Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terbitnya sejumlah aturan mengenai pengusahaan mineral menjadi persoalan hukum baru dalam karut-marut penyelenggaraan sektor mineral Indonesia. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2017, dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017.
Karut-marut kebijakan pengusahaan mineral ini terjadi karena pemerintah dan pelaku usaha pertambangan tidak konsisten mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Ketentuan ini gagal bekerja karena peraturan pelaksana di bawahnya seperti dibuat untuk ¡±mengamankan¡± kepentingan PT Freeport Indonesia. Perkara ada perusahaan lain yang menikmati, itu hanya durian runtuh akibat akrobat pemerintah.
Substansi yang menyimpang dalam peraturan di bawah Undang-Undang Minerba, antara lain diberikannya izin ekspor atas mineral yang belum diolah dan dimurnikan di dalam negeri selama lima tahun ke depan; dan perubahan kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Relaksasi Ekspor
Pasal 102, 103, dan 170 Undang-Undang Minerba secara lex scripta (tetulis), lex stricta (tegas), dan lex certa (jelas) mengatur bahwa mineral (ore dan konsentrat) di Indonesia tidak boleh lagi dibawa mentah-mentah ke luar negeri tanpa diolah dan dimurnikan di dalam negeri. Caranya dengan membangun smelter, baik sendiri maupun bekerja sama dengan pihak lain.
Undang-Undang Minerba sebenarnya tidak ujug-ujug membebani kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri kepada perusahaan tambang. Aturan ini memberi waktu kepada pemegang kontrak karya selama lima tahun sejak Undang-Undang Minerba diundangkan untuk melakukan kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil tambangnya di dalam negeri (pasal 170). Adapun pemegang IUPK diberi tenggat hingga pada saat tahapan operasi produksi (pasal 103). Perusahaan tidak akan memperoleh IUP operasi produksi bila tidak memiliki lokasi pengolahan dan pemurnian.
Lokasi pengolahan dan pemurnian-baik dibangun sendiri maupun bekerja sama dengan badan usaha lain-harus berada di dalam negeri. Walhasil, IUP/IUPK yang terbit setelah 2009 harus melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri setelah pemegang izin melakukan tahapan operasi produksi.
Kenyataannya, kewajiban pengolahan dan pemurnian demi meningkatkan nilai tambah, penerimaan negara, mengembangkan industri hilir, penyerapan tenaga, dan multiplier effect lainnya "dikebiri" oleh Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017. Padahal pemerintah telah memberi toleransi waktu delapan tahun agar perusahaan pertambangan-baik pemegang KK maupun IUP- mengolah dan memurnikan hasil tambangnya di dalam negeri.
IUPK dan Kontrak Karya
Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 dinyatakan bahwa pemegang kontrak karya dapat melakukan penjualan hasil pengolahan ke luar negeri dalam jumlah tertentu paling lama lima tahun sejak berlakunya peraturan tersebut. Syaratnya, usaha pertambangan berubah menjadi IUPK operasi produksi.
Bila pemegang KK tidak mau mengubah menjadi IUPK, perusahaan dilarang melakukan kegiatan ekspor. Perubahan kontrak karya menjadi IUPK diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2017. Jangka waktu IUPK yang diberikan sesuai dengan sisa waktu berlakunya kontrak karya, dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali masing-masing selama sepuluh tahun.
Aturan baru ini berpotensi menyimpang dari Undang-Undang Minerba. Pertama, kontrak karya tidak bisa seketika menjadi IUPK. Sebab, dalam Undang-Undang Minerba diatur bahwa IUPK merupakan produk akhir dari skema kewilayahan pencadangan negara (WPN). Suatu wilayah yang ditetapkan menjadi wilayah pencadangan negara harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah disetujui, WPN bertransformasi menjadi wilayah usaha pertambangan khusus, yang kemudian dipecah menjadi beberapa wilayah izin usaha pertambangan khusus. Izin ini ditawarkan ke badan usaha milik negara. Apabila BUMN tidak berminat, izin dilelang kepada perusahaan tambang swasta.
Kedua, Pasal 103 Undang-Undang Minerba mengatur bahwa pemegang IUPK harus seketika melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 79 huruf d Undang-Undang Minerba. Artinya, tidak ada pemberian toleransi waktu lagi untuk ekspor ore atau konsentrat.
Ketiga, perubahan status menjadi IUPK berpotensi melanggar hukum atas kontrak karya. Pemerintah bisa dianggap memaksa Freeport Indonesia mengubah kontrak menjadi IUPK demi mendapat izin ekspor konsentrat. Meski dalam pasal 23 ayat 2 kontrak karya disebutkan bahwa Freeport Indonesia setuju merencanakan dan melaksanakan semua kegiatan sesuai dengan kontrak karya dan akan menaati semua undang-undang dan peraturan lain dari waktu ke waktu. Pasal ini sebenarnya bisa menjadi pamungkas bagi pemerintah bila akhirnya Freeport menggugat ke arbitrase.
Bila dicermati, rencana Freeport menggugat pemerintah-dengan memberikan waktu 120 hari melakukan negosiasi-dilatarbelakangi setidaknya oleh dua tujuan. Pertama, Freeport ingin menjadikan ancaman gugatan arbitrase ini sebagai upaya menaikkan posisi tawar kepada pemerintah sebagaimana dilakukan PT Newmont Nusa Tenggara pada 2014. Saat itu Newmont mengancam menggugat setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor konsentrat. Pemerintah belakangan luluh dengan memberikan izin ekspor konsentrat hingga detik ini.
Kedua, Freeport bisa mendapatkan putusan sela dari majelis hakim arbitrase berupa pemberian izin untuk tetap melakukan ekspor konsentrat. Dalam putusan akhir, Freeport sepertinya berharap agar majelis hakim memutus pemerintah untuk memulihkan hak-hak Freeport sesuai dengan kontrak karya, termasuk pemenuhan ganti rugi.
Bila Freeport kalah, kebijakan pemerintah agar status Freeport menjadi IUPK tetap berlaku selama belum dicabut oleh pemerintah. Artinya, bila kalah, Freeport tetap mendapatkan kemewahan IUPK berupa izin ekspor konsentrat selama lima tahun ke depan, plus perpanjangan 2 x 10 tahun.
Tapi ancaman arbitrase ini juga memiliki dampak negatif bagi Freeport. Sulit untuk tidak mengatakan tarik-ulur soal Freeport justru memunculkan simpati publik kepada pemerintah. Publik bisa menganggap langkah Freeport menggugat pemerintah merupakan upaya anti-kepentingan nasional dan bentuk arogansi perusahaan asing. Situasi ini jelas menguatkan posisi pemerintah. Sebaliknya, pemerintah akan berada dalam situasi sulit bila mundur atau takut terhadap ancaman Freeport karena hal ini akan melawan kehendak publik yang telanjur terbakar semangat kebangsaannya.
Hal lain yang luput dipertimbangkan Freeport, bila gugatan arbitrase tetap dilayangkan, operasi tambangnya dapat terhenti. Kementerian ESDM sewaktu-waktu bisa saja mencabut IUPK yang sudah diberikan kepada Freeport dengan dalih cacat prosedural atau substansi seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Apalagi Undang-Undang Minerba jelas-jelas menyebutkan ekspor konsentrat dilarang.
Itu sebabnya, berbagai regulasi di bawah Undang-Undang Minerba terkesan tambal-sulam dan banyak bolongnya. Pelaksanaan IUPK juga membentur undang-undang karena pada dasarnya memungkinkan Freeport mengekspor konsentrat dan mendapat perpanjangan operasi tambang 2 x 10 tahun. Malang bagi pemerintah karena regulasi yang sudah susah-payah disiapkan itu dilaporkan ke Ombudsman atas dugaan maladministrasi.
Ironisnya, Freeport menolak skema yang ditawarkan pemerintah dengan mengancam melayangkan gugatan arbitrase. Freeport tetap berpegang pada kemauannya sendiri. Ini sekali lagi membuktikan bahwa sumber daya alam di Indonesia adalah petaka, bukan sebagai karunia. l
Ahmad Redi
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo