Sebuah tonil digelar di Bandung puluhan tahun lalu. Tante Jeanne, nenek 74 tahun yang mempunyai cerita ini, tak ingat kapan persisnya peristiwa itu. Tapi memorinya merekam bahwa Kwee Thiam Jing, ayahandanya, memainkan peran raja. Dan ia cepat mencium, ayahnya tengah mengikuti insting yang amat dikenalnya sejak kecil: rasa usil.
Kwee kini bergerak di luar naskah. Dari atas pentas, ia memanggil seorang pemain yang masih menunggu giliran naik panggung. Teman yang satu ini bingung, tapi naik panggung juga. "Tidur sana…," perintah sang Opa, tenang sambil menunjuk lantai panggung. Meski tidak ada dalam skenario, si pemain melangkah menuju titik yang dituding, merebahkan diri.
Atmosfer pertunjukan tak berubah. Penonton tak menyangka adegan itu di luar skenario. Begitu juga saat raja menyelimuti sang teman dengan sebuah selimut besar yang berbau super-apek karena biasa dipakai menyelimuti anjing. Bawahan yang malang ini tak kuasa menolak. "Tidur…, tidur…, tidur yang enak…," kata Kwee mengipasi anak buahnya. Wajah sang teman kecut, geram, tapi ia tahu betul bahwa kejadian yang dialami bukan semata abuse of power. Ia sedang menghadapi orang yang hebat tapi suka iseng, jahil, gemar mengerjai orang, bahkan ugal-ugalan.
Kwee Thiam Jing, penulis buku Indonesia dalam Api dan Bara, hidup di antara kejadian-kejadian besar dan tragis. Tapi Kwee tak pernah kehilangan sikap main-main. Suatu kali di tahun 1926, dalam koran Soeara Poebliek, ia mengkritik Belanda yang habis-habisan menyerang sekelompok orang di Aceh yang tak mau menyerah. Ia terkena pasal persdelict (pelanggaran akibat tulisan di surat kabar), lantas masuk ke Tahanan Kalisosok, Surabaya (Januari-Juli 1926).
Pada Juli 1926 ia lantas dipindah ke Penjara Cipinang, Jakarta. Tapi bukan itu yang meninggalkan kesan amat mendalam. Kwee ingat saat Belanda mau menghemat penggunaan rantai: satu rantai untuk lima tahanan. Jadi, kalau seorang tahanan mau ke kamar kecil, empat rekan serantai mau tak mau harus ikut juga. Tapi, kalau sedang tidak mau ke belakang, para tahanan duduk di belakang kerangkeng besi.
Kwee pernah marah besar kepada seorang Cina di Kuala Lumpur, Malaysia--sebuah kemarahan yang kemudian berujung pada akhir yang menggelikan. Waktu itu (1960-1970) Jeanne mengikuti suaminya ke negeri jiran itu. Stanley Gouw, bekas non-playing captain kontingen Indonesia dalam Thomas Cup 1958, baru saja dipromosikan di perusahaan obat asal Italia, Carlo Erba, di sana.
Suatu hari, saat Kwee berjalan-jalan di Kota Kuala Lumpur, sampailah ia di sebuah toko milik orang Cina Kanton. Sang pemilik toko menyapa Kwee dalam bahasa Kanton, tapi yang ditegur menunjukkan mimik tak mengerti. Pemilik toko itu mengolok-olok Kwee, yang bermuka Cina tapi tak bisa berbahasa Cina. Kwee tidak bisa terima. Namun, kemarahannya meluap dalam bahasa Jawa, yang tentu saja tak diketahui artinya oleh si pemilik toko. Keduanya terus memaki tapi tak sadar lawan berkelahinya tak memahami kata-kata yang ditembakkan. Adegan konyol di toko itu menimbulkan rasa geli di kemudian hari, sekaligus menunjukkan warna nasionalisme dalam diri seorang Kwee.
Dalam urusan-urusan bahasa dan identitas lainnya, Kwee seorang nasionalis. Tapi, di luar itu, ia seorang humanis yang sering mendengar suara hati. Saat terjadi tragedi berdarah di Malang pada tahun 1946, Kwee dalam posisi dilematis. Ia pemuka masyarakat setempat yang ditunjuk sebagai ketua rukun tetangga (RT) di sebuah kawasan yang dihuni banyak keluarga Belanda. Ia tahu, pantang hukumnya memberikan bantuan kepada para keluarga Belanda, karena para pemuda yang melakukan penjarahan dan pendudukan memerintahkan begitu. Dengan kata lain, siapa yang membantu Belanda adalah antek atau mata-mata Belanda.
Dan Kwee tahu benar: jika melanggar, jiwa jadi taruhannya. Tapi, ia tak bisa tinggal diam mendengar dari dinding di sebelah rumahnya suara anak-anak bule yang berteriak-teriak kelaparan, "Mammie, ik heb honger…." Ia segera menyuruh pembantunya belanja ke pasar dan memasakkan sesuatu. Jika malam tiba, barulah Kwee memberikan ransum kepada tetangganya.
Hidup di antara kaum muda yang telengas memang tak mudah, apalagi di masa power vacuum, di saat-saat kekuasaan berpindah tangan. Para pemuda merasa seakan mendapat privilese untuk melakukan apa saja terhadap unsur kekuasaan lama. Termasuk menjarah, merampok, menduduki, memerkosa, menculik, menyiramkan bensin dan menyalakan api di atasnya--bahkan menuding siapa saja yang pernah dibenci sebagai antek Belanda. Tapi Kwee menolak tunduk pada fenomena politik itu. Ia bahkan berani mengayuhkan sepeda berkeliling kota untuk menyelamatkan orang tuanya, seraya memutari kota untuk melihat apa yang sesungguhnya telah terjadi di Kota Malang.
Dari delapan orang bersaudara, Kwee Thiam Jing anak yang tertua, dan ia menjadi satu dari dua lelaki dalam keluarga itu. Kwee lahir di Pasuruan pada 9 Februari 1900, dan ayah Kwee adalah Kwee Tjiong Ging, seorang pegawai di pabrik gula besar Kebon Agung yang ada di Malang. Kwee jahil dan iseng, tapi ia menyimpan sebuah hati yang luas, dan mudah tersentuh dengan penghidupan mereka yang kurang beruntung. Kerap kali Kwee memberikan makan atau minum kepada para pengemis di pinggir jalan.
Karier Kwee sebagai wartawan memang cukup baik. Semasa hidup--sebagaimana direkonstruksi kembali oleh Indonesianis RO’G Ben Anderson--ia pernah bekerja untuk sejumlah terbitan. Pada 1920-an ia sudah menulis untuk majalah Lay Po. Nama Tjamboek Berdoeri sendiri, menurut Ben Anderson, sudah dipakainya sejak ia bekerja dengan Liem Koen Hian di Pewarta Soerabaia tahun 1921.
Pada 1933 ia pernah coba mendirikan surat kabar sendiri, Pembrita Djember, tapi cuma bertahan satu tahun. Untuk menutupi ongkos pembuatan koran dan pengeluaran lainnya, Kwee dan istrinya membuka bisnis restoran yang diberi nama Sangkoeriang. Ketika tinggal di Bandung pada tahun 1936, ia banting setir membuka bisnis tonil dan pasar malam.
Kwee sempat bekerja sama dengan Liem Koen Hian, seorang tokoh peranakan Cina kala itu. Ia pindah kantor ke Sin Jit Po tahun 1929, yang kemudian berganti nama jadi Sin Tit Po. Itulah kerja sama yang berumur panjang. Di sana ia bertemu sejumlah tokoh peranakan Arab seperti Baswedan Abdurrahman dan Alamoedi.
Setelah Perang Dunia II berakhir, Kwee menuliskan bukunya yang legendaris, Indonesia dalem Api dan Bara. Sebuah buku yang diselimuti cover berwarna merah, dan judul buku ditulis dengan huruf besar. Di dasar tiap-tiap huruf ada gambar lidah api menyala. Sangat sederhana dan menggunakan kertas merang yang umum dipakai kala itu. Buku ini aslinya berukuran 10 x 12 cm dan tebalnya 222 halaman.
Di masanya, buku berjudul Indonesia dalem Api dan Bara memang tak pernah populer. Buku ini hanya menjangkau khalayak pembaca yang amat terbatas karena pihak penerbit, Penerbit Perfektas, hanya mencetak sedikit. Buku tersebut tidak dijual untuk umum, tapi diedarkan oleh Kwee sendiri secara pribadi kepada sejumlah temannya. Mungkin saja buku ini dicetak dari hasil uang tabungan Kwee.
Tak banyak catatan tentang berbagai tulisan Kwee setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia tahun 1949. Kwee sendiri tak menolak ketika anak dan menantunya meminta ia pergi dan menemani mereka di Kuala Lumpur. Kwee punya lima orang cucu, dan ia rajin mengantar tiap pagi para cucunya dengan menggunakan sepeda.
Tulis-menulis masih ia lakukan, tapi jarang dipublikasi. Mungkin baru setelah pulang kembali ke Tanah Air, tahun 1970, Kwee kembali aktif menulis dan menerbitkannya di surat kabar. Koran favorit yang ia pilih untuk memuat karyanya adalah Indonesia Raya, milik Mochtar Lubis si batu granit. Indonesia Raya pernah tutup dari tahun 1958 hingga 1968, dan Mochtar sendiri sempat mendekam di bui selama satu dekade. Ketika Orde Baru muncul ke permukaan, koran Mochtar itu kembali terbit, sebelum akhirnya kembali dimatikan pada tahun 1974.
Kerja sama Kwee dengan koran ini cukup awet, tapi tak jelas benar hubungan Kwee dengan Mochtar. Keduanya orang yang sama-sama kecewa terhadap Orde Baru. Jeanne, anak satu-satunya, mengatakan bahwa ayahnya sempat frustrasi menghadapi Orde Baru dan ia kerap menuangkan unek-uneknya dalam tulisannya di media massa. Boleh jadi Kwee sempat berharap menyaksikan perubahan yang diidam-idamkan.
Dalam tulisannya di Indonesia Raya, Kwee banyak bercerita tentang masa lalu dirinya. Ia membuat tulisan bersambung dalam koran yang juga pernah dipimpin oleh Atmakusumah Astraatmadja, Ketua Dewan Pers kini. Salah satu tulisannya berkisah tentang pengalamannya saat menjadi penjaga Kota Malang. Waktu itu, pertengahan tahun 1941, ia mendaftarkan diri menjadi stadswacht.
Mungkin masih banyak yang belum kita ketahui tentang sosok yang satu ini. Tapi Tante Jeanne atau Kwee Hing Sien, satu-satunya anak Kwee Thiam Jing, menangkap dua karakter berlawanan dalam diri ayahandanya. Ada sifat humoris yang begitu besar, ada juga sifat ekstra-serius yang dimilikinya. Untuk yang satu ini, menurut Tante Jeanne, bahkan ia agak temperamental. Belajar menuntut keseriusan yang total. "Kalau pekerjaan rumah ada yang salah, saya kena pukul juga," katanya.
Tanggal 28 Mei 1974, Kwee meninggal di Jakarta dengan cara yang sangat damai. Ia meninggal dalam tidur, terkena serangan jantung. Jeanne masih ingat hujan sempat turun ketika jenazah ayahnya hendak dimakamkan. "Seolah hendak membersihkan udara sebelum mengantar kepergian papi." Ketika hujan berhenti, sepucuk bunga di depan lokasi makam mekar, memperlihatkan kelopak bunga. Kepergian si Opa mungkin pertanda harapan yang mekar, atau mungkin sekadar mengajak senyum--agar kita tidak pernah kehilangan rasa humor dalam situasi apa pun.
Ignatius Haryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini