Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROGRAM Sastra Masuk Kurikulum besutan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memicu perbincangan panas di media sosial hingga media umum. Sasaran kritik, antara lain, kriteria pemilihan buku yang masuk daftar rekomendasi, masuknya buku-buku para kurator, hingga buku yang materinya tidak sesuai dengan usia siswa. Masuknya buku sastra ke berbagai mata pelajaran juga menjadi pertanyaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada 177 judul buku karya sastra, seperti novel, cerita pendek, dan puisi, yang masuk daftar rekomendasi untuk digunakan para guru dalam menunjang pembelajaran di berbagai mata pelajaran. Rinciannya, sebanyak 43 judul untuk SD, 29 judul untuk jenjang SMP, dan 105 judul untuk tingkat SMA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku-buku tersebut merupakan hasil pilihan 15 kurator yang terdiri atas sastrawan dan guru. Mereka adalah Abidah El-Khalieqy, Agustinus Prih Adiartanto, Dewi Kharisma Michellia, Eka Kurniawan, Felix K. Nesi, Iin Indriyati, M. Aan Mansyur, Mahfud Ikhwan, Martin Suryajaya, Oka Rusmini, Okky Madasari, Ramayda Akmal, Reda Gaudiamo, Saras Dewi, Sekar Ayu Adhaningrum, Triyanto Triwikromo, dan Zen Hae.
Kementerian Pendidikan menerbitkan buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra sebagai pegangan bagi guru dalam menggulirkan program tersebut. Rupanya, panduan ini juga bermasalah. Berbagai kesalahan muncul di sana, misalnya biodata sastrawan. Kesalahan data dalam buku tersebut bikin publik sastra makin geregetan, bahkan menjadi bahan olok-olok di media sosial. Ada yang salah tanggal dan tempat lahir, salah menyebut karya, serta salah menyebut nama sekolah. Bahkan ada sastrawan yang masih sehat walafiat, tapi dalam panduan tersebut tertulis sudah almarhum.
Sastrawan Nirwan Dewanto membuat surat terbuka dan mengkritik keras panduan itu. Ia juga meminta buku puisinya, Jantung Lebah Ratu, dikeluarkan dari daftar rekomendasi. Program Sastra Masuk Kurikulum makin panas. Kementerian Pendidikan lalu mengakui ada kesalahan dan menarik kembali panduan itu untuk diperbaiki. Namun persoalan tentu saja tidak selesai semudah memadamkan api rokok. Masih banyak pertanyaan menggantung dan belum terjawab gamblang.
Nah, kali ini Tempo mengundang sejumlah penulis untuk menjawab aneka persoalan yang masih belum memuaskan publik sastra tersebut. Mereka adalah Faruk, akademikus sastra di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda, Agustinus Prih Adiartanto (guru bahasa dan sastra Indonesia di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta), serta Anindito Aditomo yang merupakan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
Tentu saja tidak akan pernah ada kepuasan mutlak, tapi setidaknya bisa memberi tambahan informasi dan perspektif tentang program tersebut sehingga memperkaya gagasan serta diskursus tentang pengajaran sastra di sekolah. Harapannya, siswa akan makin akrab dengan sastra.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo