Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awal Februari ini, Hexana Tri Sasongko kembali menerima layang pemberitahuan dari Badan Pemeriksa Keuangan. Isinya ihwal perpanjangan audit investigasi terhadap keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). “Mereka masih perlu pendalaman,” kata -Hexana, Jumat pekan lalu.
Pemeriksaan BPK terhadap perusahaan asuransi jiwa itu masuk bulan keenam. Audit ini merupakan permintaan langsung dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara, pemegang saham Jiwasraya. Sebelum menugasi Hexana, bersama Asmawi Syam, pindah dari Bank Rakyat Indonesia ke Jiwasraya, Kementerian BUMN meminta kantor akuntan publik PricewaterhouseCoopers (PwC) mengaudit keuangan Jiwasraya. PwC menelusuri nilai pencadangan perusahaan.
Hasil audit PwC keluar setelah tiga anggota direksi sebelumnya, yakni Direktur Utama Hendrisman Rahim, Direktur Keuangan Hary Prasetyo, serta Direktur Keuangan, Investasi, dan Teknologi Informasi De Yong Adrian lengser per akhir Januari 2018. Trio ini menjabat dua periode sejak 2008. Saat perpisahan, karyawan menyebut mereka “The Legend”. “Karena dianggap menyelamatkan perusahaan keluar dari lubang krisis,” kata petinggi Jiwasraya yang hadir dalam acara tersebut.
Saat peralihan manajemen, kabar mengenai kesehatan keuangan Jiwasraya belum merebak. Baru setelah Asmawi dan Hexana menerima laporan PwC, kejanggalan laba perusahaan yang tercantum dalam laporan keuangan perusahaan 2017 mulai terkuak. Laba yang tadinya Rp 2,4 triliun menciut menjadi Rp 328,44 miliar karena ada kenaikan cadangan premi.
Menurut Hexana, perubahan laba itu terjadi karena portofolio keuangan manajemen lama dikelola dengan risiko tinggi untuk mendapatkan imbal hasil yang tinggi. Sedangkan aset perusahaan yang besar belum tentu menjanjikan profitabilitas tinggi. “Sehingga dia akan memompa risiko,” ujar Hexana.
Deputi Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei, dan Jasa Konsultan Kementerian BUMN Gatot Trihargo mengatakan tidak berdisiplinnya manajemen dalam investasi mengakibatkan Jiwasraya limbung dan kembali jatuh sakit. Walhasil, produk JS Saving Plan, yang memiliki jangka waktu jatuh tempo polis per tahun tapi dengan proteksi jiwa selama lima tahun, harus dihentikan.
Menurut Gatot, manajemen terbiasa mengasumsikan semua nasabah akan memperpanjang polis. Sedangkan dana besar itu tidak diinvestasikan pada produk-produk yang cair. “Selisih antara cost of fund dan imbal hasilnya sangat dalam,” ucap Gatot. Catatan yang dipegang Kementerian BUMN menyebutkan hanya 26 persen produk investasi yang bisa menghasilkan dan dicairkan sewaktu-waktu.
Pemilik saham sudah lama me-nyoroti pengelolaan investasi perusahaan yang tak wajar. Jika menilik laporan keuangan, tak terlihat Jiwasraya menyimpan demam sejak dulu. Setiap kali akan ada rapat umum pemegang saham, kata Gatot, manajemen memoles laporan keuangan dengan menempatkan saham yang tiba-tiba harganya tinggi di akhir bulan. “Semestinya yang dipakai adalah harga saham fair market value, bukan harga pasar saja.”
Seorang petinggi Jiwasraya yang menjabat sejak 2016 membenarkan hal ini. Dalam setiap RUPS, kata dia, direksi menutup-nutupi penempatan investasi dan profil jatuh tempo polis. “Saya lihat labanya besar, tapi kok arus kasnya tidak ada,” ujarnya. Sebelumnya, ia juga berulang kali menerima informasi yang menceritakan adanya pengaturan harga saham investasi Jiwasraya di emiten-emiten tier 3 atau dengan harga saham rendah.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan yang dirilis pada Juli 2016 menemukan 16 masalah yang terkait dengan pengelolaan bisnis asuransi, investasi, pendapatan, dan biaya operasional Jiwasraya sepanjang 2014-2015. BPK menyebutkan nilai pendapatan dari penyewaan aset properti milik Jiwasraya tidak signifikan dibandingkan dengan nilai asetnya. Setidaknya 471 penyewa pernah menunggak pembayaran. Nilai sewanya tak wajar bila dibandingkan dengan nilai aset dan harga sewa setempat.
Belum selesai urusan sewa-menyewa properti, Jiwasraya dinyatakan berpotensi menghadapi risiko gagal bayar atas tran-saksi investasi pembelian medium term note (MTN) PT Hanson International Tbk. Jiwasraya membeli MTN dengan total Rp 680 miliar milik Hanson, dengan tarif kupon 12 persen setahun. Dari pemeriksaan BPK, ditemukan bahwa pengajuan pembelian ini dilakukan dengan nota intern kepala divisi keuangan dan investasi serta kantor pusat. Pertimbangannya adalah kupon imbal jasa yang lebih tinggi daripada suku bunga acuan sehingga mendorong diversifikasi portofolio investasi perusahaan.
Laporan keuangan Hanson saat itu menunjukkan buruknya kinerja perusahaan. Padahal surat utang jangka pendek ini dijual terbatas. Pelepasan surat utang ini sulit dilakukan karena tak ada harga wajar atas MTN tersebut.
Menurut BPK, pembelian surat utang jangka pendek ini diindikasikan sebagai salah satu cara Jiwasraya menutup investasi di PT Armidian Karyatama Tbk, cucu Hanson International. Pembelian MTN di PT Armidian juga berpotensi gagal bayar karena tiga tahun sejak 2013 perusahaan merugi terus. Setelah menjual surat utang di Armidian, baru Jiwasraya membeli MTN PT Hanson. Pada 2016, Jiwasraya mengaku telah menjual seluruh MTN itu.
Dalam audit yang sama, Jiwasraya ternyata menginvestasikan dana premi sebagian nasabah dalam reksa dana unit link. Pembelian saham dilakukan mendekati periode tutup buku laporan keuangan agar meningkatkan kinerja produk unit link. “Sehingga seolah-olah unit link memiliki kinerja yang cukup baik,” begitu tertulis dalam audit BPK.
Pada akhir 2015 juga terjadi pembelian 47 jenis saham dengan total investasi mencapai Rp 1,3 triliun. Praktik goreng-menggoreng harga saham ini terlihat, misalnya, pada pembelian saham PT Sugih Energy (SUGI). Sebelumnya, rata-rata harga saham SUGI Rp 378 per lembar, tapi pada 30 Desember 2015 tiba-tiba harganya naik menjadi Rp 470 per lembar.
Dua hari kemudian, harganya turun ke angka normal. Atas kenaikan dan penurunan harga yang relatif singkat tersebut, diindikasikan terjadi permainan harga pada akhir tahun untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Walhasil, dalam laporan keuangan Jiwasraya terdapat potensi laba Rp 65 miliar. Angka ini dihitung dari selisih harga penutupan dengan rata-rata harga beli dikalikan jumlah lembar saham SUGI yang dimiliki Jiwasraya.
Ada pula transaksi saham antar-reksa dana yang dilakukan Jiwasraya lantaran peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (sekarang Otoritas Jasa Keuangan) soal pembubaran reksa dana penyertaan terbatas (RDPT). BPK menyatakan Jiwasraya terindikasi memindahkan underlying portofolio saham dalam RDPT ke instrumen lain. Namun, karena likuiditas saham underlying itu rendah dan jika ditransaksikan harganya akan anjlok, manajemen memindahkan portofolio ke reksa dana umum.
Setelah dilihat lebih dalam, rupanya ditemukan kepemilikan tidak langsung pada saham PT Inti Agri (IIKP) dengan total 49,26 persen atau senilai Rp 6 triliun. Ini melebihi ketentuan internal mengenai batas maksimal investasi pada satu saham—maksimal 10 persen dari total investasi. Sedangkan aset IIKP hanya Rp 332 miliar dan perusahaan selalu mengalami kerugian.
Seorang petinggi Jiwasraya menyebutkan PT Dhanawibawa Arthacemerlang menjadi manajer investasi dari penempatan investasi di IIKP ini. IIKP adalah perusahaan milik Heru Hidayat, sementara Dhanawibawa didirikan Hary Prasetyo, Direktur Keuangan Jiwasraya. Direksi lama menampik adanya konflik kepentingan. “Setiap investasi kami lakukan dengan penuh perhitungan, terbuka, dan transparan,” kata Hary.
Saat datang ke kantor majalah Tempo, Jumat pekan lalu, Hary dan Hendrisman menjelaskan banyak hal. Namun keduanya menolak dikutip panjang-lebar. Mereka memastikan kekeliruan investasi bukan penyebab limbungnya Jiwasraya. Manajemen lama menyebutkan perusahaan goyah karena tak mampu lagi berjualan produk.
Sejak dinyatakan sehat pada 2013 oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan, direksi lama sebetulnya menyimpan diagnosis penyakit jangka panjang perusahaan. Sejak krisis 2008, manajemen lama memprediksi Jiwasraya—yang ketika itu membutuhkan dana Rp 6,7 triliun—baru betul-betul sehat 17 tahun kemudian. Agar bisa bangkit, manajemen lama memakai aneka “jurus silat”. “Makanya Jiwasraya tidak bisa dilihat sepotong-sepotong,” ujar Hendrisman. “Harus diberi obat berkesinambungan.”
Premi Seret, Investasi Mampet
PUTRI ADITYOWATI, RETNO SULISTYOWATI, KHAIRUL ANAM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo