Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Di Sekolah Sultan Iskandar Muda, Medan, empat rumah ibadah didirikan berdampingan.
Toleransi serupa ditunjukkan di SMA Negeri 2 Palangka Raya.
Di Desa Balun, Lamongan, penduduk juga berbagi kuburan dengan pemeluk agama lain.
MERIUNG di auditorium, sekitar 150 siswa Sekolah Menengah Atas Sultan Iskandar Muda, Medan, menatap layar telepon seluler masing-masing. Seorang guru di hadapan mereka menerangkan cara kerja aplikasi Chatbot Bineka. Ini merupakan aplikasi khusus untuk mengenal keberagaman dan toleransi beragama di antara para murid.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui layar yang terpacak di atas panggung, tampilan Chatbot Bineka disorot. Muncul satu pertanyaan mengenai kekhasan agama Hindu yang dipeluk oleh mayoritas penduduk di Bali. Alih-alih meminta siswa pemeluk Hindu untuk menjelaskan, guru mempersilakan murid penganut Katolik untuk menjawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami berusaha mengenalkan pluralisme kepada para siswa dengan cara sekreatif mungkin,” kata pendiri SMA Sultan Iskandar Muda, Sofyan Tan, pada Rabu, 22 Desember lalu.
Baca: Kisah Enam Ustad dan Ustazah Kampung memperjuangkan Toleransi dan Kesetaraan
Pluralisme dan toleransi di SMA Sultan Iskandar Muda dikenalkan tak hanya lewat pelajaran. Sekolah yang berdiri sejak 1987 itu memiliki empat rumah ibadah yang berdampingan di kompleks sekolah. Masjid bercat hijau, gereja dengan palang salib, wihara merah jambu berstupa emas, serta pura bercorak putih gading dan biru berdiri di area seluas lapangan basket.
Gagasan membangun tempat ibadah berdampingan tercetus pada 1996. Sofyan awalnya ingin membangun musala seluas 12 meter persegi, tapi kawannya yang arsitek justru menggambar masjid yang luas. Sofyan lalu menggalang dana dari orang tua siswa dan donatur. “Teman saya seorang Nasrani bersedia menanggung seluruh upah tukang yang membangun masjid,” ujarnya.
Gereja dan wihara dibangun pada 2003. Terakhir, pura berdiri pada 2017. Sebagaimana membangun masjid, pengurus sekolah meminta orang tua dan donatur lintas iman untuk urun tangan. Membangun empat rumah ibadah, sekolah menghabiskan hampir Rp 300 juta.
Menurut Sofyan, pendirian empat tempat ibadah itu mencerminkan situasi pemeluk agama di Medan dan para siswa di SMA Sultan Iskandar Muda. Dari sekitar 3.000 siswa, taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas dan kejuruan, mayoritas beragama Islam dan Kristen. Sedangkan pemeluk Hindu berjumlah sekitar 300 siswa.
Sofyan ingin para murid belajar toleransi dan menghormati beragam kepercayaan yang ada di masyarakat. Suatu kali seorang guru mengusulkan agar di antara tempat ibadah dibangun tembok. Tujuannya, mencegah vandalisme yang menghina agama lain. Usul itu ditolak karena menutup ruang siswa untuk menghormati ritual keagamaan yang berbeda.
Baca: Kiprah Gus Dur dan Empat Putrinya Melawan Intoleransi dan Diskriminasi
Sakka Winalagen, siswa kelas XII, bercerita, para guru punya aturan main di kelas untuk mengajarkan toleransi. Siswa wajib memilih teman satu meja yang berbeda agama. Para murid pun berkesempatan mengenal pemeluk agama lain setiap Jumat. Hari itu siswa muslim menunaikan salat di masjid, pemeluk Hindu bersembahyang di pura, dan siswa Nasrani mendalami Alkitab di gereja.
“Lagu pujian yang didaraskan bersama dengan lantunan azan merupakan hal yang biasa di sekolah kami,” kata Sakka. Menjelang perayaan Natal, para murid bersama-sama menghias pohon Natal. Sakka menyebutkan dekorasi Natal yang ada di sekolahnya disiapkan dan dibuat oleh siswa yang beragama Islam, Hindu, dan Buddha.
Kepala SMA Sultan Iskandar Muda, Edy Jitro Sihombing, mengungkapkan sekolah punya pelajaran lintas iman. Sebulan sekali para murid akan masuk ke kelas agama bersama. Di sini, guru akan mengulas satu topik yang bisa dibahas dengan pendekatan agama apa pun. “Misalnya topik mengenai kasih ditinjau dari ajaran Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha,” ujarnya.
Di Kalimantan Tengah, SMA Negeri 2 Palangka Raya juga memiliki tempat ibadah yang bersanding. Sekolah yang didirikan pada 1983 ini mempunyai musala, gereja, dan pura. Pembangunan beragam tempat ibadah tersebut digagas Badah Sari, Kepala SMA Negeri 2 periode 2013-2015.
Baca: Kisah Irwan Masduqi yang Pesantrennya Hampir Dibakar karena Dituding Melakukan Kristenisasi
Herlita, guru biologi SMA Negeri 2 Palangka Raya, mengatakan pada mulanya sekolah hanya memiliki musala. Badah Sari waktu itu kerap mengungkapkan keprihatinan saat melihat siswa beragama Kristen dan Hindu antre menunggu kelas kosong saat pelajaran agama. “Ada keinginan untuk memberi ruang kepada anak-anak merayakan Natal di sekolah,” tuturnya.
Badah Sari—pensiun sebagai guru pada 2020—lalu mengadakan rapat dengan pengurus sekolah. Mereka bersepakat merenovasi sejumlah ruangan kosong. Ruang kelas itu lalu dirombak menjadi bangunan gereja. Seiring dengan waktu, jumlah siswa pemeluk Hindu mengalami peningkatan, sehingga Badah Sari membangun pura di sisi kiri teras sekolah.
Para siswa memanfaatkan kehadiran tempat ibadah di sekolah. Murid Nasrani sering menggelar kebaktian dengan menyanyikan lagu dan alunan musik. Herlita menjelaskan, suara ibadah dari gereja rupanya dinilai mengganggu penduduk sekitar. Belum setahun gereja berdiri, perwakilan masyarakat datang ke sekolah dan memprotes suara yang dianggap bising itu.
Kepada warga, Badah Sari menjelaskan bahwa suara azan dari musala juga sering terdengar ke berbagai penjuru, tapi tak ada pemeluk agama lain yang memprotes. “Kami bisa menyelesaikan keluhan warga itu dengan baik,” kata Herlita.
Pemuda GKJW Desa Balun tengah melakukan gladi bersih persiapan Natal di Kecamatan Turi, Lamongan, 22 Desember 2021. TEMPO/Sujatmiko
Bukan hanya lembaga pendidikan, ada pula warga desa yang berikhtiar membangun toleransi antar-umat beragama dengan mendirikan rumah ibadah berdampingan. Di Desa Balun, Kecamatan Turi, Lamongan, Jawa Timur, yang ditempati hampir 5.000 orang, berdiri Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Balun, Masjid Miftahul Huda, dan Pura Sweta Maha Suci dalam satu kompleks.
Tatkala Tempo berkunjung ke Desa Balun pada 22 Desember lalu, alunan lagu “Gloria in Excelsis Deo” lamat-lamat terdengar dari dalam GKJW Balun. Para pemuda gereja yang tergabung dalam kelompok paduan suara sedang berlatih menyiapkan ibadah Natal. Sekitar setengah jam kor itu berlatih, azan zuhur berkumandang dari masjid.
Meski azan dan lagu rohani melantun beriringan dari gereja dan masjid yang berjarak kurang dari 100 meter, penduduk setempat tak pernah memprotes. Ketua Wilayah GKJW Balun, Sutrisno, bercerita, warga Balun saling membantu ketika ada perayaan keagamaan. Natal tahun ini, misalnya, seorang warga muslim berderma dua ekor kambing untuk jemaat GKJW Balun.
Setahun sebelumnya, pemeluk Hindu memberi seekor kambing. “Kami saling membangun kepercayaan dan membantu satu sama lain,” ujar pria 63 tahun itu. Menjelang Natal, warga Kristen di Desa Balun menggelar kenduri dan mengundang semua warga, baik pemeluk Islam maupun Hindu, untuk makan bersama.
Lain waktu, perayaan Nyepi jatuh pada hari Jumat. Penganut Hindu di Desa Balun harus tinggal di rumah dan memadamkan semua peralatan elektronik. Pemeluk Hindu di Desa Balun, Mangku Tadi, mengungkapkan umat Islam dan pengurus masjid bersedia mematikan pengeras suara di luar bangunan itu.
“Umat Islam ingin menjaga situasi hening yang sedang kami hayati pada saat Nyepi,” kata Mangku.
Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama Lamongan Masnur Arief punya pengalaman toleransi yang berbeda. Ia pernah menyaksikan semua warga lintas iman ikut mendoakan warga yang meninggal, apa pun agama yang dianut almarhum. Bahkan, untuk urusan kuburan, penduduk Balun berbagi lokasi makam yang terletak di antara masjid, gereja, dan pura.
“Praktik toleransi di Balun tak basa-basi, tapi langsung diimplentasikan,” ucap Arief, yang juga pengurus Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama Lamongan.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Beka Ulung Hapsara, mengungkapkan ikhtiar mengenalkan toleransi dan pluralisme, khususnya di sekolah, perlu diimbangi dengan kebijakan lain. Komnas HAM mencatat, meski sejumlah lembaga pendidikan membangun berbagai tempat ibadah, banyak sekolah kekurangan guru agama, baik enam agama maupun aliran kepercayaan.
Menurut Beka, guru agama menjadi tokoh penting untuk mengenalkan keberagaman dan sikap saling menghormati di antara pemeluk agama. “Guru memberi pemahaman dan memancing rasa ingin tahu siswa untuk belajar memahami berbagai ekspresi keberagaman di tengah masyarakat,” katanya.
Beka berharap pembangunan rumah ibadah yang berdampingan bukan sekadar simbol toleransi beragama di tengah maraknya aksi kekerasan berbasis agama. Sejak 2015, Komnas HAM rata-rata menerima lebih dari 20 aduan per tahun mengenai pelanggaran hak kebebasan beragama. “Kehadiran tempat ibadah yang berdampingan dapat menjadi pintu masuk dialog lintas iman,” tutur Beka.
ADINDA ZAHRA (MEDAN), KARANA W.W. (PALANGKA RAYA), SUJATMIKO (LAMONGAN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo