Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tiga Serangkai Ahli Waris Revolusi

Hubungan Sjahrir-Hatta awet hingga akhir. Retak dengan Soekarno sejak ditahan di Prapat.

9 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA rapat Pemuda Indonesia di Bandung itu tiba-tiba mencapai suhu tinggi. Soekarno diinterupsi oleh Suwarni. Ketua Putri Indonesia itu protes karena Soekarno terlalu sering mencampuradukkan bahasa Indonesia, Belanda, dan Sunda dalam ceramahnya. Ia juga gerah karena Bung Besar terlalu menggebu membanggakan Partai Nasional Indonesia—partai yang ia dirikan dan baru seumur jagung. ”Bung, ini bukan tempat buat propaganda PNI,” kata Suwarni ketus.

Soekarno terkejut. Ia tidak menyangka akan diperlakukan seperti itu. Dia marah dan balas menyerang Suwarni dalam bahasa Belanda. Melihat kejadian itu, Sutan Sjahrir—pimpinan pertemuan—langsung mengetukkan palu. Dia meminta Soekarno tidak bicara melipir ke mana-mana. Pemuda 18 tahun itu bahkan minta Soekarno tidak bicara kasar kepada perempuan. Ia mengingatkan Soekarno tidak memakai bahasa Belanda. Sudah jadi ketentuan, bila perhimpunan itu bertemu, penggunaan bahasa Indonesia wajib hukumnya.

Teguran itu manjur. Setahun sebelum Sumpah Pemuda, pemakaian bahasa Indonesia memang digalakkan. Pada masa itu, banyak pemuda yang belepotan dalam berbahasa Indonesia. Bahasa ini menarik minat karena dinilai bebas dari tradisi feodal. Soekarno, yang usianya lebih tua sembilan tahun dari Sjahrir, menyadari kekeliruannya. Ketua Partai Nasional Indonesia itu minta maaf.

Kejadian pada akhir 1927 itu berbekas buat Soekarno. Dia tidak pernah lupa sosok Sjahrir. Ia sering datang ke pertemuan Pemuda Indonesia. Sebaliknya, Sjahrir sesekali mengikuti perdebatan di kelompok Soekarno. Pemuda Indonesia dan PNI, kata Soekarno, ”Satu kesatuan yang tak terpisahkan.”

Tapi pertalian keduanya hanya sejenak. Pada Juni 1929, Sjahrir meneruskan studi ke Belanda. Di negeri ini ia bertemu Mohammad Hatta, Ketua Perhimpunan Indonesia. Berkat bimbingan dan dorongan Hatta, Sjahrir masuk Perhimpunan Indonesia. Hatta mendidik Sjahrir, Abdullah Sukur, dan Rusbandi. Enam bulan berselang, Sjahrir menjadi pembicara utama dalam pertemuan organisasi itu. Pada Mei 1930, Sjahrir sudah jadi orang nomor dua di perhimpunan itu.

Rudolf Mrazek, dalam bukunya Sjahrir, Politics and Exile in Indonesia, melukiskan bahwa di antara Sjahrir dan Hatta terdapat kesamaan yang kuat. Lahir dari tanah Minang, mereka sama-sama menyerap pengalaman dari sistem pendidikan etis kolonial. Mereka juga sama-sama berutang budi kepada kerabat keluarga yang membantu menyekolahkan hingga ke Belanda. Itu sebabnya di antara keduanya tumbuh rasa saling pengertian yang kuat. ”Sjahrir hormat sekali kepada Hatta,” ucap Rosihan Anwar, wartawan senior. Sebaliknya, Hatta sayang pada Sjahrir.

Keduanya juga punya pandangan yang sama. Menurut mereka, study club yang didirikan Abdoel Karim Pringgodigdo di Jakarta dan Inoe Perbatasari di Bandung harus mengutamakan pendidikan rakyat. Gerakan perlawanan setelah Soekarno ditangkap ini menamai dirinya ”golongan merdeka”.

Hatta menyarankan ”golongan merdeka” menerbitkan jurnal, yang memiliki misi untuk pendidikan rakyat. Pendidikan, kata Sjahrir, harus menjadi tugas utama pemimpin politik. Keduanya sama-sama ingin berkecimpung dalam pendidikan sepulangnya dari Belanda. Akhir Agustus 1931, ”golongan merdeka” dari berbagai kota melebur menjadi Pendidikan Nasional Indonesia.

Namun keterlibatan mereka dengan politik Tanah Air menuai kritik. Mahasiswa Indonesia yang dekat dengan Partai Komunis Belanda menuduh Hatta bertindak di luar ketentuan Perhimpunan. Dalam pertemuan pada November 1931, Hatta dipecat dari organisasi itu. Sjahrir satu-satunya yang menentang keputusan tersebut. Ia pun meninggalkan perhimpunan.

Keduanya lalu berencana pulang ke Tanah Air. Tapi Hatta harus merampungkan sisa studinya. Akhirnya disepakati, Sjahrir pulang lebih dulu pada November 1931. Bila sudah rampung, Hatta menyusul ke Indonesia, Sjahrir kembali ke Belanda melanjutkan kuliahnya. Nyatanya, Sjahrir tidak pernah balik lagi ke Belanda.

Keduanya sibuk memimpin Pendidikan Nasional Indonesia. Mereka ditangkap polisi Belanda pada Februari 1935. Sembilan bulan kemudian dibuang ke Boven Digul. Pada 1936 dikirim ke Banda Naira, dan kembali ke Jawa pada Januari 1942 sebelum Jepang datang.

Enam bulan kemudian, Sjahrir dan Hatta bertemu Soekarno yang baru pulang dari pengasingan di Palembang. Hari itu juga ketiganya rapat di rumah Hatta. Mereka sepakat: Soekarno-Hatta bekerja sama dengan Jepang, dan Sjahrir bersama Persatuan Mahasiswa di Jakarta menyusun perlawanan bawah tanah.

Hubungan ketiganya terus berlanjut. Sjahrir, sesudah proklamasi, menjadi Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Soekarno setuju Sjahrir membentuk kabinet parlementer. Sjahrir diangkat menjadi perdana menteri merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

Ketika ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta, Sjahrir seminggu sekali naik kereta api menemui Soekarno-Hatta. ”Langkah demi langkah dia laporkan ke Soekarno-Hatta,” kata Rosihan. Soekarno bahkan melindungi Sjahrir saat kabinet pertama hendak digulingkan oleh Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka. Hubungan baik itu, kata dia, berlanjut hingga perundingan Linggarjati. Kepemimpinan Sjahrir bertahan hingga tiga kabinet.

Setelah itu ia menjadi penasihat istimewa presiden. Saat Belanda melancarkan aksi militer kedua pada Desember 1948, Soekarno—bersama Agus Salim dan Sjahrir—diasingkan ke Brastagi dan Prapat, Sumatera Utara. Sedangkan Hatta, bersama Menteri Pendidikan Ali Sastroamidjojo dan Sekretaris Negara A.K. Pringgodigdo ditahan di Pulau Bangka.

Nah, di Prapat inilah, kata Rosihan, Sjahrir merasa kesepian. Sekali waktu Soekarno mandi dan melantunkan lagu One Day When We Were Young cukup keras. Sjahrir merasa terganggu. Dia berteriak, ”Hous je mond (tutup mulutmu).” Soekarno bilang ke Agus Salim, ”Siapa dia, marah-marah dan berani bentak. Saya ini kepala negara”. Sjahrir juga pernah mengkritik Soekarno yang meminta kemeja Arrow kepada pengawal Belanda. ”Kamu kan presiden, jaga gengsi dong,” kata Sjahrir. Soekarno jengkel.

Hubungan keduanya kian renggang setelah Perdana Menteri Belanda Willem Drees datang ke Jakarta, awal 1949. Dress minta berunding dengan Sjahrir sebagai sesama orang sosialis. Sjahrir memenuhinya. Tetapi pertemuan itu tidak menghasilkan apa-apa. ”Sjahrir menolak mengikuti permintaan Belanda,” kata Rosihan. Tetapi Sjahrir tidak kembali ke Prapat karena diizinkan menetap di Jakarta. Soekarno marah. Ia menganggap Sjahrir mengkhianati perjuangan. ”Kenapa dia tak kembali ke sini? Kalau begitu dia tak setia,” ujarnya.

Cerita itu didapat Rosihan dari Mohammad Roem. Roem mendapat cerita itu dari Agus Salim, katanya. Rosihan pernah menanyakan percekcokan itu kepada Soekarno pada awal 1951. Saat itu mereka tengah melihat rumah di Prapat tempat Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim ditahan. ”Betulkah ada ruzie (percekcokan), bung?” Soekarno tidak menjawab.

Puncak keretakan Sjahrir-Soekarno terjadi awal 1962, saat iring-iringan Presiden di Makassar dilempar bom. Sjahrir ditangkap atas peristiwa itu. Menurut A.H. Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas, Soekarno otak di balik penahanan itu. Surat dikeluarkan Soekarno sebagai Penguasa Perang Tertinggi. Surat itu diteken Menteri Luar Negeri Soebandrio dan Nasution sebagai Menteri Pertahanan.

Tapi, kata Nasution, saat surat diteken, nama Sjahrir belum muncul. ”Saya hanya diminta menandatangani blangko kosong,” katanya. Nama-nama tersangka akan ditulis setelah pemeriksaan. Nyatanya, setelah surat diteken, Sjahrir ditangkap di rumahnya pukul empat pagi, 16 Januari 1962.

Menurut Des Alwi, anak angkat Sjahrir, seorang wartawan bernama Manopo pernah menemui Nasution. Manopo berpesan agar Soekarno waspada bila bepergian ke Makassar karena Sjahrir dan Mohammad Roem akan membunuhnya. Nasution tidak percaya laporan itu. ”Kamu ngomong begini bisa ditangkap,” Nasution menggertak. Tapi laporan itu, kata Des, sampai ke tangan Soekarno lewat orang-orang komunis. Soekarno percaya.

Hatta pernah mengirim surat kepada Soekarno mempertanyakan penahanan itu. Ia mengkritik hukuman penjara yang gaya kolonial. Tuduhan keterlibatan Sjahrir dalam perbuatan teror itu, kata Hatta, tidak masuk akal. Tapi surat itu tidak digubris. ”Bung Karno sudah paranoid,” kata Rosihan.

Sejak itu kondisi fisik Sjahrir merosot. Soekarno akhirnya mengizinkannya berobat ke Zurich, Swiss, pertengahan 1965. Ia wafat 9 April 1966. Menurut Des, gelar pahlawan nasional sudah disiapkan satu bulan sebelumnya. Hatta lalu mengatur pemakaman. Ia juga yang berpidato. ”Saya tahu Hatta sedih betul,” kata Rosihan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus