Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peraturan Gubernur DKI tentang pulau reklamasi dianggap melangkahi aturan di atasnya, yaitu peraturan daerah.
Di peraturan gubernur yang terbit bulan lalu itu, pulau reklamasi disebut sebagai pantai dan dianggap menyatu dengan daratan Jakarta.
Perbedaan diksi pulau dan pantai berimplikasi banyak, termasuk pada kewajiban penyediaan ruang hijau.
JAKARTA – Sejumlah kalangan mempertanyakan terbitnya Peraturan Gubernur DKI Nomor 30 Tahun 2021 tentang Panduan Rancang Kota Kawasan Pantai Kita dan Kawasan Pantai Maju oleh Anies Baswedan. Ketentuan ini dianggap melangkahi Peraturan Daerah DKI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi, yang kini tengah direvisi dan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Joga, mengatakan peraturan gubernur tentang panduan rancang kota itu seharusnya terbit setelah peraturan daerah mengenai rencana detail tata ruang rampung direvisi. Tujuannya, agar peraturan gubernur itu bisa selaras dengan aturan di atasnya, yaitu peraturan daerah. "Pola pikirnya jangan dibalik. Peraturan gubernur menjadi masukan dalam revisi Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang," ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gubernur Anies Baswedan menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2021 pada 4 Mei lalu. Regulasi itu menjadi panduan dalam pembangunan di pulau reklamasi C dan D–Anies belakangan menamainya Pantai Kita dan Pantai Maju. Dua nusa urukan di Teluk Jakarta tersebut dibangun oleh PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group.
Nirwono mengatakan satu hal yang belum disepakati dalam pembahasan revisi Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang ialah penyebutan untuk empat daratan hasil reklamasi di Teluk Jakarta: pulau atau pantai. Penetapan diksi itu bakal memiliki konsekuensi yang berbeda.
Pembangunan gedung di atas lahan reklamasi di kawasan Pulau D, Jakarta, 18 Juni 2019. TEMPO/Muhammad Hidayat
Jika pihak legislatif dan eksekutif sepakat menyebutnya sebagai pantai, kata Nirwono, artinya pulau buatan tersebut menyatu dengan daratan Jakarta. Walhasil, penyediaan ruang terbuka hijaunya menjadi satu dengan keseluruhan Ibu Kota. Peraturan Daerah DKI Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 mengamanatkan Ibu Kota memiliki ruang terbuka hijau mencapai 30 persen dari luas wilayah pada 2030. Sebaliknya, jika Kebon Sirih dan Balai Kota sepakat menyebutnya pulau, setiap kawasan nusa buatan itu wajib memiliki ruang terbuka hijau masing-masing.
Masalahnya, Peraturan Gubernur Panduan Rancang Kota menyebut dua pulau reklamasi itu sebagai pantai. Padahal Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 menyebut reklamasi di Teluk Jakarta sebagai pulau.
Nirwono menilai tidak ada hal mendesak bagi pemerintah DKI untuk menerbitkan Peraturan Nomor Gubernur 30 Tahun 2021 saat masa pandemi Covid-19. Apalagi reklamasi juga tidak menyelesaikan permasalahan banjir dan macet di Ibu Kota. "Jadi, pergub ini diterbitkan untuk kepentingan siapa?" kata dia.
Anggota Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, Nelson Simamora, segendang sepenarian mempertanyakan alasan pemerintah DKI menerbitkan ketentuan tersebut. Dia mencontohkan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, D, dan E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Peraturan yang bersifat indikatif itu terbit pada 25 Oktober 2016.
Pada 2019, Gubernur Anies menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) di Pulau D berdasarkan peraturan terbitan pendahulunya itu. Menurut Nelson, penerbitan Peraturan Gubernur tentang Panduan Rancang Kota Kawasan Pantai Kita dan Kawasan Pantai Maju menunjukkan bahwa Anies Baswedan ingin melanjutkan reklamasi—serupa dengan kebijakan Basuki. Padahal, dalam kampanye pemilihan Gubernur Jakarta pada 2017, Anies menebar janji menolak reklamasi Teluk Jakarta. "Jadi, mereka tidak ada bedanya,” kata pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu.
Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI, Heru Hermawanto, mengatakan tidak boleh ada kekosongan hukum di pulau reklamasi yang telah terbangun. Walhasil, Balai Kota menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2021. "Peraturan gubernur tentang panduan rancang kota itu juga menjadi dasar untuk memberikan perizinan," katanya.
Menurut Heru, Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2021 akan menjadi masukan dalam penyusunan revisi Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang. "Otomatis akan ditarik ke RDTR-nya," ujar dia.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Benni Agus Candra, menyatakan Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2021 disusun dengan mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Jakarta Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Peraturan gubernur itu diterbitkan untuk memaksimalkan konektivitas kawasan melalui penyediaan jalur angkutan umum massal yang menghubungkan kedua pantai dengan daratan.
GANGSAR PARIKESIT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo