Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah rumah di Jakarta Timur, lelaki itu bicara setengah memohon. ”Coba Bapak cari informasi tentang Sjam. Saya dengar dia masih hidup di Florida, Amerika Serikat,” katanya. Yang diajak bicara menggeleng. ”Menurut saya, dia sudah mati. Tidak ada alasan bagi pemerintah menyelamatkannya.”
Pria pertama adalah Suryoputra, bukan nama sebenarnya, eks tahanan politik Partai Komunis Indonesia dan sahabat karib Sjam Kamaruzaman, Ketua Biro Chusus Partai Komunis Indonesia. Yang kedua adalah John Roosa, sejarawan dari Universitas British Columbia, Kanada, yang baru saja menerbitkan Dalih Pembunuhan Massal, buku tentang tragedi G30S.
Anda kangen kepada dia? Tempo memotong diskusi yang dilakukan menjelang buka puasa Ramadan lalu. ”Tentu saja,” kata Suryo. ”Kami teman dekat sejak zaman revolusi.”
”Kalau Sjam masih hidup,” Suryo melanjutkan, ”saya pasti bisa mengenalinya.” Setidaknya ada tiga tanda Sjam yang masih bisa diingat Suryo. Pertama, codet di dekat mata kiri. Kedua, bekas luka di paha bagian belakang karena peluru nyasar saat keduanya berlatih menembak. Ketiga, ini yang menarik, Sjam takut pada cecak. ”Kalau bertemu dia, saya akan bawa cecak. Jika dia takut, pasti itu Sjam,” kata Suryo tertawa. Azan magrib terdengar, Suryo menyeruput air minumnya.
Suryo bukan satu-satunya orang yang percaya Sjam masih hidup. Boengkoes, kini 83 tahun, mantan Komandan Peleton Kompi C Batalion Kawal Kehormatan Cakrabirawa, pasukan yang menculik enam jenderal Angkatan Darat pada peristiwa G30S, meyakini hal yang sama. ”Saya dengar dia dibuang ke Amerika. Ada juga yang bilang dikirim ke Arab Saudi. Kabarnya, anaknya pernah bertemu dia di Sumatera,” katanya.
Soal mengapa pemerintah menyelamatkan Sjam, sedangkan petinggi PKI lain dieksekusi mati, Boengkoes berujar pendek, ”Ia tokoh penting di partai, punya jaringan kuat di kalangan militer.”
Sjam adalah bayang-bayang. Kematiannya hingga kini menjadi misteri. Tak ada kuburan penanda jasadnya. Bahkan keluarganya tak pernah diberi tahu perihal jenazah atau kuburnya. Yang ada hanya perjamuan terakhir pria asal Tuban, Jawa Timur, itu dengan putri pertamanya, Shinta (nama yang disamarkan), sehari sebelum ia kabarnya dieksekusi mati.
KAMIS pagi, 25 September 1986. Dua pria bertubuh tegap mengetuk pintu rumah di Kampung Kutorejo, Tuban, Jawa Timur. Kepada tuan rumah, Latifah, mereka mengaku sebagai utusan Komando Daerah Militer V Brawijaya. Tuan rumah adalah adik kandung Sjam.
Shinta ikut mendampingi bibinya. Ia ingat, kedua tamu mengulurkan selembar surat ”titipan dari Jakarta”. Setelah membacanya, Latifah meminta Shinta bergegas ganti baju. Bersama dua orang yang belakangan diketahui sebagai Oditur Militer Kodam Brawijaya itu, Shinta naik bus umum menuju Surabaya. Dari Bandar Udara Juanda, perjalanan dilanjutkan ke Jakarta.
Dua orang itu, sesuai dengan kartu nama yang hingga kini disimpan keluarga Sjam, adalah Letnan Kolonel CHK Frans Paul Lontoh dan Letnan Kolonel CHK Soewardi. Di perjalanan, mereka mengatakan hendak mempertemukan Shinta dengan Sjam. Ia terakhir menjenguk ayahnya di penjara Cipinang pada 1972, bersama kakak Sjam.
Shinta mengaku menghadapi pilihan sulit. Sebagai pegawai negeri, bertemu dengan tahanan politik adalah persoalan baru. Tapi pertemuan dengan sang ayah merupakan kebahagiaan tersendiri. Shinta didatangkan atas permintaan ayahnya, meski Sjam juga ingin Latifah hadir. Hal itu tertera dalam surat yang ditulis Sjam di Cipinang dan diberi judul ”Lieve Latifah”. Surat ditulis pada November 1984 dan dibawa dua perwira tersebut ke Tuban.
Dua perwira Kodam Brawijaya itu mengajak Shinta ke sebuah tempat. Matanya selalu ditutup. ”Saya tak tahu tempatnya,” ujarnya. ”Turun dari kendaraan, saya dibawa masuk ke sebuah ruang. Di depan saya sudah ada Bapak.” Shinta memandangi ayahnya. Mereka berpelukan erat.
Menurut Shinta, tidak ada perubahan fisik ayahnya yang menonjol. Bicaranya tetap tegas, bersemangat. Tampak wajahnya mulai keriput dimakan umur. ”Yang paling mencolok, uban Bapak banyak sekali,” tuturnya. Sjam ketika itu berusia 64.
Di ruangan itu ada dua meja, dua-duanya dipenuhi pelbagai hidangan. Semua makanan enak. Ada ikan kakap, sate, dan ayam bekakak. Sjam, menurut Maksum (bukan nama sebenarnya), kakak Shinta yang ditemui secara terpisah, lalu berkata, ”Ayo kita makan enak.” Tapi Shinta tak menyentuh satu pun makanan. Ia menangis selama pertemuan. Sjam kemudian berujar, ”Kamu kok nangis. Semua orang nanti akan meninggal juga.”
Pengawal memberi tahu, mereka hanya punya waktu setengah jam. Sjam minta maaf kepada lima anaknya karena tak bisa membesarkan mereka. Ia berpesan kepada anak-anaknya agar hidup rukun. Tak lama kemudian, seorang rohaniwan berpakaian putih masuk. Lelaki itu meminta Shinta segera pergi. Sjam memeluk putrinya dan kembali minta maaf.
Keluar dari ruangan, Shinta ditawari menginap di hotel. Ia menolak dan meminta diantar ke rumah kakak Sjam di kawasan Tebet Barat, Jakarta Selatan. Di tempat itu, Shinta menceritakan kepada kakak-kakak dan keluarganya: ayahnya akan segera dieksekusi mati.
Shinta lalu menyampaikan kabar sedih itu kepada saudara-saudaranya yang lain. Salah satunya adalah Kelana (bukan nama sebenarnya), yang kala itu sedang mengerjakan sebuah proyek di Kepulauan Seribu. ”Saya mendapat telepon dari Shinta bahwa Bapak dibawa ke Pulau Seribu,” tuturnya. Adapun Maksum menuturkan, ”Sekitar hari ketika Bapak ditembak, saya bersama istri di rumah. Tiba-tiba saya menangis. Ada kesedihan tanpa sebab. Tiba-tiba Shinta menelepon.”
Menurut satu versi, Sjam dikeluarkan dari Cipinang pada 27 September 1986 pukul 21.00. Ia dijemput perwira Penelitian Kriminal Polisi Militer Kodam Jaya, Edy B. Sutomo, lalu dibawa ke Rumah Tahanan Militer Cimanggis, Jawa Barat. Baru tiga hari kemudian, ia dan dua tahanan lain dibawa ke Tanjung Priok pada tengah malam. Dengan kapal laut militer mereka diangkut ke sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Mereka dieksekusi pada pukul 03.00.
Tapi keluarga Sjam tak pernah mendengar kejelasan informasi itu. ”Kalau benar Bapak dieksekusi, di mana makamnya sekarang?” kata putri bungsunya, yang kini tinggal di Tuban.
KARLINA Supeli, aktivis perempuan, melakukan penelitian tentang para tahanan politik pada 2001. Untuk keperluan ini, ia menyigi informasi tentang Sjam. Ia menemukan seorang rohaniwan yang kabarnya mendampingi pria 64 tahun itu ketika dieksekusi.
Ditemui di kampus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, tempatnya berkantor, Karlina tak banyak bicara. Ia beralasan, sang rohaniwan yang kini bermukim di Semarang itu belum memberinya izin bicara. Ditanya apakah rohaniwan itu memastikan Sjam telah ditembak mati, ia menjawab, ”Itu juga bagian yang tidak boleh saya sampaikan.”
Sumber lain yang pernah mendengar cerita rohaniwan ini mengisahkan peluru dari regu penembak meleset dari tubuh Sjam. Komandan regu kemudian mengambil alih eksekusi. Ia mengambil pistol dan menembak Sjam dalam jarak dekat. ”Beberapa bulan kemudian, sang komandan masuk rumah sakit jiwa, ia tak tahan dengan peristiwa itu,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo