Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Janji aparat keamanan untuk melindungi jemaah Ahmadiyah di Sintang tak terbukti.
Di Aceh, pendirian gereja terganjal qanun dan sikap masyarakat.
Pengadilan di Sintang dianggap berpihak kepada pelaku perusakan masjid Ahmadiyah.
NASIR Ahmad hanya bisa menatap api yang melalap bangunan di samping Masjid Miftahul Huda milik jemaah Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Sintang, Kalimantan Barat, Jumat, 3 September lalu. Kepada polisi yang berjaga, ia meminta pawaka akibat intoleransi itu dipadamkan agar tak merembet ke rumah ibadah yang berjarak setengah meter dari bangunan yang dilalap api.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya lemas melihat api sudah besar,” kata Nasir menceritakan ulang peristiwa itu kepada Tempo, Rabu, 22 Desember lalu. Dari jarak 25 meter, mubalig Ahmadiyah untuk wilayah Sintang dan Sanggau ini hanya bisa mengamati ketika sejumlah orang justru melemparkan kayu ke dalam api. Ada pula yang menjarah mesin pompa air dari masjid.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, lebih dari 100 orang yang mengatasnamakan diri Aliansi Umat Islam Bersatu menyerbu Masjid Miftahul Huda. Nasir mengatakan kedatangan kelompok ini sebenarnya sudah diketahui sehari sebelumnya.
Pagi hari sebelum pembakaran, aparatur desa serta perwakilan kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia bertandang ke rumah Nasir. Mereka meminta jemaah Ahmadiyah tak melawan massa. Nasir menyanggupi permintaan tersebut. Tapi ia menyatakan jemaah akan mempertahankan agar masjid tak dirusak.
“Mohon maaf, Bapak-bapak, semut pun jika diinjak akan menggigit sebelum mati. Akan kami pertahankan masjid itu,” ucap Nasir menceritakan isi pertemuan tersebut.
Menjelang pukul 11 waktu setempat, tetamunya kembali datang dan meminta Nasir tak keluar dari rumah. Mereka berjanji menjaga masjid agar tak dirusak. Dua kali Nasir bertanya mengenai keamanan masjid, dua kali pula petugas yang datang memberikan jaminan. Nasir sempat lega ketika tentara dan polisi datang dengan tameng dan pentungan.
Selepas salat Jumat, tamu tak diundang datang dengan membawa balok kayu dan martil. Dalam waktu cepat, mereka masuk ke dalam dan merusak masjid. Massa juga membakar karpet dan bangunan kayu tempat anak-anak mengaji di samping masjid. Setelah sekitar dua jam, massa bubar karena turun hujan lebat, yang juga menyelamatkan masjid dari rembetan api.
Perusakan rumah ibadah milik Ahmadiyah di Sintang satu dari banyaknya tindakan intoleransi terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Setara Institute, lembaga pegiat demokrasi dan toleransi, mencatat ada 424 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang 2020. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 327 pelanggaran.
Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan masjid kelompok Islam minoritas paling banyak menjadi obyek gangguan. “Terutama Ahmadiyah,” ujar Halili pada Selasa, 21 Desember lalu. Setelah masjid, gangguan terhadap gereja menyusul di urutan berikutnya.
Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Henrek Lokra, mengatakan insiden penutupan gereja tak sebanyak masjid Ahmadiyah dan kelompok minoritas Islam lain. Tapi tak ada solusi apa pun atas penutupan gereja.
Henrek mencontohkan peristiwa di Aceh Singkil, kabupaten yang terletak di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara. Pada Oktober 2015, Gereja Huria Kristen Indonesia Deleng Lagan di Sukamakmur, Gunung Meriah, Aceh Singkil, dibakar massa lantaran dianggap tak berizin. Belasan gereja lain dibongkar seusai peristiwa itu.
Pendirian gereja di Aceh kian sulit setelah berlakunya Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah. Pendirian rumah ibadah harus memenuhi syarat punya pemeluk minimal 140 orang dan didukung 110 orang dari luar tempat ibadah. “Berat karena masyarakat di sana tak mau ada gereja,” kata Henrek.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Beka Ulung Hapsara, mengatakan perusakan rumah ibadah menunjukkan kelemahan pemerintah pusat dan daerah dalam melindungi dan menegakkan hak asasi. “Mereka tak kuat menghadapi tekanan kelompok intoleran,” ujar Beka.
Ia juga menilai intoleransi terjadi lantaran kurangnya pemahaman terhadap ekspresi pemeluk agama lain. Beka mencontohkan perusakan rumah seorang anggota jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Karawang, Jawa Barat, pada 29 Oktober lalu yang dianggap sebagai tempat ibadah. Padahal jemaat HKBP hanya berlatih paduan suara. Henrek Lokra mengatakan jemaat HKBP tak menggugat ke polisi. “Mereka memilih dialog,” tuturnya.
Garis polisi memblokir akses ke gereja yang terbakar di Desa Suka Makmur, Aceh Singkil, Aceh, 18 Oktober 2015. REUTERS/YT Haryono
Setara Institute menilai ada sejumlah faktor pendukung intoleransi dan diskriminasi terhadap minoritas. Menurut Halili Hasan, pemerintah masih memberlakukan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006. Aturan ini mensyaratkan minimal ada 90 anggota jemaat dan dukungan 60 warga setempat untuk pendirian tempat ibadah.
Padahal konstitusi menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan keyakinan serta beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan. “Belum lagi regulasi restriktif lain di tingkat lokal,” kata Halili.
Faktor lain adalah rendahnya kapasitas aparatur pemerintah dalam melindungi hak minoritas. Halili mencontohkan, pelaksana tugas Bupati Sintang, Sudianto—meninggal pada 18 September lalu—meneken surat keputusan yang melarang aktivitas jemaah Ahmadiyah.
Menurut Halili, sikap Sudianto itu didukung Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji. Saat menjabat Wali Kota Pontianak, Sutarmidji mengeluarkan larangan serupa. Sutarmidji pun menemui dua perusak masjid Ahmadiyah di markas Kepolisian Daerah Kalimantan Barat pada 7 September lalu. Sikap Sutarmidji menuai kritik karena dianggap berpihak kepada pelaku.
Sutarmidji enggan menanggapi kritik itu. Dia berpendapat tak ada korban dalam perusakan tersebut. “Ini kasus basi, Kalbar sudah kondusif,” ucap politikus Partai Persatuan Pembangunan itu, Kamis, 23 Desember lalu.
Penegakan hukum terhadap pelaku perusakan rumah ibadah hampir tak pernah memenuhi rasa keadilan. Halili mencontohkan, Pengadilan Negeri Pontianak terkesan mengadili Ahmadiyah. Indikasinya, saksi yang dimintai keterangan pada awal persidangan adalah Majelis Ulama Indonesia. Hakim pun membiarkan ujaran kebencian terhadap Ahmadiyah yang dilontarkan terdakwa.
Tim Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan melaporkan majelis hakim Pengadilan Negeri Pontianak ke Komisi Yudisial pada medio Desember lalu. Juru bicara Komisi Yudisial, Miko Susanto Ginting, mengatakan lembaganya akan memantau proses persidangan perkara yang diadukan. “Kami sedang melakukan verifikasi,” ujar Miko pada Jumat, 24 Desember lalu.
Ketua Komite Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia Fitria Sumarni mengatakan komunitasnya tak melawan intoleransi dengan kekerasan. Jemaah Ahmadiyah menganut nilai love for all, hatred for none yang berarti “cinta untuk semua, tiada benci bagi siapa pun”. “Terhadap mereka yang menentang Ahmadiyah, kami tak akan main hakim sendiri,” kata Fitria.
RAYMUNDUS RIKANG, ASEANTY PAHLEVI (PONTIANAK)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo