Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Amar Alfikar memperjuangkan identitasnya.
Bergelut dengan penolakan masyarakat.
Mendapatkan pengesahan pengadilan.
SANTRIWATI itu begitu jatuh cinta pada rebana. Sore sepulang sekolah selalu ia habiskan di masjid dekat pesantren untuk berlatih rumus-rumus rebana, menepuk alat musik dari kulit sapi itu dengan riang, hingga tak terasa tangannya kapalan. Kegembiraan itu merasuk hingga ke sendi-sendi keimanannya. “Saya merasa Tuhan hadir lewat musik rebana itu,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun keriaan itu tak berlangsung lama. Setelah kembali ke kamarnya, ketika dia berdiri di depan cermin, memandang tubuhnya sendiri dan jilbab yang ia kenakan, kegembiraan dari latihan rebana itu pupus tak tersisa. Ia merasa ada sesuatu yang salah pada bayangan yang ia lihat di cermin. Keresahannya merayap hingga ke sendi-sendi keimanannya. “Tuhan seperti hilang begitu saja dalam sekejap,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama belasan tahun keresahan akan identitas gendernya itu mengempasnya berkali-kali. Sering kali, saat sudah tidak tahan dengan keresahan akan dirinya, ia naik bus luar kota dan bergerak ke mana saja kendaraan itu menuju, ke kota yang jauh tempat tidak ada orang yang mengenalnya sebagai seorang ning—sebutan untuk putri kiai. Di kota tujuan, dia melepas jilbab dan mencoba menjadi dirinya sendiri: seorang lelaki.
Bertahun-tahun kemudian, setelah bertemu dengan banyak pengetahuan tentang gender dari berbagai kalangan—termasuk sejumlah kiai dan intelektual muslim—ia memantapkan diri untuk melela atau coming out, menyatakan diri secara terbuka akan pilihan gendernya. Ia juga mengganti namanya menjadi Amar Alfikar. Orang tidak lagi memanggilnya dengan "Ning", melainkan "Gus".
Pengalamannya selama belasan tahun mencari jati dirinya dalam pilihan gender ia tuangkan dalam buku Queer Menafsir yang terbit pada Februari lalu dan dipasarkan bersamaan dengan bulan suci Ramadan. Pengalaman itu ia tuliskan untuk memberikan konteks pada ikhtiar intelektual dalam menafsirkan kembali teks keagamaan (Al-Quran dan hadis Nabi) dengan lebih inklusif.
Amar Alfikar di London, 2022. Dok. Pribadi
Tak mudah baginya untuk menjadi Amar dengan peci dan jenggot. Ia berasal dari lingkungan pesantren yang menuntutnya menjadi muslimah yang “taat” dengan jilbab. Orang pertama yang bisa menerima pilihannya adalah ibunya. Proses ini tidak mudah karena—seperti halnya anak perempuan lain di lingkungannya—ia tidak berbicara banyak kepada ibu, hanya nggih dan mboten.
Belum lagi ada kekhawatiran akan penolakan. Tapi toh dialog itu terjadi dengan cukup panjang dan terbuka. Perlahan Amar menjelaskan satu per satu latar belakang dan alasan pilihannya. Setelah dia berbicara panjang-lebar, yang mengejutkan, ibunya bisa menerima pilihan itu. “Ibu tambah sayang karo awakmu (Ibu bertambah sayang kepada dirimu),” ucap ibunya. Ia bersimpuh di kaki ibunya dan merasakan tetes-tetes air mata sang ibu jatuh ke rambutnya.
Penerimaan dari ibu Amar adalah langkah awal untuk mendapatkan penerimaan dari anggota keluarga lain, seperti kakak dan ayahnya, seorang kiai terpandang. Tidak semua penerimaan itu diperoleh dari dialog panjang. Kakaknya justru bisa legawa menerimanya sebagai laki-laki setelah berdialog dengan Habib Jafar al-Kaff dari Kudus, Jawa Tengah. Padahal awalnya dia datang untuk mengeluhkan pilihan adiknya yang tidak umum.
Ia merasa beruntung karena memiliki keluarga yang bisa menerimanya apa adanya. Amar tahu ada beberapa santri dan anak kiai yang mendapat penolakan keras, bahkan pengusiran dan siksaan fisik, karena pilihan gender mereka yang tidak lazim. Karena itu, Amar tidak terburu-buru meyakinkan mereka. Ia menyadari konsekuensi penerimaan mereka adalah mendapat tekanan dari masyarakat. Yang membuatnya sedih adalah ayahnya wafat tepat setelah pengadilan mengizinkan perubahan namanya.
Kini ia aktif menyebarkan kesepahaman yang inklusif gender dengan kopiah hitam sebagai penanda pilihannya. “Maka, ketika saya akhirnya mengganti hijab dengan peci hitam yang kini selalu saya kenakan, ia bukan hanya simbol transisi saya dari muslimah ke muslim, dari perempuan ke laki-laki,” ujar Amar. Bagi dia, itu semua adalah penanda jati dirinya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo