Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada abad ke-15, Laksamana Ceng Ho dari dinasti Ming memimpin ekspedisi laut ke Asia dan Afrika. Penjelajahan itu melibatkan 27 ribu orang. Kerajaan Tiongkok pada masa itu adalah salah satu negara terkaya di dunia, dengan menguasai perdagangan dan maritim global. Namun, setelah ekspedisi berakhir, mereka seperti tidak membutuhkan dunia luar. Sebagian besar dari 8.853 kilometer Tembok Besar Cina dibangun di era dinasti Ming.
Enam abad kemudian, Amerika Serikat memilih presiden yang berencana mengambil langkah serupa. Donald Trump memerintahkan pembangunan tembok yang akan membatasi masuknya imigran ilegal dari Meksiko, serta melarang pendatang dari tujuh negara yang penduduknya mayoritas Islam masuk ke Amerika.
Di bawah kepemimpinan Trump yang proteksionis, Amerika Serikat keluar dari Trans-Pacific Partnership, yang diinisiasi Barack Obama. Ia bertekad melindungi Amerika Serikat dari negara mana pun yang membuat produk saingan, mencuri perusahaan Amerika, dan menghancurkan lapangan kerja. Trump menegaskan akan selalu mendahulukan kepentingan Amerikanegara yang membangun tata ekonomi dunia pasca-Perang Dunia II.
Langkah ini tentu bertolak belakang dengan fenomena setelah Perang Dunia II. Sejak masa itu, perdagangan, integrasi, dan kerja sama ekonomi meningkat, sementara konflik dan perang antarnegara kian berkurang. Peraih Hadiah Pulitzer, Thomas Friedman, bahkan menyatakan bahwa dua negara yang memiliki restoran McDonald¡¯ssebagai simbol dari keterbukaan ekonomi tidak akan berperang karena saling tergantung dan membutuhkan.
Arsitektur Ekonomi
Teori dasar perdagangan internasional yang diajukan Heckscher, Ohlin, dan Samuelson menyatakan bahwa keterbukaan ekonomi akan mendorong spesialisasi produksi antarnegara yang membawa net benefit bagi masyarakatnya. Namun tetap ada pemenang dan ada yang kalah. Dibutuhkan mekanisme transfer dari yang diuntungkan untuk melindungi kelompok yang dirugikan.
Banyak negara maju memiliki mekanisme transfer fiskal dan perlindungan pada kelompok ekonomi lemah, semisal social safety net, berbagai subsidi, serta pendidikan dan pelatihan. Dengan sistem kapitalisme Anglo Saxon, Amerika memiliki sistem jaminan sosial dan kesehatan yang lebih lemah dibanding negara-negara Eropa.
Di balik kemajuan ekonomi Amerika pada 1990 dan 2000-an, terdapat jutaan pekerja manufaktur yang kehilangan pekerjaan karena perusahaan melakukan outsourcing dan memindahkan pabrik ke Asia. Banyak pekerja berpendidikan dan berpengalaman sulit masuk ke sektor jasa keuangan, riset, dan high-tech. Tak mengherankan bila mereka mendukung Trump, yang berjanji memperkuat kembali Amerika.
Amerika Serikat adalah negara dengan produk domestik bruto terbesar yang juga paling banyak membeli produk negara lain. Sudah puluhan tahun Amerika mengalami defisit neraca perdagangan. Di tengah situasi itu, Barack Obama mempersiapkan Amerika menjadi jangkar dari globalisasi ekonomi. Caranya, mendorong terbentuknya Trans-Pacific Partnership dengan kawasan Asia, Trans-Atlantic Free Trade Area dengan Kawasan Eropa, dan Free Trade Area of the Americas di Benua Amerika. Sebaliknya, Trump menolak perluasan kerja sama ekonomi. Ia konsisten mengambil kebijakan proteksionis setelah terpilih sebagai presiden.
Proteksionisme yang ditempuh Trump-seperti menerapkan tarif impor, memberikan subsidi atau pengembalian pajak pada eksportir (border adjustment tax)-dalam jangka pendek dapat meningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan Amerika. Naiknya suku bunga The Fed juga akan meningkatkan arus modal ke Amerika. Namun, dalam jangka menengah, upaya mengganti barang impor dari negara berkembang dengan produk Amerika tidak mudah. Gaji pekerja Amerika yang tinggi akan mengerek biaya produksi. Harga produk teknologi rendah dan padat karya tidak bisa semurah bila dibuat di negara berkembang. Hal ini akan menaikkan inflasi, melemahkan konsumsi, daya saing, serta pelambatan ekonomi.
Amerika sepertinya lupa pada fakta sejarah bahwa perekonomian dinasti Ming setelah ekspedisi Ceng Ho justru mengalami kemunduran setelah menutup diri. Sebaliknya, negara-negara Eropa yang membuka kerja sama ekonomi, aktif berkompetisi dan berinovasi dalam kemajuan teknologi, memasuki masa renaissance. Eropa Barat menjadi kekuatan dominan dunia pada abad ke-18 dan ke-19, sampai Amerika memakai jurus yang sama pada awal abad ke-20.
Dampak pada Indonesia
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan Amerika Serikat adalah tujuan utama ekspor Indonesia pada 2016. Porsinya mencapai 10,9 persen dari total ekspor Indonesia. Peringkat berikutnya adalah Cina (10,5 persen) dan Jepang (10,1 persen). Keseluruhan ekspor ke negara-negara di Eropa-bila dijumlahkan-proporsinya melebihi ekspor ke Amerika Serikat, yakni 11 persen. Adapun ekspor ke negara Asean mencapai 21,9 persen.
Bila kebijakan proteksionisme Trump menurunkan ekspor Indonesia ke Amerika sebesar 20-30 persen, nilai ekspor Indonesia akan berkurang 2,2-3,3 persen. Meski memprihatinkan, perubahan ini tidak berdampak signifikan. Tapi, bila kebijakan proteksionisme Trump memukul ekspor dan pertumbuhan Jepang, Tiongkok, serta negara-negara Asean dan Eropa, secara tidak langsung negara-negara tersebut akan mengurangi impor dari Indonesia.
Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat plus kawasan Asean, Asia Timur, dan Eropa menyumbang 66,3 persen dari total ekspor nasional. Walhasil, bila ekspor Indonesia ke kawasan tersebut menurun 20-30 persen, ekspor Indonesia secara keseluruhan akan anjlok 13,3-19,9 persen. Dampak penurunan ini akan terasa signifikan terhadap perekonomian dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Itu sebabnya Indonesia perlu memperlebar akses ekspor ke negara atau kawasan lain. Regional Comprehensive Economics Partnership, yang beranggotakan negara Asean, Jepang, Cina, India, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru, berpotensi tinggi menjadi blok dagang Asia-Pasifik seperti European Economic Area. Meski masih pada tahap negosiasi, Indonesia harus mendorong percepatan pembahasan sambil memperjuangkan pasal-pasal yang memperkuat posisi kita.
Meningkatnya inflasi di Amerika Serikat dan kenaikan bunga The Fed akan memicu melemahnya mata uang rupiah dan berkurangnya arus modal ke Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan terjadi arus modal keluar. Itu sebabnya, Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter, perlu mengantisipasi demi menjaga stabilitas mata uang dan cadangan devisa. Pemerintah juga harus giat mencari foreign direct investment dari negara atau kawasan lain sebagai bantalan menghadapi turbulensi global.
Ada hal lain yang harus diperhatikan. Trust Barometer Edelman 2017 menemukan, 73 persen rakyat Indonesia khawatir terhadap globalisasi dengan 36 persen di antaranya sudah berada pada fase takut. Adapun 54 persen masyarakat khawatir terhadap perubahan inovasi dan teknologi. Kondisi ini membuka peluang menguatnya kelompok yang bisa membakar keberagaman dan kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia.
Untuk mencegah hal tersebut, Indonesia perlu berfokus mengurangi kesenjangan. Jangan sampai menguat anggapan bahwa Indonesia dikuasai sekelompok masyarakat sehingga kelompok lain tidak mempunyai kesempatan. Kesetaraan kesempatan (equality of opportunity) harus diperkuat sehingga setiap individu-meski lahir di pedalaman luar Jawa-bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas.
Indonesia bisa belajar dari Kanada dan wilayah Skandinavia, yang berhasil menggabungkan globalisasi, competitiveness, dan perlindungan sosial. Dengan menyediakan jaminan kesehatan dan kualitas sekolah yang baik dengan biaya terjangkau, penduduk Kanada dan Skandinavia tidak merasa terancam oleh globalisasi. Mereka berani berkompetisi dengan negara lain. Akibatnya, kekuatan politik populis dan proteksionis juga jauh lebih lemah di kedua kawasan tersebut.
Proyeksi PricewaterhouseCoopers mengenai kondisi ekonomi dunia 2050 menempatkan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi nomor empat dunia di bawah Cina, India, dan Amerika Serikat. Mewujudkan proyeksi tersebut bukan hal mustahil. Namun Indonesia harus berhati-hati menghindari tembok besar yang dibangun Trump, sambil terus memperkuat kondisi ekonomi dan sosial domestik.l
Berly Martawardaya
Ekonom Indef dan pengajar ekonomi politik di FEB-UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo