Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sains dan solidaritas adalah dua senjata untuk mengatasi pandemi Covid-19.
Sains dan solidaritas memerlukan momen kosmopolitan, seperti halnya virus corona menginfeksi manusia di seluruh dunia.
Pandemi Covid-19 telah menunjukkan watak asli dunia yang seharusnya menyadarkan kita: merayakan ketimpangan.
VAKSIN sebagai satu upaya mengatasi pandemi Covid-19 adalah bukti kedigdayaan sains. Namun, persis di mana sains cemerlang, di situ etika menggugat. Sains telah banyak memberikan jalan keluar atas pelbagai masalah terbesar umat manusia. Tapi, tanpa solidaritas, sains akan berhenti sebagai kecongkakan yang melandasi ketimpangan. Untuk membuktikan hal itu, kita mulai dengan cerita kecil dari Yunani dan Pinrang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Yunani, diperkirakan lebih dari 100 ribu penolak vaksin menyuap para dokter dengan uang sekitar 400 euro. Mereka meminta dokter menyuntikkan larutan garam saja ketimbang vaksin. Dokter menerima duit suap itu, tapi diam-diam tetap menyuntikkan vaksin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perilaku yang lebih mendebarkan ada di Indonesia. Di Pinrang, Sulawesi Selatan, rekor dunia penerima vaksin terbanyak dipecahkan oleh Abdul Rahim. Ia mengaku menjadi joki vaksin demi uang. Ia menggantikan 14 orang dan telah menerima 16 suntikan vaksin Covid-19. Atas “jasanya” menjadi joki vaksin, ia mendapatkan Rp 100-800 ribu.
Dalam kasus di Yunani, dokter-dokter menerima suap tapi kukuh mempertahankan tindakan etis dengan tetap menyuntikkan vaksin ke lengan para penyuap. Sedangkan di Pinrang, orang-orang yang takut akan vaksinasi melepaskan tanggung jawab dengan menyerahkan risiko ke tubuh Abdul Rahim. Para penolak vaksin dari Pinrang tak terlampau peduli akan bagaimana efek vaksin terhadap tubuh Rahim. Dari sini, akan lebih menarik menyaksikan bagaimana otoritas medis meneliti tubuh Abdul Rahim ketimbang menyaksikan dia masuk sel di kantor polisi.
Apa yang terjadi di Yunani dan Pinrang memperjelas persoalan etis pandemi di era globalisasi. Pandemi bukan bahaya (hazard), melainkan risiko (risk), sehingga ia juga mesti dihadapi dengan pendekatan etis selain sains.
Kata sosiolog Jerman, Ulrich Beck, bahaya berbeda dengan risiko. Bahaya adalah ancaman yang bersifat endemis dalam kehidupan manusia. Dalam tafsir pramodern, bahaya dipahami sebagai kejadian yang berpangkal dari bencana alam atau kemarahan Tuhan. Sejarah kemanusiaan adalah sejarah melepaskan diri dari rentetan bahaya: kelaparan, wabah, bencana alam. Sedangkan risiko adalah gejala yang dimulai di era industrial dan mengalami radikalisasi di era globalisasi. Keduanya berbeda karena dalam risiko ada unsur keputusan manusiawi yang melibatkan tujuan-tujuan keuntungan tekno-ekonomi, sebagaimana secara subtil dipertontonkan oleh dokter-dokter Yunani dan Abdul Rahim.
Dalam konsep bahaya (bencana alam dan sebagainya) tidak ada muatan keputusan manusia, sementara risiko sepenuhnya merupakan buah keputusan manusia. Manusia telah berhasil melampaui aneka bahaya—mengusir wabah, mengatasi kelangkaan pangan, juga merekayasa teknologi untuk mengantisipasi dan menghindarkan diri dari bencana alam—tapi pada saat yang sama mengkreasi aneka risiko pula.
Sains dan teknologi secara gemilang telah mengurangi ancaman bahaya, tapi di saat yang sama keduanya menghasilkan risiko-risiko baru untuk manusia. Contoh paling sederhana adalah nuklir dan rekayasa genetika makanan. Di era pramodern, wabah dimengerti sebagai bahaya karena lebih banyak disebabkan oleh faktor alam. Kini wabah adalah risiko karena kemunculannya lebih banyak disebabkan oleh keputusan-keputusan tekno-ekonomi manusia dalam relasinya dengan alam. Di saat yang sama, globalisasi meradikalisasi wabah menjadi pandemi yang merasuki semua wilayah.
Pandemi ini menunjukkan apa yang disebut Beck dalam World at Risk (Cambridge, 2009) sebagai tiga karakter risiko global. Pertama, ia terdelokalisasi. Konsekuensi pandemi tidak terbatas pada satu lokasi geografis, negara-bangsa, atau bahkan benua. Kedua, konsekuensi sosial, ekonomi, dan politiknya tidak bisa dikalkulasi. Ketiga, ia memiliki unsur nonkompensabilitas karena dampak destruktif dari virus, yaitu hilangnya nyawa, tidak bisa “diperbaiki” bahkan setelah krisis mereda.
Dengan kata lain, pandemi adalah hasil manufactured risk. Ia memiliki lapis risiko yang tak bisa diprediksi dan bersifat generatif. Sifat generatif risiko dibuktikan dengan paradoks yang dibawa oleh varian baru SARS-CoV-2, Omicron. Omicron muncul pertama kali di daratan Afrika, hanya beberapa saat setelah dunia bernapas lega lantaran lepas dari serangan varian Delta yang ganas.
Apa yang menyebabkan Omicron muncul dan meluas? Salah satu pemicunya adalah minimnya vaksinasi. Angka vaksinasi di negara-negara Afrika rendah karena mereka berada di antrean paling belakang dalam pemerolehan vaksin. Sementara di negara-negara maju vaksin booster mulai disuntikkan, di Afrika hingga awal Desember 2021 baru 7 persen populasi yang memperoleh dua dosis vaksin. Dari Afrika, Omicron berimigrasi menyerbu negara-negara gudang vaksin di Amerika Serikat dan Eropa.
Di sini, risiko generatif pandemi sebenarnya bisa dikurangi sekiranya nasionalisme vaksin diberantas dan kesetaraan vaksin diperluas. Nasionalisme vaksin mengabaikan risiko aktual dari krisis kesehatan masyarakat global yang membutuhkan penguatan multilateralisme dan universalisme. Dalam wujud terburuk, nasionalisme vaksin dilandasi generalisasi akan pentingnya mesin politik negara dan menjustifikasi otoritarianisme sebagai pilihan terbaik untuk mengatasi pandemi.
Dengan kata lain, vaksin saja tidak cukup. Vaksin mesti diatur dan didistribusikan dalam kemanusiaan dan solidaritas. Upaya mengakhiri pandemi di satu negara tidak mungkin berhasil tanpa menyelesaikannya juga di tempat-tempat lain dalam waktu relatif bersamaan. Dengan kata lain, manusia mesti menggunakan fasilitas sama dengan yang digunakan oleh virus untuk memperluas diri, yakni kosmopolitanisme.
Moral kosmopolitan menyerukan suatu tanggung jawab etis untuk memperluas kepedulian melampaui batas-batas ras, etnis, dan negara. Ia didahului keyakinan bahwa semua orang di belahan negara mana pun sama berharganya. Pandemi mendorong umat manusia makin menghargai sains, dan di saat yang sama juga menyorong semua orang memasuki momen kosmopolitan.
Moral kosmopolitanisme dipertahankan, misalnya, dalam gugatan terhadap praktik lelang industri farmasi yang mengandaikan pemegang duit terbesar lebih berhak mendapatkan obat Covid-19. Dari sudut pandang kosmopolitan, utilisasi dan pemanfaatan pandemi untuk mengeruk keuntungan pribadi adalah tindakan amoral. Ia menggerus dan mengkorupsi solidaritas, modal yang diperlukan untuk melampaui pandemi.
Respons populis yang menguat di Indonesia dua tahun lalu hampir membenamkan kita. Otoritas medis yang lemah, kuatnya orientasi bisnis, dan pendekatan klientelistik dalam manajemen pandemi di masa awal masuknya virus corona nyaris membuat negara menjadi musuh bagi rakyatnya sendiri. Momen kosmopolitan telah menyelamatkan Indonesia. Ia yang mendesak supaya multilateralisme dan universalisme mau tak mau muncul demi vaksin dan obat yang tidak dapat disediakan secara domestik.
Kita tahu bahkan setelah pandemi Covid-19 ini berlalu dunia tidak akan pernah kembali seperti dulu lagi. Normalitas sudah menjadi nostalgia. Virus, teknologi, dan sains yang tumbuh dua tahun belakangan, secara radikal, telah mengubah koordinat seluruh ruang kehidupan dan basis eksistensi institusi-institusi lama. Di saat yang sama, ia diam-diam juga menyelipkan kesadaran dan kengerian bahwa suatu saat di masa depan yang tak bisa kita prediksi, pandemi serupa bisa terjadi lagi. Masa depan serba tak pasti, kecuali risiko.
Pertanyaannya, sejauh mana institusi-institusi politik kita, baik negara maupun civil society, mampu mempertahankan dan memelihara momen kosmopolitan ini? Indonesia adalah negara yang gemar mengkritik dan menggelorakan semangat menentang ketidakadilan global dan eksploitasi manusia oleh manusia. Namun, ironisnya, moral kosmopolitan gagal tumbuh dalam politiknya. Ia terus-menerus mesti ditopang dari luar.
Untuk menghadapi masa depan, Indonesia memerlukan politik baru yang berani keluar dari tekanan ortodoksi konservatisme agama dan nasionalisme-organis yang membosankan. Hanya dengan cara itu politik bisa selaras dengan sains dan solidaritas, yang terbukti menjadi senjata penanganan pandemi dua tahun ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo