Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Protes para dokter di Tangerang Selatan, Banten, itu belum juga reda. Mereka masih tak bisa menerima dua dokter ahli ortopedi Malaysia berpraktek di daerah itu. "Merendahkan dokter Indonesia," ujar Ketua Komite Medis Rumah Sakit Umum Daerah Tangerang Selatan Daniel Richard kepada Tempo, akhir Maret lalu.
Daniel dan koleganya berkukuh menolak program Dinas Kesehatan Tangerang Selatan. Alasan Dinas bahwa kehadiran dua dokter itu merupakan bagian dari upaya mendorong alih teknologi atau transfer ilmu ditampik. "Tidak bisa mereka main datang dan langsung praktek begitu saja," kata dokter ahli kandungan ini.
Para dokter Indonesia menganggap prosedur perizinan praktek kedua dokter itu tak lengkap. Mereka juga menilai program Dinas tak tepat. Intinya, mereka keberatan harus bersanding dengan dokter asing di lapak yang sama. Aksi para dokter itu mendapat dukungan penuh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Tapi, alih-alih diterima, tuntutan mereka malah berujung pada pemecatan beberapa dokter oleh Dinas Kesehatan.
Dalam kasus dan bentuk berbeda, yang terjadi di Tangerang Selatan juga berlangsung di banyak kegiatan ekonomi lain di Tanah Air. Hampir semua sektor ekonomi tak kalis dari persaingan dengan perusahaan asing. Lima dari perusahaan bank terbesar di Indonesia terkait dengan asing. Perusahaan asing juga masuk ke sektor telekomunikasi, otomotif, penerbangan, konstruksi, semen, dan masih banyak sektor lain.
Produk mancanegara juga memasuki pasar Indonesia bak air bah. Sebut saja produk canggih seperti mobil, alat telekomunikasi, teknologi informasi, dan barang elektronik, sampai garmen dan buah-buahan. Sudah banyak asosiasi yang berteriak tentang serbuan asing. Bahkan nilai tukar dolar terhadap rupiah yang terus membubung tak membuat penjualan berbagai barang dan produk itu menyusut.
Persaingan memang kian terbuka sejak krisis ekonomi pada 1997-1998. Di bawah supervisi Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia membuka lebar-lebar sektor produksi dan jasa, serta pasar untuk pihak asing. Daftar negatif investasi menipis. Indonesia bisa dibilang paling maju dalam soal liberalisasi pasar, terutama di sektor perbankan dan agribisnis. Ketika negara lain masih kuat memproteksi dua sektor ini, Indonesia justru membiarkan dirinya menjadi sansak.
Sungguh mengherankan jika kini masih ada orang atau kalangan yang khawatir terhadap pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015. Kasus Tangerang hanyalah salah satu contoh. "Kita belum siap," kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal, dan Publik Hariyadi Sukamdani.
Masalahnya bukan siap atau tidak siap. Dirancang sebagai respons atas krisis ekonomi yang melanda sebelumnya, para kepala negara di wilayah ini menyadari pentingnya konsolidasi untuk memperkuat ketahanan politik, keamanan, sosial-budaya, dan ekonomi regional. Dari situlah mereka menyepakati pembentukan Komunitas ASEAN, atau yang dikenal dengan Bali Concord II, karena diambil dalam KTT ASEAN ke-9 di Bali pada 2003.
Khusus dalam bidang ekonomi atau Masyarakat Ekonomi ASEAN, kesepakatan diperkuat melalui cetak biru yang disetujui dalam KTT ASEAN ke-13 di Singapura, November 2007. Inti dari program ini adalah liberalisasi pasar di kawasan ini menjadi satu kesatuan yang terintegrasi, dan akan mulai berlaku pada 2015. Itu berarti, mulai tahun depan, arus barang, jasa, tenaga kerja, modal, dan investasi akan dibuat lebih bebas. Tak boleh lagi ada hambatan fiskal dan non-fiskal yang mengganggu arus bebas dalam hubungan ekonomi di antara negara anggota.
Maka apa pun alasannya, protes atau keberatan seperti yang diajukan oleh Daniel dan para dokter di Tangerang Selatan itu tak bisa lagi ditoleransi. Sebab, dokter dan tenaga kerja terampil adalah salah satu sektor yang masuk target 12 sektor yang akan dipercepat proses liberalisasinya.
Dalam cetak biru MEA, ada 12 sektor prioritas yang akan diintegrasikan. Tujuh di antaranya sektor barang, yakni industri agro, peralatan elektronik, otomotif, perikanan, industri berbasis karet, industri berbasis kayu, dan tekstil. Sisanya adalah lima sektor jasa, yaitu transportasi udara, pelayanan kesehatan, pariwisata, logistik, serta industri teknologi informasi atau e-ASEAN.
Menurut Hariyadi, upaya pemerintah sudah cukup baik dalam melakukan sosialisasi rencana pasar tunggal regional tersebut. Namun ia ragu terhadap kesiapan para pelaku berbagai sektor yang akan menjadi sasarannya. Hambatan infrastruktur dan tingginya biaya logistik, misalnya, masih menjadi masalah mendasar yang membuat harga produk Indonesia tidak kompetitif. "Nanti kita akan selalu menjadi sasaran pasar negara lain," ujar Hariyadi menyebut salah satu risikonya.
Ketidaksiapan juga masih terjadi di sektor tenaga kerja. Tenaga kerja di Indonesia, kata Hariyadi, masih banyak yang belum memiliki keterampilan yang spesifik. Produktivitas negara lain, seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina, juga dinilai jauh lebih baik ketimbang Indonesia. "Ini harus jadi warning untuk kita." Dia mencontohkan terus naiknya tuntutan peningkatan upah minimum bagi buruh yang tak diikuti dengan perbaikan kapasitas dan produktivitas mereka. "Daya saing industri kita kian lemah."
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengakui masalah daya saing yang dihadapi Indonesia menjelang 2015. "Yang menjadi komponen penunjang salah satunya kondisi infrastruktur," ucapnya dalam seminar di Universitas Negeri Jakarta, Selasa dua pekan lalu. Perdagangan kita kurang efisien lantaran biaya logistik yang kelewat mahal dibanding negeri-negeri tetangga di kawasan. "Ongkos logistik yang dibebankan ke konsumen kita rata-rata 14,08 persen, dan itu tertinggi di ASEAN."
Hatta menjelaskan, seharusnya biaya logistik yang wajar dan menopang perdagangan yang efisien ada di angka 7 persen. Itu sebabnya, pemerintah punya target tahun depan ongkos lalu lintas barang dan jasa itu bisa ditekan menjadi 10 persen. Dia juga menekankan, bahkan sebelum berlaku resmi pada 2015 pun, pasar terbuka di kawasan ini sudah terlangsung. "Sekarang saja sudah terjadi pasar bebas. Pertarungan sudah terjadi saat ini."
Tak semua khawatir terhadap apa yang akan berlaku pada 2015. Para pelaku industri otomotif, misalnya, terus berpacu dan menggenjot investasi mereka untuk bisa menyalip Thailand, yang ada di depan Indonesia. Pabrik-pabrik baru dibangun sebagai antisipasi naiknya permintaan pasar ekspor di berbagai kawasan lain.
Mereka tak hanya melihat integrasi ekonomi ASEAN semata-mata sebagai menyatunya pasar, tapi juga terhubungnya basis produksi mereka. "Dari sisi kualitas, tidak ada bedanya produk kami yang dibuat di Indonesia atau Thailand dan Jepang," kata Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Masahiro Nonami. "Pabrik Toyota di sini sudah punya kemampuan." Mereka akan membidik pasar di Timur Tengah.
Namun, seperti halnya banyak pelaku ekonomi di sektor lain, Nonami juga mengeluhkan mahalnya biaya logistik dan infrastruktur yang kurang mendukung. Kalau dua hal itu diperbaiki, kata dia, "Indonesia bisa berlari lebih kencang."
Ekonom senior Bank Indonesia di Jakarta, Sjamsu Rahardja, mengatakan apa yang dilakukan Toyota itu merupakan cara paling baik menyikapi berlakunya MEA. "Sejak awal, integrasi kawasan ini dibentuk dengan tujuan memperkuat daya saing regional untuk melawan kekuatan ekonomi besar lain, seperti Eropa, Amerika, Cina, dan Jepang. Semangatnya di situ," ujarnya.
Sayangnya, kata Sjamsu, ketidaksiapan kita yang kemudian justru lebih banyak memicu berkembangnya isu persaingan antarnegara di ASEAN sendiri. "Dengan pasar dan populasi terbesar, kita malah ketakutan hanya akan jadi sasaran banjirnya barang, jasa, dan tenaga terampil dari negeri-negeri tetangga."
Dengan perlakuan yang benar dan persiapan yang lebih matang, situasi itu semestinya bisa dibalik. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Alisjahbana mengatakan 40 persen lebih populasi ASEAN yang ada di Indonesia merupakan keunggulan tersendiri. "Ini bisa menjadi kekuatan ekonomi bagi Indonesia. Sebab, selain punya pasar yang besar, kita punya keunggulan dalam hal usia produktif," ia menjelaskan.
Saat memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015, kata dia, perbandingan jumlah penduduk Indonesia yang memasuki produktif dengan negara-negara ASEAN lain adalah 38 : 100. Artinya, dari setiap 100 penduduk ASEAN yang masuk usia produktif, 38 adalah warga negara Indonesia. Negara lain, seperti Singapura dan Thailand, tak memiliki kelebihan yang disebut sebagai bonus demografi itu.
Bonus ini diperkirakan masih bisa dinikmati setidaknya sampai 2035. Dengan jumlah penduduk produktif lebih besar, diharapkan akan ada lebih banyak tenaga kerja yang mampu menopang pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita penduduk Indonesia. "Harapannya, sampai 2019, kita bisa menjadi middle-middle income country. Sekarang kan masih middle-lower," ujar Armida.
Sayangnya, kekuatan dalam hal jumlah itu belum dibarengi dengan kualitas yang mumpuni. Seperti diakui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh, kualitas manusia Indonesia masih kalah dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Sebagai contoh, kata dia, 75 persen penduduk Malaysia saat ini adalah lulusan strata satu. Adapun negara lain yang lebih maju, seperti Korea Selatan, malah sudah 90 persen. "Kita masih jauh dari angka itu. Maka harus ada percepatan untuk mengatasi ketertinggalan itu. Kalau tidak, bonus demografinya lewat."
Suka atau tak suka, siap atau tak siap, era baru pasar tunggal dan persaingan yang lebih bebas itu pasti akan datang tahun depan. Melalui laporan khusus kali ini, Tempo hendak mengulas seberapa siap, atau sebaliknya seberapa berat, kita memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 nanti.
Liputan ini akan membahas dan memetakan sektor-sektor yang menjadi sasarannya dan apa saja yang masih perlu diperbaiki atau diantisipasi. Sebab, seperti dikatakan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, "Kita tak bisa mengatakan tidak siap, karena itu sudah di depan mata dan sudah berjalan sesuai dengan komitmen. Yang paling penting adalah terus meningkatkan daya saing kita."
Y. Tomi Aryanto, Joniasyah (Tangerang)
ASEAN
Berdiri pada 8 Agustus 1967
620 juta jiwa
Populasi
40%
Di Indonesia
US$ 2,31 Triliun
Produk domestik bruto (PDB) ASEAN 2012 tumbuh 5,7 persen dibanding 2011.
US$ 3.751
Produk domestik bruto (PDB) ASEAN per kapita 2012
US$ 3.591
PDB ASEAN per kapita 2011
Serba Bebas dalam Kawasan
Dasar
Tujuan
Liberalisasi
Sektor yang dipercepat integrasinya
7 Sektor Barang
5 Sektor Jasa
Target
2010
2015
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo