Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di gubuk kayu berkeliling kolam ikan itu, Yurida Emni duduk mengenang cerita puluhan tahun silam. Dulu, gubuk itu dikenal dengan nama Surau Rauf. Di sinilah penyair Chairil Anwar pernah belajar mengaji, juga menulis puisi.
”Dulunya surau ini cukup besar. Tapi sebagian sudah roboh,” kata Yurida di Nagari Taeh Baruah, Payakumbuh, Sumatera Barat, Jumat dua pekan lalu. Yurida adalah sepupu Chairil. Perempuan 68 tahun ini anak Zulbaida, adik bungsu Toeloes bin Manan, ayah Chairil.
Sekitar 150 meter dari gubuk bekas Surau Rauf, berdiri tegak rumah gadang bergonjong empat. Beberapa ruas dinding kayunya terlihat lapuk. Pintu utamanya sudah diganti. Begitu pula tiga jendelanya. ”Rumah ini puluhan tahun tak dihuni,” ujar Yurida. Di rumah dengan lahan seluas 500 meter persegi inilah Toeloes lahir dari pasangan H Manan dan Saimin.
Toeloes anak pertama dari empat bersaudara. Ia menikahi Saleha, perempuan berdarah Jawa. Dari pasangan ini, Chairil lahir di Medan pada 26 Juli 1922. Ketika orang tuanya bercerai, Chairil tinggal bersama keluarga ibunya. Meski begitu, hubungan dengan keluarga sang ayah tidaklah putus.
Chairil memiliki sejumlah kemiripan fisik dengan keluarga ayahnya. Di antaranya rambut yang agak pirang. ”Rambut kami banyak yang pirang, seperti Kakek Manan,” kata Zulkifli, adik sepupu Chairil Anwar, Ahad dua pekan lalu. Zulkifli anak keempat Zulbaida.
Zulkifli lantas menuturkan kisah Chairil kecil yang sering menolak perintah guru ngaji dengan berbagai alasan. ”Kalau giliran azan magrib, dia selalu tak berada di surau,” ujar Zulkifli. ”Waktu diminta azan isya, dia menolak dengan alasan mengantuk.”
Chairil biasanya hanya bersedia mengumandangkan azan waktu subuh. Dia selalu mengeraskan suara ke arah rumah gadang. Itu bukan tanpa tujuan. Chairil hendak membangunkan neneknya agar segera memasak nasi setelah salat. Dengan begitu, Chairil bisa makan nasi panas sepulang dari surau. ”Dia suka makan,” ujar Zulkifli, 76 tahun, sembari tertawa.
Chairil kecil juga dikenal suka membaca. Pada masa itu, dinding beberapa rumah di Taeh Baruah ditempeli koran bekas. Biasanya koran itu untuk menutup dinding yang rusak atau bolong. ”Kadang dia ambil kursi atau meja untuk membaca koran di dinding bagian atas,” kata Zulkifli.
Ketika beranjak dewasa, Chairil pernah tiga kali mengunjungi keluarga besar ayahnya di Nagari Taeh Baruah. Pada 1946, Chairil bahkan pernah tinggal di sana sekitar enam bulan. Menurut Yurida, Chairil pun pernah menulis puisi di gubuk bekas surau itu. Tapi Yurida tak ingat puisi karya kakak sepupunya tersebut.
Toehilwi Toeloes, adik seayah Chairil, juga pernah menyinggung puisi yang ditulis Chairil di Taeh Baruah. Salah satunya berjudul ”Nenek”. Puisinya pendek saja:
Bukan kematianmu menusuk kalbu
Hanya kepergianmu yang menerima segala apa.
”Puisi itu ditulis di atas bungkus rokok Cap Tombak,” ujar Toehilwi dalam acara ”Alek Puisi Taeh” yang digelar Dewan Kesenian Sumatera Barat pada 2005.
Di depan rumah gadang keluarga Toeloes Manan, kini terpasang plang bertulisan ”Insya Allah, di sini akan dibangun Gedung Pustaka dan Monumen Chairil Anwar”. Papan pengumuman dipasang lebih dari sepuluh tahun lalu. ”Kabarnya akan dibangun pemerintah kabupaten,” ujar Yurida. Tapi, sejauh ini, belum ada tanda-tanda rencana pembangunan gedung pustaka akan jadi kenyataan.
Menurut Wali Nagari Taeh Baruah, Syafri, rencana pembangunan perpustakaan dan monumen itu terganjal masalah dana. ”Kami sedang mencari donatur,” kata Syafri.
Bupati Lima Puluh Kota Irfendi Arbi menjelaskan, pembangunan gedung pustaka dan monumen direncanakan pada masa Bupati Alis Marajo (2000-2005). Namun Irfendi mengaku tak tahu mengapa rencana itu tertunda begitu lama. Irfendi berjanji meneruskan rencana pendahulunya itu untuk menghormati Chairil. ”Akan kami lanjutkan,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo