Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta- Sejarah Raden Fatahillah kembali diperbincangan setelah Budayawan Betawi Ridwan Saidi menyebutkan bahwa Fatahillah adalah seorang keturunan Yahudi. Babe Ridwan, sapaan Ridwan Saidi menyampaikan pernyataan tersebut dalam video yang diunggah akun YouTube bernama Macan Idealis.
Dalam video berdurasi 15 menit 52 detik itu Babe Ridwan menceritakan secara kroronogis mengenai Raden Fatahillah. Namun, kisah Fatahillah versi Babe Ridwan bukanlah satu-satunya, ada beberapa kisah yang berbeda tentang Fatahillah. Berikut detailnya:
1. Raden Fatahillah seorang Yahudi
Menurut Babe Ridwan, Fatahillah merupakan rombongan Yahudi, yang kabur, hanya membawa teman sekitar selusin pada 1540. Fatahillah masuk ke Sunda Kelapa, yang sedang dalam pembangunan menjadi kota baru.
"Di sana ada kontingen tentara Bugis, Lombok di samping tentara Sunda Kelapa. Maka dia mau menyerang siapa, kekuatannya tidak seberapa, akhirnya dia membakar Pasar Pisang di Jalan Kunir sekarang, bekas yang dibakar itu masih bersisa tidak dibangun apa-apa," ujar Babe Ridwan kepada Tempo baru-baru ini.
Itu yang membuat Fatahillah dijuluki Falatehan. Falatehan, menurut Babe Ridwan, bukan dari bahasa Portugis, tapi dari bahasa Armenia yang menyerap ke bahasa Sunda. Artinya adalah penyulut api, Fatahillah tidak ketahuan mati di mana, karena dikepung oleh orang-orang Betawi dan dipukuli.
Pernyataan Ridwan soal Raden Fatahillah itu ditanggapi oleh Arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar.
"Kalau Raden Fatahillah, bagi saya sih mengikuti Mang Ayat, Prof. Ayat Rohaedi, dia bilang seorang ahli itu boleh ngomong apa saja asal ada data. Kalau tidak ada ya, pertama dia bukan ahli kedua dia pengarang itu saja. Ada datanya tidak sumbernya dari mana," ujar Agus Aris Munandar.
2. Raden Fatahillah mengusir Portugis
Dalam pelajaran sejarah selama ini, Raden Fatahillah adalah tokoh yang dikenal telah mengusir Portugis dari pelabuhan perdagangan Sunda Kelapa. Dia memberi nama daerah itu Jayakarta yang berarti Kota Kemenangan, dan kini menjadi kota Jakarta.
Berdasarkan buku berjudul "Pangeran Jayakarta: Perintis Jakarta Lewat Sejarah Sunda Kelapa" karya Ade Soekarno SSP, kemenangan gemilang Fatahillah pada 1527 menghapus nama Sunda Kelapa yang telah lebih dari 300 tahun berhasil dimonopoli Portugis bersama Kerajaan Pajajaran sebagai penguasa tunggal.
Julukan Jayakarta yang diberikan Fatahillah cukup tepat, pasalnya Sunda Kelapa merupakan pelabuhan terkaya yang pernah ada. Pelabuhan itu dikenal cukup mewah dan paling ramai dikunjungi pedagang Malaka, Timur Tengah, bahkan pedagang Cina banyak yang membeli budak di pelabuhan tersebut.
3. Raden Fatahillah dari Aceh Utara
Sejarawan Belanda HJ de Graaf menyebutkan bahwa Raden Fatahillah berasal dari Pasai, Aceh Utara, yang kemudian ke Mekah ketika daerah tersebut dikuasai Portugis. Fatahillah lalu ke Demak, pada masa pemerintahan Sultan Trenggono.
Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre (JIC).Rakhmad Zailani Kiki, dalam tulisannya di laman Nu.or.id, Fatahillah adalah nasab seorang syarif Hadhramaut atau biasa disebut habib.
Ahli sejarah Abu Bakar al-Mascati dalam disertasi berjudul "Ketika Pasai menaklukkan Majapahit" menyebutkan bahwa Fatahillah dilahirkan di Pasai pada tahun 1471 M. Dia lahir dengan nama Maulana Fadhillah. Gelar Maulana diperoleh karena ia masih keturunan Nabi Muhammad (dari golongan Sayyid atau Syarif atau Habib).
Menurut Saleh Danasasmita, sesorang sejarawan Sunda yang menulis sejarah Pajajaran, dalam bab Surawisesa, Fatahillah adalah Putra Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghofuro.
"Tulisan sejarawan Saleh Danasasmita ini bersesuaian dengan Kitab Sejarah Melayu Sulalatus Salatin karya Tun Sri Lanang, bersesuaian pula dengan catatan para keturunan Shekh Jumadil Kubro, baik yang di Malaysia, Cirebon, Banten dan Palembang yang catatan-catatan tersebut juga telah diakui oleh Rabithah Fatimiyyah/Nakabah Azmatkhan sehingga tidak perlu diragukan lagi keabsahannya," tulis Rakhmad Zailani Kiki.
4. Raden Fatahillah bukan Sunan Gunung Jati
Dalam buku berjudul "Cirebon Falsafah, Tradisi dan Adat Budaya", Mohammed Sugianto Prawiraredja menuliskan bahwa ketidaktepatan menganalisis sumber sejarah menyebabkam disinformasi fatal. Salah satunya, kesimpulan dari Hoesein Djajadiningrat tentang tokoh Falatehan atau Fatahillah dalam Sejarah Banten yang dinyatakan identik dengan Sunan Gunung Jati.
Kesimpulan tersebut membuat tersebarnya informasi kontroversial bahwa Sunan Gunung Jati adalah Fatahillah, tokoh dari Pasai yang mengabdi kepada Sultan Trenggana. Kemudian menjadi tokoh pendiri Jayakarta (Jakarta).
Sedangkan faktanya makam kedua tokoh Islam tersebut, Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah dan Fatahillah terletak berdampingan di komplek pemakaman Astana Gunung Sembung, Desa Astana, Cirebon. Kkedua tokoh itu juga masa hidupnya berbeda. Sunan Gunung Jati hidup sejaman dan berbesanan dengan penguasa Demak Raden Patah.
Sementara Fatahillah hidup di zaman pemerintahan Sultan Trenggana, putera Raden Patah. Benang merahnya adalah, puteri Sunan Gunung Jati, Ratu Wulung Ayu yang menikah dengan Pangeran Sabrang Lor (Adipati Yunus atau Pati Unus, kakak Pangeran Trenggana), setelah Yunus wafat, menikah lagi dengan Fadhilah Khan.
Sehingga, Fadhilah Khan adalan menantu Sunan Gunung Jati. Dalam sejarah Indonesia baku disebutkan bahwa Fadhilah Khan (Raden Fatahillah) adalah menantu Sultan Trenggana, yang merupakan adik Pangeran Sabrang Lor atau Pati Unus.
NU.OR.ID | CIREBON FALSAFAH, TRADISI DAN ADAT BUDAYA | KETIKA PASAI MENAKLUKAN MAJAPAHIT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini