Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI lahan kosong berpagar seng karatan di Jalan Cut Mutia itu dulu berdiri gedung Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Medan. Jauh sebelumnya, ketika jalan itu masih bernama Jan Lighthart Straat, bangunan tersebut adalah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)—setingkat SMP.
Sutan Sjahrir, Amir Hamzah, dan Chairil Anwar pernah bersekolah di sana. Sjahrir dan Amir lulus lebih dulu dari sekolah itu pada 1923 dan 1927. Hans Bague Jassin pernah bertemu dengan Chairil, yang masih berstatus siswa MULO, pada 1937. ”Pertemuan saya dengan Chairil terjadi di perkumpulan pelajar di Medan,” kata Jassin dalam wawancara dengan Tempo pada 1989.
Jassin kala itu siswa Hogere Burgerschool (HBS)—setingkat sekolah menengah atas. Perkumpulan pelajar yang dimaksud adalah Inheemse Jeugdorganisatie, yang beranggotakan murid-murid Joshua Instituute, MULO, HBS, Invoorno, Taman Siswa, dan Gouvernements. Kegiatannya memajukan perpustakaan dan olahraga.
Mula-mula Jassin tak tahu pemuda necis yang lebih muda lima tahun darinya itu seorang penulis. Setahu dia, Chairil adalah pemain pingpong jagoan. ”Setiap kali mengalahkan lawan, Chairil berjingkrak, menjerit-jerit, dan bertepuk tangan,” ujar Jassin.
Pria Gorontalo itu lalu menemukan nama Chairil dalam kolom pengurus majalah dinding Ons MULO Blad. Tulisan Chairil pada masa itu berupa prosa—yang tak pernah terdokumentasikan.
Setelah Belanda hengkang, gedung MULO dipakai oleh SMP 1. Jejak-jejak Chairil tak pernah disimpan di sekolah itu. Murni Luhur, yang bersekolah di sana pada 1982, mengatakan tak pernah ada acara peringatan Chairil semasa ia menjadi siswa. Nama sang penyair tak sedikit pun disebut-sebut. ”Saya baru tahu kalau Chairil Anwar juga bersekolah di sana,” kata Murni kepada Tempo.
Jejak itu makin hilang setelah seluruh gedung dirobohkan pada 1999. SMP 1 pindah ke Jalan Bunga Asoka. Rencananya di lahan bekas sekolah itu akan dibangun hotel. ”Karena diprotes masyarakat, hotel itu tidak jadi dibangun sampai sekarang,” ujar Hairul, Ketua Pelaksana Harian Badan Warisan Sumatera (BWS). BWS adalah lembaga swadaya yang mendata bangunan tua dari era pra-kemerdekaan.
PENYAIR Medan, Damiri Mahmud, pernah mencoba menelusuri jejak Chairil Anwar di Medan. Dia penasaran karena penyair yang mati muda itu selalu dikaitkan dengan pemikir-pemikir Barat. ”Padahal di dalam kantong kebudayaan Melayu yang tua inilah Chairil lahir, hidup, dan dewasa,” ujar penulis buku Rumah Tersembunyi Chairil Anwar itu kepada Tempo.
Apalagi, dalam suratnya kepada Jassin, Chairil mengakui sendiri bahwa kepenyairannya telah penuh sejak ia berusia 15 tahun. Usia ketika ia masih tumbuh di Medan. ”Seluruh hasrat dan minatku sedari umur 15 tahun tertuju ke titik satu saja, kesenian,” tulis Chairil dalam kartu pos bertanggal 8 Maret 1944 itu.
Menurut Damiri, karakter Melayu Medan kentara sekali dalam sajak-sajak Chairil. Ambil contoh sajak ”Perhitungan”, yang dibikin pada 16 Maret 1943. Baris kedua terakhir dalam sajak itu berbunyi: Hambus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi...!?.
Oleh Pamusuk Eneste, penyunting buku Aku Ini Binatang Jalang, dan Taufiq Ismail, penyunting Derai-derai Cemara, kata ”hambus” di awal larik itu dimuat sebagai ”hembus”. Padahal ”hambus” khas Melayu Medan. ”Artinya enyah. Sampai sekarang masih digunakan,” ucap Damiri.
Selain itu, ada kata ”menginyam”, ”menjengkau”, ”mereksmi”, ”sintuh”, ”mengelucak”, ”kupak”, ”sekali tetak”, ”bermuka-muka”, ”secepuh”, dan ”remang miang”. ”Chairil secara bersungguh-sungguh menggoreskan kata, idiom, dan simbol yang berasal dari kebudayaan Melayu dalam sebagian besar sajaknya,” Damiri, 71 tahun, menambahkan.
Pada 1988, Damiri menghadap Wali Kota Medan Agus Salim Rangkuti. Bersama dua sastrawan lain, Lazuardi Anwar dan Rusli A. Malem, Damiri mengajukan proposal penelusuran jejak Chairil di Medan kepada Rangkuti.
Wali kota yang pernah menjabat Komandan Inrehab Pulau Buru itu setuju. Sejumlah dana dikucurkan langsung dari kantong pribadinya. ”Dia berjanji membuat Jalan Chairil Anwar, Taman Chairil Anwar, dan Tugu Chairil Anwar,” Damiri mengenang.
Pekerjaan pertama tim adalah menelusuri dari mana kekayaan diksi Chairil yang sangat khas Melayu. Damiri mendapat informasi bahwa orang tua Saleha ada kemungkinan memiliki rumah di sekitar Jalan Sisingamangaraja, tak jauh dari Masjid Raya Medan. Chairil diketahui sering bermain, bahkan sempat tinggal, di rumah datuk dan neneknya itu.
Informasi itu ia peroleh dari sesama penyair Medan yang dulu rutin membuat acara peringatan kematian Chairil. Ibu Chairil selalu diundang dalam haul. Panitia biasa menjemput Saleha di kawasan dekat Masjid Raya itu. ”Kawasan ini dulu tempat bermukim pendatang dari Minang,” kata Hairul.
Damiri menduga di permukiman tempat orang Minang dan Melayu berbaur itulah Chairil menyerap berbagai kosakata Melayu yang kemudian digunakan dengan bebas dalam sajak-sajaknya. Walau begitu, keberadaan persis rumah orang tua Saleha tak lagi dapat diketahui.
Belum lama penelusuran itu berjalan, jabatan Rangkuti berakhir. Pengganti sang Wali Kota tak peduli lagi urusan Chairil. Rencana menggali kehidupan Chairil selama di Medan pun menguap begitu saja. Damiri kini jadi satu-satunya yang masih hidup dari tim tersebut.
PEMBENTUKAN karakter kepenyairan Chairil dapat pula ditelusuri dari kegemarannya semasa kanak-kanak. Kawannya mengenang Chairil sebagai bocah kutu buku dan senang menonton bioskop.
Wawasan literasi Chairil kala di MULO melampaui kawan-kawan sebayanya. Ia melahap buku-buku sastra, sejarah, dan ekonomi yang diperuntukkan bagi siswa HBS. Begitu pula karya-karya Hendrik Marsman dan Edgar du Perron. ”Semua buku mereka sudah aku baca,” kata Chairil kepada Sjamsulridwan.
Pada masa itu, surat kabar berbahasa Belanda dan Melayu sudah banyak beredar. Data Museum Sejarah Pers Medan merekam setidaknya ada 133 penerbitan di Sumatera Utara pada 1886-1942. Sebagian beredar di Medan pada periode yang sama dengan masa remaja Chairil. Di antaranya De Sumatra Post, Pelita Andalas, dan Pewarta Deli.
Sejarawan sekaligus pendiri Museum Sejarah Pers, Ichwan Azhari, mengatakan rata-rata surat kabar yang terbit pada masa itu memuat karya sastra. De Sumatra Post bahkan menaruh rubrik cerita bersambung di halaman pertama. ”Kesusastraan telah berkembang pesat di Medan pada masa itu,” kata Ichwan kepada Tempo, akhir Juli lalu.
Chairil juga kecanduan film. ”Dia sering sekali menonton, tak peduli malam sekolah atau tidak,” Sjamsulridwan menulis. Chairil harus mendapat tiket kelas satu di bioskop. Ia tak peduli bila Saleha harus meminjam atau menggadai barang demi memenuhi keinginannya menonton ”gambar idoep”.
Pada masa itu, bioskop sudah menjamur. Tapi hanya orang-orang Belanda dan berduit yang mampu menonton. Film yang ditayangkan hampir semuanya bikinan Eropa atau Amerika. Bila melihat dokumen surat kabar Pelita Andalas pada 1930-an, film-film yang diiklankan antara lain berjudul Bidadari Biroe, Marilah Kita Bersenang Hati, dan Monte Carlo. ”Dimainkan oleh Norma Shearer yang memuaskan mata sekali,” begitu bunyi salah satu iklannya. Norma Shearer ialah aktris seksi Hollywood kelahiran Kanada yang populer pada 1925-1942.
Tengku Luckman Sinar dalam buku Sejarah Medan Tempo Doeloe mencatat bioskop pertama di Medan adalah Oranje Bioscoop kepunyaan seorang Yahudi bernama Michael yang berdiri pada 1908. Setelah itu, lahir Imperial Theater di ujung Jalan Kebudayaan, bioskop Capitol di Jalan Kanton, bioskop Rex di Sambu, Deli Bioscoop di Jalan Perdana, dan seterusnya.
Bioskop Deli kini berubah menjadi deretan ruko modern di area Kesawan. Begitu pula Capitol. Lainnya tak terlacak. Satu-satunya gedung bioskop tua yang masih bertahan adalah Rex, yang sekarang jadi Restoran Ria.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo