Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada dua kesibukan yang paralel pada waktu belakangan ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sibuk mencermati prestasi para pembantunya di kabinet. Masyarakat sibuk menghitung ponten yang pantas bagi ”rapor” setahun pemerintahan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Obrolan tentang ini bersipongang dari warung kopi yang sumpek sampai kafe teduh di pusat belanja; dari pojok angkutan kota sampai lobi-lobi perkantoran. Sejumlah biro riset dan lembaga swadaya masyarakat tak ingin ketinggalan dari momentum ini. ”Terjadi penurunan kepuasan publik yang cukup tajam sampai 17-19 persen selama setahun pemerintahan SBY-JK,” ujar Saiful Mujani, Direktur Lembaga Survei Indonesia (LSI).
Menurut pantauan LSI, pada November 2004 duet ini mendapat modal kepercayaan 80 persen untuk mengelola pemerintahan. September 2005, sebelum pengumuman kenaikan BBM pada 1 Oktober, tingkat kepuasan publik merosot hingga 63 persen.
Jika tingkat penurunan kepuasan itu dibedakan lagi secara lebih spesifik antara Presiden dan Wakil Presiden, penurunan terbesar dialami Jusuf Kalla sebesar 19 persen dibanding Yudhoyono yang 17 persen. Pada awal pemerintahan, Yudhoyono dan Kalla mengantongi ”modal kepuasan” masyarakat sebesar 80 persen dan 77 persen, namun kini hanya tinggal 63 persen dan 58 persen.
LSI merekam pendapat masyarakat melalui 1.137 responden di 33 provinsi dengan metode multistage random sampling. Berdasarkan lokasi tempat tinggal, 39,3 persen responden tinggal di kota dan 60,7 persen tinggal di desa. Survei dilakukan pada 22-26 September. ”Jika survei opini publik ini dilakukan setelah kenaikan BBM dan bom Bali II, kemungkinan tingkat kepuasan terhadap Presiden dan Wakil Presiden bisa lebih rendah lagi,” tambah Saiful.
Penyebab utama penurunan kepuasan publik adalah soal perut. Baru sebulan pemerintah bekerja—pada November 2004—21 persen masyarakat menilai kondisi ekonomi lebih buruk dibanding setahun sebelumnya. Akhir September 2005, penilaian negatif meroket lebih dari dua kali lipat menjadi 47 persen. Ini kenaikan sentimen negatif publik tertinggi terhadap kondisi ekonomi nasional sepanjang Yudhoyono-Kalla memerintah. Bahkan, lebih tinggi dibanding saat-saat akhir pemerintahan Megawati pada Oktober 2003. Waktu itu penilaian negatif publik terpatri pada angka 41 persen.
Publik yang merasa keadaan ekonomi sekarang lebih baik dibanding awal pemerintahan Yudhoyono-Kalla pun menurun dari 41 persen menjadi 24 persen. Selebihnya menyatakan tidak ada perubahan.
Bagaimana prospek setahun ke depan? Tingkat optimisme publik juga meredup. Anggota masyarakat yang yakin ekonomi nasional bisa lebih baik anjlok dari 67 persen menjadi 42 persen. Artinya, lebih dari separuh masyarakat kini dihantui ”wabah epidemik” baru selain demam berdarah dan flu burung: pesimisme massal.
Terhadap parameter lain seperti jumlah pengangguran dan orang miskin, pengendalian harga barang dan suplai BBM, terjadi pula penurunan kepercayaan yang cukup signifikan. Padahal respons untuk parameter ini diukur hanya dalam tiga bulan terakhir. Hanya pada kemampuan pemerintah mendatangkan investor luar negeri yang relatif tidak berubah di kisaran 47 persen. Hasil survei LSI ini menunjukkan kinerja bidang ekonomi kabinet Yudhoyono-Kalla pantas mendapat angka ”merah” jika diukur dari pencapaian selama setahun terakhir.
Untuk rapor non-ekonomi, Yudhoyono bisa menarik napas lega: 75,8 persen publik menilai pemerintah bekerja dengan baik dalam memberantas perjudian, korupsi (65,1 persen), mengatasi kriminalitas (76,8 persen) sampai menangani masalah GAM (75,9 persen).
Begitu pula dengan kinerja di bidang sosial seperti penanganan masalah kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan.
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) yang dipimpin Todung Mulya Lubis melihat dalam satu tahun pemerintahan Yudhoyono-Kalla, masalah-masalah fundamental kembali hadir. Yang terparah adalah penurunan kualitas ketatanegaraan (statecraft) yang tercermin lewat tumpang-tindih jabatan kepartaian dan jabatan eksekutif seperti dilakukan Jusuf Kalla.
Merosotnya statecraft juga terlihat dengan makin derasnya politik uang dan komersialisasi jabatan politik di lembaga-lembaga tinggi negara. Yang paling membingungkan adalah ketidakjelasan bahkan ketegangan dalam keanggotaan susunan kelembagaan politik. Misalnya antara peran jabatan Presiden dan Wakil Presiden. ”Akibatnya, muncul kerikuhan permanen antara Presiden dan Wakil Presiden yang menyebabkan visi pemerintahan sulit diimplementasikan secara efektif,” ujar Todung.
Menurut P2D, penurunan kualitas kebangsaan bisa terbaca dari mengentalnya politik primordial di elite pemerintahan dan partai, intoleransi terhadap perbedaan, atau meningkatnya kekerasan yang mengatasnamakan agama. ”Corak utama dari kelemahan dan masalah dalam satu tahun pemerintahan ini pada akhirnya terpulang pada kekuatan karakter kepemimpinan SBY sendiri,” dia menambahkan.
Yudhoyono mulai memerintah dengan modal kepercayaan yang cukup besar—61 persen—dari masyarakat. Karena itu Perhimpunan Pendidikan Demokrasi merekomendasikan agar Presiden Yudhoyono harus berani bersikap tegas dalam memberikan garis politik kepada semua pembantunya. Yakni kembali pada visi dan misi pemerintahan yang dijanjikan kepada rakyat saat kampanye dulu. Presiden juga harus memutuskan sendiri apa yang hendak dia lakukan terhadap kabinetnya. Jika tidak, empat tahun ke depan akan terlalu lama bagi masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo