Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebuah buku teologi Islam tentang queer.
Karya Amar Alfikar, seorang transpria.
Queer Menafsir: Teologi Islam untuk Ragam Ketubuhan; Amar Alfikar; Penerbit Gading (2023); 488 halaman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKU rindu Tuhan,” kata seorang penelepon di suatu malam. Ia mengatakannya sambil terisak menahan tangis yang sudah menyesaki dadanya. Penelepon itu adalah seorang transpuan yang tengah dalam keresahan yang begitu besar. Dalam keresahan itu, dia memutuskan menjalankan salat dengan memakai mukena. Dia mengaku salat dengan mukena membuatnya nyaman dan tenang. Kerinduannya akan Tuhan terobati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi perasaan itu tak berlangsung lama. Di tengah salatnya, tiba-tiba teman-temannya sesama transpuan tertawa dan mengejek karena dia bersalat dengan mukena. Ejekan itu membuat salatnya terhenti. Dia merasa malu dan tiba-tiba merasa tidak pantas menyembah Tuhan.
Kisah itu diceritakan oleh Amar Alfikar dalam buku terbarunya, Queer Menafsir: Teologi Islam untuk Ragam Ketubuhan. Amar mengaku, saat ditelepon itu, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya mendengarkan kegelisahan, kemarahan, dan kesedihan penelepon di seberang. Buku ini seolah-olah merupakan jawaban atas keresahan para transgender seperti penelepon di malam hari itu.
Kebingungan para transgender dalam beragama kerap terjadi. Hal ini juga yang dialami Amar, transpria yang pernah mengalami apa yang dirasakan oleh sang penelepon. Selama bertahun-tahun Amar kecewa, marah, dan sedih karena merasa Tuhan dan keyakinannya tidak mampu menjadi “pembela” atas perlakuan tidak mengenakkan orang lain terhadap dirinya. Bahkan agama dan nama Tuhan dipakai untuk menjustifikasi perlakuan mereka.
“Ketika belum memahami identitas gender saya, saya memang memproyeksikan kesedihan saya dengan menyalahkan apa pun yang ada, bahkan menyalahkan Tuhan dan agama,” tutur Amar.
Amar Alfikar di Cirebon, Jawa Barat, Oktober 2022. Dok. Pribadi
Kini fase itu telah ia lewati. Setidaknya, dalam beberapa tahun terakhir, dia terbuka menyatakan diri sebagai transpria muslim yang menjalankan nilai-nilai agama berdasarkan pilihan ketubuhannya. Pengalamannya bergulat dengan segala perasaan dan pemikiran itulah yang kemudian ia tuangkan dalam buku Queer Menafsir.
Tentu saja, ini bukan buku pertama tentang teologi transgender di Indonesia. Sebelumnya ada sejumlah buku, artikel ilmiah, dan penelitian yang membahas hal yang sama. Di antaranya buku Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas oleh Arif Nuh Safri.
Meski demikian, buku Amar ini memiliki keunikan. Selain ditulis sendiri oleh transgender, buku ini menyajikan cerita pengalaman dan pergumulan intelektual sang penulis sendiri tentang hal itu secara berkelindan. Hal ini membuat buku tersebut lebih enak dibaca karena tidak disesaki kajian teoretis. Sebagai anak kiai di Jawa Tengah—yang tentunya akrab dengan tradisi keislaman—dan pernah nyantri di sejumlah pesantren, Amar memiliki kapasitas untuk mengembangkan perspektif keagamaan mengenai hal ini.
Meski demikian, tak mudah bagi Amar untuk menulis buku setebal 488 halaman itu. “Hampir empat tahun saya menulisnya,” katanya beberapa hari setelah Idul Fitri lalu. “Hal terberat adalah menggali kenangan masa lalu dan menceritakannya kembali, karena saya tidak ingin buku ini sekadar membicarakan teologi queer secara teoretis.”
Ia menyebut apa yang ditulisnya sebagai ikhtiar intelektual, sebuah lemparan pertanyaan untuk didiskusikan lebih lanjut. “Di Indonesia, pendekatan Islam yang inklusif queer perlu terus didorong untuk mewujudkan penghayatan dan pemahaman keagamaan yang lebih kaya, lebih berwarna, dan lebih adil untuk semua,” tulis Amar dalam bukunya.
•••
ADA banyak hal yang membuat transgender—baik transpuan maupun transpria—yang gelisah dan bingung dalam beragama. Dari hal-hal praktis seperti pakaian apa yang dikenakan saat beribadah (mukena atau sarung dan peci) hingga masalah surga dan neraka (apakah Tuhan mau menerima keimanan mereka).
Maklum, selama ini agama—terutama Islam—dipahami sebagai agama yang memiliki segregasi gender biner yang tegas: laki-laki atau perempuan. Tidak ada wilayah kelabu di antara atau di luar keduanya. Mereka yang memilih berada di luar itu dianggap keluar dari kodrat dan fitrah yang telah ditentukan Tuhan.
Amar Alfikar menuliskan hampir semua pertanyaan seputar itu. Di antaranya soal Tuhan (apakah Tuhan berkehendak menciptakan beragam gender?), fitrah dan takdir (apakah menjadi transgender melanggar fitrah dan takdir atau justru itu merupakan takdir dan fitrah mereka?), hijab (apakah seorang transpuan boleh memakai hijab? Apakah seorang transpria harus tetap mengenakan hijab?), ibadah, surga dan neraka, dosa dan pahala, iman dan nafsu, serta sejumlah topik lain yang kerap menjadi pertanyaan seputar trans.
Yang menarik, jawaban atas beragam pertanyaan tersebut tidak hanya ditemukan Amar lewat para pemikir kontemporer. Ia juga menemukan pandangan inklusif queer dari referensi klasik, juga para kiai pesantren tradisional yang mungkin dianggap tidak terlalu terbuka dalam isu-isu seperti ini.
Salah satunya Kiai Zaini, kiai kampung yang merupakan sahabat karib bapaknya. Dalam keresahannya ia mengadu, “Apakah Gusti Allah masih melihat saya sebagai hamba yang dicintai-Nya dengan keadaan saya yang sekarang ini, Kiai?”
Kiai Zaini lalu mengutip hadis Nabi Muhammad yang cukup populer dan menerjemahkannya dalam bahasa Jawa, “Gusti Allah iku, Le, mboten mersani bentuk kito kados menopo. Ingkang Gusti Allah personi niku atimu, laku uripmu, amal-amal kesaenan ingkang sampean damel (Gusti Allah itu, Nak, tidak memandang bentuk kita seperti apa. Yang Gusti Allah lihat itu hatimu, laku hidupmu, amal-amal kebaikan yang kamu buat).”
Amar Alfikar di Pesantren Ekologi Misykat al-Anwar, Bogor, Oktober 2022. Twitter/amaralfikar
Bagi Amar, apa yang disampaikan Kiai Zaini tersebut adalah sebuah pemaknaan baru pada hadis terkenal tersebut, menjadi sebuah teks yang inklusif queer, bahwa Tuhan tidak memandang pilihan ketubuhan yang diambil hamba-Nya, tapi melihat kebaikan hati dan perbuatan.
Jauh sebelum itu, ratusan tahun lalu, para ulama telah membahas soal seksualitas dalam beragam kitab mereka, seperti Nuzhat al-Albab fi ma la Yujad fi al-Kitab (karya at-Tifasyi), Tawq al-Hamamah fi al-Ulfah wa al-Ullafi (Ibn Hazm al-Andalusi), ar-Rawd al-Atir fi Nuzhat al-Khatir (Syekh an-Nafzawi), Hazz al-Quhuf fi Syarh Qasidah Abi Shodouf (Yusuf Muhammad), dan Ahkam an-Nisaa (Ibn. Jauzi).
Meski khazanah tentang transgender telah muncul di sejumlah literatur Islam klasik, Amar tetap memandang perlunya kajian baru mengenai fikih (hukum Islam). Fikih sangat lekat dengan kondisi dan situasi sebuah era. Karena itu, perubahan atau perbedaan hukum fikih kerap terjadi ketika zaman berganti atau di tempat berbeda. “Dengan makin berkembangnya pengetahuan tentang ragam gender dan seksualitas, dan identitas queer yang makin kaya, sudah semestinya para fuqaha (ahli fikih) memperbarui, memperkaya, dan mengembangkan framework fikih hari ini secara lebih adil, sehingga tidak ada lagi hijab-hijab yang menyebabkan seorang tenggelam dalam kegelisahan yang berkepanjangan lantaran kebimbangan memilih.”
Salah satu hal yang kerap menimbulkan kebingungan di antara transgender—termasuk penelepon di awal tulisan ini—adalah tentang hijab dan aurat. Setelah memutuskan menjadi transpria, Amar mengganti hijabnya dengan peci. Hal ini kerap mengundang komentar negatif di media sosial. “Pakai lagi jilbabmu, Ukhti…,” demikian salah satu komentar tersebut.
Dalam hal ini, Amar menyampaikan dua pendapatnya. Pertama tentang kewajiban memakai hijab bagi para muslimah yang menurut dia perlu dikaji ulang. Kedua, hukum fikih yang terkait dengan gender tidaklah terikat pada tubuh biologis, tapi melekat pada ketubuhan yang dipilihnya. Ketika Amar memutuskan menjadi pria, ia berpendapat, hukum fikih prialah yang menjadi pilihan. Demikian juga sebaliknya pada transpuan.
“Ada yang mengatakan bahwa cara salat harus sesuai dengan kondisi biologis,” tulis Amar. Menurut dia, ini adalah jawaban paling konservatif, “Yang justru menimbulkan keresahan yang lebih besar karena saya merasa ada yang disconnected, tidak nyambung dan terhubung antara diri saya yang paling jujur dan praktik keimanan yang saya lakukan." Karena itulah ia menyarankan istafti qalbak—bertanya kepada diri sendiri—karena baginya diri kita sendiri yang mengetahui cara paling tepat terkoneksi dengan Tuhan.
Yang juga menarik adalah pembahasan tentang takdir. Amar mengaku sempat mengamini stigma di masyarakat, “bahwa seorang transgender adalah orang yang mengingkari takdir Tuhan”. Amar menjawab dengan sejumlah dalil bahwa justru transgender adalah takdir yang Tuhan pilihkan untuk beberapa hamba-Nya.
Soal takdir tersebut tidak lazim (tidak seperti takdir kebanyakan orang), itu hal lain. Amar kemudian mengutip pernyataan Habib Jafar al-Kaff dari Kudus, Jawa Tengah, yang didatangi oleh kakaknya tak lama setelah ia melela (coming out atau menyatakan pilihannya secara terbuka). Saat itu kakaknya meminta pendapat Habib Jafar tentang pilihan Amar.
Tanpa diduga, Habib Jafar menasihati kakak Amar tentang takdir Allah yang beragam bentuknya. Selain membuat takdir umum, Allah menciptakan sesuatu yang tidak umum. Mengingkari ciptaan Tuhan yang tidak umum sama saja dengan mengingkari takdir-Nya di jagat raya ini.
Buku Queer Menafsir oleh Amar Alfikar. Dok. Inez Sang Pelangi Senja
Lebih detail tentang hal itu, Arif Nuh Safri dalam sebuah bukunya mengatakan Allah menciptakan makhluk-Nya dalam dua kondisi: mukhallaqah (sempurna) dan ghaira mukhallaqah (tidak sempurna). Selain zakar (laki-laki biologis) dan unsa (perempuan biologis), ada khunsa (interseks) dan mukhannas (lelaki feminin) serta mutarajilaat (perempuan maskulin). Istilah-istilah itu kerap kita dapati dalam teks-teks klasik ilmu keislaman.
Amar sadar bahwa penafsirannya akan ajaran Islam yang inklusif queer seperti yang ia tuangkan dalam buku ini akan menimbulkan kontroversi. Di antaranya akan banyak yang menuduh Amar memilih ayat dan hadis yang sesuai dengan keinginannya (cherry picking) lalu menafsir ayat dan hadis itu dengan keinginannya. Sejumlah dalil yang ia sodorkan memang bersifat umum, tidak secara khusus memberikan keberpihakan pada transgender.
Amar mengatakan keberpihakan dalam menafsirkan teks keagamaan memang perlu. “Kalau teroris dengan bebasnya menukil ayat untuk menebarkan teror, membunuh manusia, menghancurkan rumah-rumah ibadah orang lain, kita juga semestinya dengan tegas mengatakan bahwa ayat-ayat Tuhan tentang kemanusiaan, cinta kasih, perdamaian, dan keadilan lebih banyak.”
Karena sejak awal buku ini adalah ikhtiar intelektual, Amar tidak memberikan kata putus untuk banyak hal. Dia membuka dialog untuk makin memperkaya teologi queer. “Tafsir-tafsir kita atas agama dan teks-teks suci atas nama-Nya tak boleh berhenti dan terjebak pada kebuntuan peradaban yang selaiknya terus tumbuh memberikan ruang bagi semua orang,” tulisnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo