dahlan kecewa kepada PLN yang dinilai terlalu mementingkan ego sektoral. "Saya pulang duluan. Saya marah sampai beberapa kali menggebrak meja," ujarnya sepekan kemudian.
Dahlan marah lantaran pembangunan delapan proyek panas bumi jalan di tempat. Gara-garanya, PLN dan Pertamina Geothermal tak kunjung mencapai kata sepakat soal harga dan biaya proyek. Padahal kedua belah pihak sudah setuju tingkat pengembalian atau IRR sebesar 14 persen.
Kementerian BUMN berusaha menengahi pada awal 2013 untuk menunjuk konsultan independen. Kedua pihak pun memilih Sinclair Knight Merz asal Selandia Baru untuk menilai kelayakan estimasi biaya yang disodorkan Pertamina. Tapi PLN belum bisa menerima rekomendasi konsultan dengan alasan terlalu mahal. "Kan, konsultan ditunjuk bareng-bareng. Ini negara seperti disandera," kata Dahlan.
Dia lalu memberi tenggat sepekan kepada kedua perusahaan untuk menandatangani perjanjian jual-beli listrik berbasis panas bumi tersebut. "Saya tidak peduli bagaimana caranya."
PERTAMINA Geothermal berkali-kali mengusulkan revisi harga panas bumi yang telah disepakati empat tahun lalu. Saat itu, 17 Februari 2010, penandatanganan perjanjian dilakukan di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, disaksikan Menteri Energi Darwin Zahedy Saleh. Proyek pengembangan panas bumi ini merupakan bagian dari program percepatan pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt tahap kedua.
Pada program 10 ribu megawatt tahap pertama dibangun pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Tahap kedua lebih berfokus pada pengadaan pembangkit berbasis energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga air dan pembangkit berbasis panas bumi.
Direktur Utama Pertamina Geothermal Rony Gunawan mengatakan usulan renegosiasi harga diajukan pada akhir 2011 karena perubahan kondisi. "Banyak kenaikan yang signifikan, terutama di hulu. Biaya pengeboran meningkat signifikan," ujarnya.
Dia beralasan peralatan pengeboran yang digunakan sama dengan alat-alat pengeboran minyak dan gas. Maka, "Kalau harga minyak merangkak naik, rental alat pengeboran juga meningkat."
Di samping itu, sejumlah kendala dihadapi Pertamina Geothermal dalam pengembangan delapan proyek panas bumi tersebut (baca: "Setrum dari Perut Bumi"). Beragam faktor itu menyebabkan biaya eksplorasi panas bumi menjadi mahal. Apalagi Pertamina Geothermal menggunakan kas internal dari induk perusahaan untuk membiayai proses eksplorasi tersebut.
Sumber Tempo mengatakan PLN sempat mempertanyakan kebijakan Pertamina yang tidak memanfaatkan pinjaman perbankan. 'Padahal itu penting untuk membagi risiko. Hal ini sangat lazim dilakukan dalam bisnis," ucapnya.
Rony membenarkan ongkos produksi sebenarnya bisa lebih rendah bila menggunakan dana pinjaman, apalagi pinjaman lunak. Sebab, jangka waktu pengembalian alias tenor bisa panjang. Masalahnya, bank atau lembaga keuangan cenderung enggan membiayai proyek yang berisiko tinggi. "Kalau ada lender yang mau, bisa saja. Monggo," katanya.
Persoalan pembiayaan ini sebenarnya telah dipikirkan Menteri Keuangan ketika dijabat Agus Martowardojo. Dia menugasi Pusat Investasi Pemerintah (PIP) mengelola fasilitas dana geotermal berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 286/KMK.011/2011. Tujuannya untuk membiayai kegiatan eksplorasi panas bumi dalam rangka mempercepat pengembangan PLTP.
Pada 2012, PIP menyiapkan Rp 2 triliun lebih. Pada 2013, ada alokasi tambahan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar Rp 1,13 triliun. Tapi, sayang, "Tak ada yang memanfaatkan fasilitas dana geotermal ini," tutur Kepala PIP Soritaon Siregar kepada Martha Thertina dari Tempo.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi Rida Mulyana justru menilai persoalan harga sebagai penyebab pengembangan panas bumi belum optimal. "Harga salah satunya karena ini proyek investasi jangka panjang," katanya.
Berdasarkan evaluasi, Rida menjelaskan, ada sekitar 330 daftar masalah yang membelit proyek panas bumi. Selain harga, ada masalah harmonisasi undang-undang dan peraturan dengan kementerian teknis lain.
Kondisi perekonomian saat ini juga menyebabkan pengembang kesulitan berinvestasi dan mendapatkan hasil menarik. Padahal risiko eksplorasi panas bumi hampir sama dengan minyak dan gas. Bedanya, di migas ada biaya penggantian alias cost recovery. "Di panas bumi tidak."
Makanya Kementerian Energi akan membuat skema feed in tariff untuk panas bumi. Formulanya dengan membuat harga listrik bervariasi antarwilayah. Harapannya agar investor menjadi lebih tertarik.
Fasilitas dana geotermal yang dialokasikan pemerintah melalui PIP, menurut Rida, tidak bisa dijadikan andalan karena tingkat risiko investasi panas bumi besar. Untuk mengebor satu sumur saja, misalnya, menguras dana hingga US$ 7-10 juta. Padahal dalam satu kegiatan eksplorasi bisa mengebor lebih dari satu sumur. "Jika banyak yang gagal, negara akan rugi."
Eksplorasi yang tak sesuai dengan ekspektasi inilah yang membuat Pertamina Geothermal meminta kenaikan harga menjadi US$ 7-11,6 sen per kWh, melar dari kesepakatan semula US$ 6-8 per kWh.
Meski harga telah disepakati, PLN tidak akan serta-merta mengeksekusi. Perusahaan setrum itu menunggu fatwa BPKP. Bila opini itu turun cepat dan persetujuan Menteri Energi mulus, perjanjian jual-beli diperkirakan bisa diteken dalam dua bulan ini.
Retno Sulistyowati, Gustidha Budiartie, Bernadette Christina Munthe
Setrum dari Perut Bumi
Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan kini bisa bernapas lega. Upayanya mendesak penyelesaian renegosiasi perjanjian jual-beli listrik sejak sebulan lalu telah membuahkan hasil. PLN dan PT Pertamina Geothermal Energy akhirnya meneken pokok-pokok perjanjian jual-beli listrik di tujuh lokasi pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).
1. Lumut Balai
2. Karaha
3. Hululais
4. Sungai Penuh
5. Kamojang V
6. Lahendong V & VI
7. Ulubelu
29.612 MW
Potensi panas bumi Indonesia
1.346 MW
Kapasitas terpasang
600-730 MW
Total kapasitas
Perkiraan investasi: Rp 15-25 triliun
Investasi per sumur: US$ 7-10 juta
Kisaran harga jual:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo