Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAUT wajah Jenderal Sudirman menegang ketika membaca pamflet Perdjuangan Kita, sekitar November 1945. Pamflet itu merupakan program politik Sutan Sjahrir lima hari sebelum menjadi perdana menteri. Sjahrir menegaskan kemerdekaan penuh bisa diraih lewat diplomasi. Cara yang akan ditempuhnya pertama-tama ”menyingkirkan semua kolaborator Jepang”.
Sudirman marah karena Pasukan Pembela Tanah Air (Peta) yang dipimpinnya tak lain bentukan Jepang. ”Pernyataan itu kurang bijak dan menyinggung perasaan kalangan PETA,” katanya kepada Adam Malik seperti tertuang dalam buku Mengabdi Republik (1978). ”Jika diplomasi itu memecah persatuan kita, saya tak segan mengambil kebijakan sendiri.”
Sejak itu perseteruan Sudirman-Sjahrir tak terelakkan. Sudirman kemudian bergabung dengan Tan Malaka dalam Persatuan Perjuangan, kelompok yang menampung 141 wakil organisasi politik, tentara, dan pemuda radikal. Keduanya menjadi penentang paling keras politik diplomasi Sjahrir. Mereka mendesak Presiden Soekarno memecatnya.
Sudirman menganggap Sjahrir mengkhianati cita-cita proklamasi karena diplomasinya menyodorkan opsi pengakuan kemerdekaan kepada Jawa dan Madura saja, juga pembentukan Republik Indonesia Serikat. Menurut Sudirman, mestinya Sjahrir mendesak Belanda, Inggris, dan Sekutu mengakui kedaulatan seluruh wilayah Indonesia, setelah Jepang menyerah dalam Perang Pasifik.
Oposisi itu mengeras karena Soekarno-Hatta ternyata lebih condong kepada jalan Sjahrir. Orang Persatuan Perjuangan bahkan menuding Soekarno mengendalikan politik Sjahrir dari jauh.
Di tengah situasi panas itu, Muhammad Yamin yang merapat ke kubu Persatuan menemui Bung Karno di Istana Negara. Pertemuan yang ditafsirkan upaya makar itu kian menggolakkan suhu politik. Sjahrir mendadak meletakkan jabatan perdana menteri. Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin menangkap 12 pemimpin Persatuan. Bung Karno menyatakan keadaan darurat perang.
Tentara yang pro-Persatuan membalas penangkapan itu dengan menculik Sjahrir yang sedang berkunjung ke Solo pada 27 Juni 1946. Dengan kembali memimpin pemerintahan, Soekarno meminta Sjahrir dibebaskan. Untuk sementara perseteruan mereda sampai Soekarno kembali menunjuk Sjahrir sebagai perdana menteri, 2 Oktober 1946.
Perseteruan antarpemimpin sipil itu kian terbuka. Para pemuda Persatuan bahkan baku tembak dengan tentara ketika mencegat mobil yang ditumpangi Amir Sjarifoeddin.
Sjahrir, sementara itu, tetap melanjutkan diplomasi dengan menggelar Perundingan Linggarjati, Renville, hingga Konferensi Meja Bundar. Para penentangnya menuding perjanjian itu gagal dan memberi Sekutu peluang lebih lama bercokol di Indonesia. Sementara oleh pendukungnya, Sjahrir dianggap sukses karena soal pendudukan ini tetap menjadi isu internasional.
Rosihan Anwar, misalnya, menilai Sudirman terlalu terpengaruh gerakan radikal pendukung Tan Malaka, yang menginginkan konfrontasi. Menurut Rosihan, wartawan harian Pedoman dan simpatisan Partai Sosialis Indonesia, Sjahrir bukan tak sadar pertikaian di dalam itu melemahkan program politiknya sendiri.
Suatu kali, November 1946, Sjahrir meminta Sudirman yang sedang bergerilya di hutan-hutan Yogyakarta datang ke Jakarta. Sjahrir menawarkan gencatan senjata dengan Sekutu. Di luar dugaan, Sudirman mau dengan ajakan itu. ”Tapi dia cuma sampai Cirebon,” kata Rosihan, kini 87 tahun, tiga pekan lalu. ”Dia takut ditangkap tentara Sekutu.”
Sjahrir kembali meyakinkan bahwa Sudirman adalah pemimpin yang dihormati sehingga tak mungkin ditangkap. Kali ini bujukan itu dipenuhi Sudirman. Ia keluar dari hutan dan menemui Sjahrir di Istana.
Dengan gaya flamboyannya, Sjahrir menyambut jenderal besar yang paru kirinya sudah mati itu dengan upacara megah. ”Saya lihat dia kagum dengan cara Sjahrir memperlakukannya,” kata Rosihan. Setelah pertemuan itu Sudirman melunak dan tak lagi menyangka Sjahrir bersekongkol dengan Sekutu.
Menjelang meninggal, Januari 1950, Sudirman mengatakan kepada Sultan Hamengku Buwono IX, yang menjenguknya saat sakit, bahwa Sjahrir adalah pemimpin besar yang pantas memimpin Republik. ”Saya dengar cerita ini dari Sultan sekitar Februari 1950,” kata Rosihan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo