Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IKLAN 30 detik itu menyajikan delapan tokoh nasional: Kiai Haji Hasyim Asyari, Kiai Haji Ahmad Dahlan, Jenderal Sudirman, Bung Tomo, Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, dan Soeharto. Semuanya dibungkus dalam judul ”pahlawan dan guru bangsa”.
Dari Hasyim Asyari hingga Natsir, tentu tak ada soal. Tapi Soeharto? Bah! Banyak orang mencibir. ”Agenda reformasi dan pemberantasan korupsi yang disampaikan Partai Keadilan Sejahtera hanya basa-basi,” kata Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Ibrahim Fahmi Badoh. Bagi Ibrahim, Soeharto adalah representasi korupsi dan kebobrokan Orde Baru.
Partai Keadilan Sejahtera sedang bermain api. Iklan guru bangsa berbiaya Rp 1 miliar itu diputar di lima stasiun televisi nasional selama tiga hari berturut-turut, 9-11 November 2008. Jumlah delapan tokoh disesuaikan dengan nomor urut partai ini dalam pemilu. Pencantuman Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa membuat orang menuding partai ini sedang mengambil hati Keluarga Cendana.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring menolak tudingan itu. Menurut dia, ditampilkannya Soeharto dalam iklan hari pahlawan itu adalah upaya rekonsiliasi bangsa. ”Meski pernah berbuat kesalahan, Soeharto sudah berbuat untuk bangsa ini,” katanya.
Meski membantah, Tifatul mengakui ada yang tak beres dengan advertensi itu. Menurut dia, iklan yang ditayangkan berbeda dengan konsep awal yang disodorkan kepadanya. Di scene awal, kata dia, tokoh yang muncul pertama kali adalah Soekarno dan Soeharto. Lalu diikuti tulisan berbunyi, ”Mereka sudah memberikan apa yang mereka bisa.”
Di scene berikutnya, Jenderal Sudirman dan Bung Tomo yang diberi komentar: ”Mereka telah memberikan apa yang mereka punya.” Dalam iklan yang muncul di televisi, kata-kata itu diganti dengan ucapan terima kasih bagi guru bangsa dan pahlawan.
Menurut Tifatul, kalau konsep awal itu yang ditampilkan, tidak bakal ada reaksi berlebihan. ”Kalimat ’mereka sudah memberikan apa yang mereka bisa’ adalah pernyataan yang umum,” katanya.
Ipang Wahid, konsultan yang menggarap iklan itu, membantah adanya perubahan konsep. Menurut dia, materi iklan yang dipresentasikan kepada Tifatul masih berupa storyboard. Ketika materi itu sudah jadi film, Tifatul tidak ikut melihat. ”Tidak ada yang berubah. Ini beda penafsiran saja,” katanya.
Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera, Agus Purnomo, Soeharto dipilih melalui pembahasan serius tim pemenangan pemilu nasional mereka. ”Lewat iklan itu, PKS ingin berkomunikasi bahwa tidak betul PKS itu eksklusif,” ujarnya.
Kriteria tokoh yang dipilih adalah tokoh pergerakan nasional abad ke-20 (KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan), pejuang kemerdekaan (Jenderal Sudirman, Bung Tomo, Soekarno, dan M. Hatta), serta tokoh yang paling berpengaruh (Soeharto dan Natsir). ”Soeharto masuk kriteria tokoh paling berpengaruh,” kata Agus.
Ipang mengatakan Partai Keadilan Sejahtera juga mengambil hasil survei Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang menyebutkan 34 persen responden memilih Soeharto sebagai presiden paling berpengaruh. Di survei itu, Soekarno dipilih 24 persen responden, sementara Yudhoyono hanya 12 persen. ”Soal ada yang tidak suka terhadap Soeharto, semua sudah diperhitungkan,” ujar Agus.
Diakui Agus, partainya beriklan dengan bujet yang minim. Dengan duit yang tak banyak, mereka ingin mencuri perhatian publik. Nah, iklan Soeharto itu dianggap bisa memancing atensi.
Seorang petinggi partai ini menyebutkan pencantuman Soeharto dalam iklan itu sejak awal diniatkan sebagai bagian dari proyek ”berdamai” dengan militer. Ini sejalan dengan, misalnya, aksi Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera Hilmy Aminuddin mengirim surat ke Presiden Yudhoyono agar memaafkan Soeharto, Januari lalu.
Secara politik, Partai Keadilan Sejahtera menilai militer masih menganggap mereka sebagai ancaman keamanan nasional karena kerap diidentikkan dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir. ”Soeharto ini kan orang yang paling berpengaruh di tentara. Dengan memunculkan Soeharto, diharapkan kita bisa merangkul militer,” kata sumber itu.
AZ, Agus Supriyanto, Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo