Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Tangis Anisa pecah ketika mendengar kabar keranda berisi jasad adiknya, Harun Ar-Rasyid, segera tiba di rumahnya, kemarin siang. Raungan remaja bergamis dan berkerudung hitam itu menjadi-jadi kala rombongan pembawa jenazah kian mendekat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Aku mau gotong dan peluk Abang. Ini ada yang jahat sama Abang," ujar Anisa, 19 tahun, sambil terduduk di kursi di rumahnya di RT 09 RW 10 Nomor 81, Duri Kepa, Jakarta Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anisa memanggil adiknya yang berusia 15 tahun itu dengan sebutan "Abang". Harun adalah satu-satunya anak lelaki dari tiga bersaudara di rumah itu. Ayah mereka, Didin Wahyudin, sehari-hari bekerja sebagai sopir di bengkel mobil. Sesekali, Didin juga menarik ojek online.
Unjuk rasa menolak hasil pemilihan presiden yang berujung rusuh pada 21 dan 22 Mei lalu merenggut nyawa delapan orang. Salah satunya ialah Harun, siswa kelas VII SMP Islam Assa’adatul Abadiyah.
Kawan Harun, berinisial ATS, tak menyangka ajakan untuk melihat demonstrasi pada Rabu siang lalu itu berujung kematian kawannya. "Ayo, coba lihat ke Slipi. Katanya di sana ada demo," kata dia, menirukan ajakan Harun.
Menggunakan sepeda motor, sekitar pukul 14.00, Harun bersama ATS lantas menuju daerah Slipi, Jakarta Barat, untuk melihat massa yang sejak siang berunjuk rasa. Sebelumnya, massa di jembatan layang Slipi bentrok dengan polisi.
Harun dan ATS berbaur dengan massa itu sampai malam hari, ketika massa kembali bentrok dengan polisi. "Saya terpisah dengan Harun akibat gas air mata," ujar ATS, 15 tahun. ATS mengira Harun telah pulang ke rumahnya. Dia pun memutuskan untuk pulang sendiri. Namun, Kamis pagi, ia terkejut mendapat kabar Harun telah meninggal.
Rabu malam itu, Harun ditemukan tergeletak di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat, sekitar satu kilometer dari lokasi bentrokan massa dengan aparat di jembatan Slipi.
Salah seorang warga yang menemukan Harun adalah Dede Gunawan, kenalan keluarga korban. Tapi awalnya Dede tak mengetahui bahwa salah satu korban yang ia gotong ke ambulans adalah Harun. Pria 48 tahun ini hanya mengingat kondisi tubuh anak bercelana pendek bermotif kotak-kotak itu berlumuran darah. "Gak lihat jelas lukanya," ujar Dede.
Dede baru mengetahui bahwa anak tanpa baju dan alas kaki yang ditolongnya itu tewas dari sopir ambulans yang kembali dari Rumah Sakit Dharmais. Menurut sang sopir, anak itu meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Belakangan, Dede baru mengetahui bahwa anak yang ia tolong adalah Harun.
Dede menjelaskan, ketika kericuhan kembali pecah pada malam hari, jarak antara polisi dan massa cukup jauh. Polisi beberapa kali menembakkan gas air mata ke arah kerumunan massa. Tapi tak sempat terjadi kontak fisik.
Tempo sempat melihat video ketika Harun berada dalam ambulans serta foto korban setelah di rumah sakit. Dari video dan foto itu terlihat bagian atas tangan Harun, dekat pundak kiri, dibalut perban dan plester. Menurut seorang relawan yang menolong Harun, bagian dada korban tampak bengkak.
ATS mengaku kapok melihat unjuk rasa seperti pada Rabu lalu. "Gara-gara demo kemarin, saya kehilangan teman," kata dia saat mengikuti proses pemakaman Harun di Taman Pemakaman Umum Duri Kepa, Kebon Jeruk, kemarin.
INGE KLARA | GANGSAR PARIKESIT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo