Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jumlah limbah medis dari RS rujukan Covid-19 di DKI Jakarta menembus 5.163 ton.
Rumah sakit rujukan harus memiliki cold storage medical waste untuk menyimpan limbah infeksius sebelum diangkut dan dihancurkan.
Pemerintah baru mengeluarkan izin pengelolaan limbah B3 kepada 120 rumah sakit dan 18 perusahaan swasta.
JAKARTA – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengawasi secara ketat prosedur pengolahan sampah medis rumah sakit selama masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Dinas Lingkungan Hidup Jakarta bahkan secara periodik memeriksa dan memverifikasi data jumlah limbah dari rumah sakit, terutama yang menangani pasien Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu subyek pengawasan tersebut adalah durasi penimbunan limbah infeksius—sampah medis yang dikategorikan sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3)—di setiap fasilitas kesehatan. “Paling lama 2 x 24 jam harus diangkut oleh perusahaan pengolah sampah B3 atau diolah sendiri (oleh rumah sakit),” kata Kepala Seksi Pengelolaan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup DKI, Rosa Ambarsari, kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Rosa, selama masa pandemi, pemusnahan sampah medis dari rumah sakit sangat penting untuk diawasi. Sebab, seiring dengan tingginya lonjakan jumlah kasus Covid-19, sampah infeksius ikut bertambah signifikan. Dinas Lingkungan Hidup mencatat, sejak April 2020, jumlah sampah infeksius dari berbagai fasilitas kesehatan mencapai 6.390 ton, yang terdiri atas 5.163 ton dari RS rujukan dan 1.227 ton dari RS non-Covid-19.
Petugas bersiap untuk mengangkut limbah infeksius ke insinerator di salah satu rumah sakit di Jakarta Pusat, 1 Juli 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat
“Selain masker, sarung tangan, dan pakaian hazmat, harus diketahui bahwa semua barang yang digunakan pasien positif itu menjadi limbah infeksius,” kata Rosa. “Sebelum pandemi, barang-barang pasien itu hanya masuk kategori sampah umum rumah sakit.”
Pemerintah pun mendesak pengelola rumah sakit secara ketat mengatur siklus pengelolaan limbah infeksius karena keterbatasan ruang penyimpanan di setiap rumah sakit. Menurut Rosa, hanya sedikit rumah sakit yang memiliki cold storage medical waste dalam ukuran besar. “Sampai saat ini, sih, belum ada pelanggaran atau laporan kepada kami,” ujar dia.
PT Universal Eco, salah satu perusahaan pengelola limbah medis, menekankan pentingnya keamanan tempat penyimpanan sampah infeksius di setiap rumah sakit. PT Universal sejauh ini melayani lima rumah sakit serta klinik di Jakarta dan Semarang sejak November 2020. “Limbah medis dari klien kami dibawa ke gudang insinerator yang berada di Serang, Banten,” kata Corporate Relations Manager PT Universal, Riska Anindita Savitri.
Menurut Riska, perusahaannya memberikan dua pilihan kepada tiap fasilitas kesehatan dalam layanan pengangkutan dan pemusnahan limbah B3. Opsi pertama, PT Universal akan mengambil sampah setiap 1-2 hari jika rumah sakit tak memiliki tempat penyimpanan limbah B3. Pilihan ini berdampak pembengkakan biaya distribusi atau pengangkutan.
Opsi kedua, PT Universal juga menyediakan mesin pendingin besar yang mampu mencegah perkembangan bakteri atau virus pada sampah selama ditimbun sementara. “Intinya, kami mewajibkan klien punya tempat penyimpanan yang baik,” kata Riska.
Petugas medis memasukan limbah infeksius ke insinerator di sebuah rumah sakit di Jakarta pusat, 1 Juli 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat
Pengelolaan limbah infeksius selama masa pandemi juga perlu mendapat treatment khusus. Riska mengklaim seluruh pegawainya yang menangani sampah dari rumah sakit diwajibkan mengenakan alat pelindung diri lengkap. “Kami angkut limbah medis dari fasilitas layanan kesehatan sekitar 300 kilogram per hari,” ujar dia.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hanya 118 rumah sakit yang mengantongi izin pengelolaan limbah B3 secara mandiri. Semua rumah sakit ini telah mendapat verifikasi tentang uji kelayakan dan kualitas mesin insinerator (pengelolaan limbah). Sedangkan perusahaan swasta yang telah mendapat izin pengelolaan limbah medis, termasuk sampah infeksius, sebanyak 20 perusahaan. “Selama pandemi, volume limbah medis (khusus masker sekali pakai) saja meningkat hingga 30-50 persen,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah B3 KLHK, Rosa Vivien Ratnawati.
Menurut Rosa, pemerintah meminta seluruh fasilitas kesehatan dan perusahaan menjalankan semua prosedur pengelolaan limbah pada masa pandemi. Tujuannya agar limbah infeksius justru tak menjadi perantara penularan wabah di masyarakat.
FRANSISCO ROSARIANS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo