Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR baik itu berembus dari Salamanca, Spanyol, pertengahan Juli lalu. Tim Olimpiade Fisika Indonesia meraih dua medali emas pada Olimpiade Fisika Internasional ke-36, lewat Ali Sucipto, siswa SMA Xaverius 1 Palembang, dan Andika Putra, siswa SMA 1 Sutomo Medan. Keduanya sama-sama muda remaja: 17 tahun. Andika Putra bahkan baru akan menjejak usia tujuh belas pada 28 Agustus nanti.
Ali Sucipto, yang mengidolakan Richard Philips Feynman—peraih Nobel Fisika 1965 di bidang elektrodinamika kuantum—menyelesaikan seluruh soal dalam waktu empat jam dari lima jam yang disediakan panitia. ”Soal paling berat nomor dua, yakni menentukan kuantitas-kuantitas listrik,” katanya. Remaja yang memiliki nilai IQ 152 itu terlihat dewasa, penuh percaya diri. Waktu luangnya diisi dengan membaca komik silat seperti Pendekar Hina Kelana, To Liong To, atau karya-karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo.
Remaja Andika Putra, dia memuja Isaac Newton. Meski meraih medali emas, ia gagal menjadi pemenang mutlak (absolute winner) karena kesalahan kecil dalam penerapan Rumus Ketidakpastian Heisenberg. Akibatnya, ia ”hanya” meraih nilai 48,3 dan merelakan poin tertinggi 49,5 kepada siswa Hungaria, Gabor Halasz. ”Kalau kita punya lima siswa seperti Andika, pada Olimpiade tahun depan di Singapura kita bakal juara umum. Dia tipe siswa yang patuh, rajin, dan disiplin,” kata Yohanes Surya, Presiden Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), saat Yohanes bersama Tempo menunggu boarding pesawat di Bandara Schiphol, Amsterdam.
Tekad itu tampaknya baru hitungan di atas kertas. Sebab, dari lima anggota TOFI 2005—tiga lainnya adalah Ario Prabowo, Michael Ardian, dan Purnawirman—empat anggota selain Andika hanya seminggu menghabiskan waktu di Indonesia setelah Olimpiade. Lainnya langsung ke Singapura menyambut beasiswa yang diberikan Nanyang University. Andika menyatakan mundur dari TOFI 2006 dan menampik tawaran Nanyang karena mengincar masuk Massachusetts Institute of Technology, yang lebih prestisius, di Boston. ”Beri kesempatan yang lain saja. Saya ingin konsentrasi lagi pada pelajaran sekolah,” katanya kalem.
Tahun 1999 adalah mula pertama Indonesia masuk ajang Olimpiade Fisika. Di Padua, Italia, ketika itu hadirlah Made Agus Wirawan dari SMUN 1 Bangli, Bali. Dia mewakili Indonesia dalam Olimpiade Fisika ke-30. Publik terhenyak ketika Made Agus pulang ke Tanah Air sembari menenteng medali emas. Di tengah isu kualitas pendidikan yang terus merosot, kurikulum yang amburadul, dan nilai ujian akhir nasional (UAN) yang terjun bebas di banyak provinsi, kita masih punya ”stok” pelajar dengan otak berpendar di tingkat dunia. Dalam setahun terakhir, selain Ali Sucipto dan Andika Putra, sedikitnya ada lima siswa yang mengibarkan nama Indonesia di ajang sains internasional.
Mereka adalah Anike Bowaire dari SMUN 1 Serui, Papua, dan Dhina Susanti, siswi SMUN 3 Semarang. Keduanya peraih emas di ajang The First Step to Nobel Prize in Physics ke-12, di Warsawa, Polandia. Lalu, ada Masyhur Aziz Hilmy dari SMUN 1 Klaten yang menjadi pemenang pertama Olimpiade Astronomi Internasional ke-9 di Crimea, Ukraina. Dari Olimpiade Sains Yunior Internasional yang berlangsung di Jakarta, akhir tahun lalu, muncul nama Stephanie Senna, murid SLTP Ipeka Tomang, yang meraih penghargaan Best Experimental Winner, dan Azis Adi Suyono dari SLTP 9 Cilacap, yang menyabet penghargaan Absolute Winner.
Psikolog pendidikan Universitas Indonesia, Reni Akbar-Hawadi, menyebut Anike Bowaire dan kawan-kawan memiliki ”keberbakatan intelektual”, satu fase sebelum absah menyandang predikat genius. ”Belum bisa disebut genius karena belum ada karya intelektual mereka yang bermanfaat secara universal bagi umat manusia,” ujar Reni kepada Muhamad Nafi dari Tempo. Ia menyebutkan Albert Einstein dan Thomas Alva Edison sebagai contoh manusia-manusia genius.
Reni menyarankan, sebutan genius justru tak usah dilekatkan pada para siswa ini karena bisa menjadi beban bagi yang bersangkutan. ”Yang terpenting, pemerintah harus punya data base anak-anak seperti ini dan menjamin pendidikan mereka sampai S3 serta karier mereka selanjutnya,” katanya. ”Dengan begitu, mereka dapat mendistribusikan kembali kelebihan mereka kepada masyarakat,” ia melanjutkan. Menurut Reni, yang membedakan para jawara Olimpiade Sains dengan siswa kebanyakan adalah ketekunan, semangat pantang menyerah, keuletan, serta impian untuk selalu menyajikan hal orisinal, baik dalam riset maupun pemikiran. Meminjam istilah Yohanes Surya, anak-anak ini bermental juara.
Ia mencontohkan Anike Bowaire, yang melakukan riset gerakan chaos pada pegas yang diputar horizontal. Dalam telaah fisika, biasanya gerakan chaos pada pegas diuji secara vertikal. Implementasi teori chaos dalam kehidupan amat beragam. Mulai dari memprediksi pola cuaca global, detak jantung di dalam tubuh, sampai mendeteksi pergerakan saham di bursa tertentu. ”Riset Anike orisinal karena dilakukan secara horizontal. Ini yang membuat dewan juri memenangkannya,” ujar Yohanes.
Orisinalitas adalah satu faktor. Keuletan adalah hal lainnya. ”Di awal penelitian, Anike menangis berkali-kali. Bahkan last minute masih ada pekerjaannya yang salah. Tapi dia masih bersemangat memperbaiki, sehingga papernya baru dikirim pada hari terakhir, 31 Maret 2005,” Yohanes menjelaskan. Ketekunan serupa ditunjukkan Dhina Susanti dari Semarang, yang melakukan riset terhadap gerak lengkung shuttle cock dalam permainan bulu tangkis. ”USB yang berisi data penelitiannya hilang. Dhina mengulang lagi semua materi penelitiannya dari awal. Ini berat sekali, tapi Dhina melakukan itu. Ini sikap peneliti sejati,” tutur Yohanes bangga (lihat, Pada Sebuah Kok).
Yohanes menampik rumor bahwa kemenangan anak-anak asuhnya, terutama di Olimpiade Fisika Internasional dan The First Step to Nobel Prize in Physics, merupakan bentuk kemenangannya atas ”Yohanes Surya-Yohanes Surya” di negara-negara lain. Ringkasnya, para pelajar itu hanyalah pion para pelatih alias pemilik ide riset yang sebenarnya. ”Waduh, saya enggak punya waktu melakukan riset seperti Anike atau Dhina,” ujar Yohanes tertawa. ”Tapi, dengan pengalaman membimbing mahasiswa S1 sampai S3, saya langsung tahu di mana bolong-bolongnya penelitian mereka,” ia menambahkan.
Anike, yang ditemui Tempo di Lippo Karawaci, salah satu pusat penggodokan TOFI, menjelaskan bahwa ketertarikannya pada teori chaos dimulai sejak ia dilatih Yohanes. ”Kayaknya asyik meneliti fenomena chaos yang berusaha mengungkap keteraturan dalam ketidakteraturan,” ujarnya. Ia tersaring dari Olimpiade Fisika 2003 sebagai wakil dari Papua. Namun, Anike tak diikutkan pada Olimpiade Sains Nasional di tahun yang sama. Ia malah dikirim sebagai wakil Indonesia untuk Olimpiade Matematika di Turki dan Olimpiade Sains Internasional di India. Hasilnya? ”Saya enggak dapat apa-apa,” katanya tersenyum. ”Tapi kemampuan bahasa Inggris saya nambah.” Pada Olimpiade Sains Nasional 2004, Anike memperoleh perunggu.
Ketika 30 siswa teratas dari Olimpiade itu ditarik untuk memasuki karantina di Karawaci, Anike mengundurkan diri dari tim fisika. ”Saya ingin ikut tim First Step to Nobel Prize,” ujarnya. Ada dua alasan yang menjadi pertimbangan Anike. Pertama, untuk melanjutkan pamor siswa Papua yang telah dimulai oleh seniornya, George Saa, pemenang tahun lalu yang kini sedang menjalani kuliah bahasa Inggris di Wesleyan University. Kedua, ”Karena di First Step hanya fokus pada riset di satu bidang. Sedangkan di Olimpiade Fisika, kita harus menguasai banyak hal tentang fisika karena ujiannya adalah mengerjakan soal, bukan riset.” Strategi ini tepat. Dengan emas di tangan, ia mampu melanjutkan ”dominasi” Papua sebagai salah satu gudang calon-calon fisikawan Indonesia masa depan.
Atas prestasinya itu, Pemerintah Daerah Papua memberikan beasiswa kuliah di Universitas Satya Wacana, Salatiga. ”Masih belum saya ambil,” kata Anike. ”Saya ingin coba masuk Harvard tahun depan,” ujar putri kedua dari empat bersaudara pasangan Yohanes Bowaire dan Yemima Woriori ini. ”Saya ingin seperti Pak Hans Wospakrik (guru besar fisika di ITB asal Papua yang baru meninggal, dan penulis buku Dari Atomos Hingga Quark—Red). ”
Cita-cita menjadi pengajar juga terlintas di pikiran Stephanie Senna, siswi SLTP Ipeka Tomang, Jakarta Barat. Dia meraih penghargaan Best Experimental Winner pada Olimpiade Sains Yunior Internasional di Jakarta. ”Ingin juga menjadi peneliti. Tapi menjadi guru lebih penting,” ujar putri sulung pasangan Husen Chandra dan Aliana Suryaman ini. ”Sejak kecil, dia suka sekali biologi. Ciri khasnya yang lain, sering mengkritik cara mengajar gurunya. Itu sudah dilakukannya sejak SD,” kata Aliana, yang pernah dipanggil menghadap guru di SD anaknya, karena Stephanie dianggap terlalu terbuka mengkritik guru-gurunya.
Kata Stephanie, ”Cara mengajar guru-guru sekarang ngebosenin, masuk kelas suruh buka buku, kasih rumus, suara datar, enggak ada humor. Bagaimana murid bisa tertarik sains?” katanya. ”Padahal ilmu alam harus diajarkan dengan banyak imajinasi, dengan menggunakan model yang mudah ditemukan sehari-hari. Itu sebabnya mengapa saya mau jadi guru supaya anak-anak lebih senang belajar sains,” katanya.
”Keberbakatan intelektual” seperti ditunjukkan Anike, Dhina, dan Stephanie tak hanya memancar dari kota-kota besar seperti Karawaci, Semarang, dan Jakarta. Marilah kita ke Kalipanas, suatu dermaga kecil, beberapa ratus meter di sebelah selatan kilang minyak Pertamina, Cilacap. Arloji menunjukkan pukul 06.30 pagi. Kabut masih membalut sisi dermaga.
Satu perahu fiberglass bantuan Bupati Cilacap Probo Yulastoro terisi enam penumpang—semuanya guru SMPN 9 Cilacap. Guru SMP? Ya, sekolah itu terletak di seberang perairan yang disebut warga setempat sebagai Bengawan Donan. Setelah 30 menit mengarungi bengawan yang bersambungan dengan Segara Anakan, perahu berkelok-kelok mengikuti jalur hutan bakau, sebelum sampai pada sebuah tepian tanggul becek. ”Tiap hari kami melewati jalur ini,” ujar Marsudiyono, 42 tahun, Kepala Sekolah SMP 9, yang menghela Tempo naik ke daratan.
Jalan setapak sepanjang 20 meter itu, selain becek, dipenuhi kepiting bercapit tunggal yang mudah terinjak. ”Jangan khawatir, itu tidak beracun,” ujar seorang guru perempuan. Akhirnya sampailah Tempo dan rombongan kecil itu di satu gedung sederhana, terdiri dari enam kelas, di Desa Kutawaru, Cilacap Tengah. Wilayah ini masuk kecamatan kota, namun lokasinya terisolasi. Tak ada jalan beraspal. Di sekolah terpencil inilah Azis Adi Suyono, pemenang Olimpiade Sains Junior Internasional 2004, menuntut ilmu.
Jadwal sekolah tergolong ”fleksibel”, terutama jika laut pasang dan air bengawan meluap naik ke halaman sekolah. ”Tahun lalu banjir bertepatan dengan ujian nasional. Murid-murid tetap masuk dengan kaki diangkat,” ujar Karman, wali kelas Azis di kelas satu. Toh, dengan semua kendala itu, prestasi Azis tetap berpijar. ”NEM (nilai Ebtanas murni—Red) dia kemarin 44. Peringkat kedua, 38. Jauh bedanya,” kata Karman, yang menilai kemampuan Azis memahami fisika sudah setingkat anak SMU.
Azis—kini murid kelas satu SMU 1 Cilacap—hanya tersenyum ketika diberi tahu tentang pujian gurunya. ”Sebenarnya saya suka fisika dan matematika. Tapi fisika lebih asyik karena bisa dipakai mengkhayal,” katanya tertawa. Tubuhnya yang kurus, 163 cm/48 kg, terguncang-guncang melihat ekspresi kebingungan di wajah Tempo. Fisika untuk mengkhayal? ”Ya, saya bayangkan apa yang terjadi kalau saya meluncur melebihi kecepatan cahaya dan melewati sebuah jam, maka jarum jam itu pasti dalam keadaan berhenti, karena saya tidak sedang berada dalam dimensi waktu,” katanya. Nah!
Sebenarnya Azis bisa mendapat fasilitas gratis di SMU. Sebuah sekolah unggulan di Semarang, SMA Semesta, sudah menawarinya ketika ia masih SMP agar melanjutkan sekolah di sana. Tapi tawaran itu ditolak Azis. ”Saya enggak mau sekolah gratis tapi terbebani harus menjadi juara. Saya ingin seperti anak lain, bayar sekolah. Sehingga, kalau saya menang dalam sebuah lomba sains, ya, menang saja. Dan kalau kalah, ya, kalah saja. Santai, gitu loh…,” kali ini nada bicaranya terdengar seperti anak Jakarta. Kalau ada waktu senggang, Azis pergi mencari warnet di pusat Kota Cilacap. ”Saya suka game strategi seperti Battle Realm dan War Craft. Sebenarnya favorit saya Ragnarok, tapi online game susah di sini,” ujar pengagum Albert Einstein ini. Kalau sedang malas ke kota, ia mengutak-atik gitar atau keyboard barunya yang dibeli dari hasil kemenangan Olimpiade.
Mari kita berpindah ke Klaten. Di kota yang tenang ini, sekitar 30 kilometer dari Yogyakarta, berkibarlah nama Masyhur Aziz Hilmy. Dia pemenang pertama Olimpiade Astronomi Internasional ke-9, di Ukraina. Berbeda dengan keempat rekannya yang amat rajin belajar, Mamas—begitu ia biasa dipanggil—boleh dibilang pengecualian. ”Saya tak pernah melihatnya belajar di rumah,” ujar ibunya, Siti Jamiatun. Walau begitu, Mamas selalu menjadi juara umum di SD-SMP. Remaja ini punya kebiasaan unik. Jika buku yang dicarinya tak ada di perpustakaan sekolahnya, ia akan pergi Yogyakarta. Di sana dia akan membaca di toko-toko buku selama 5-6 jam. Kenapa tidak dibeli? ”Lha wong tidak punya uang. Lagian sudah habis dibaca, masa masih mau dibeli?” katanya lugu.
Mamas menolak disebut genius, meski prestasinya tinggi dan malas belajar. ”Kalau saya memperoleh medali emas di Olimpiade Astronomi, itu karena saya mempersiapkan diri, bukan genius,” katanya sembari mengaku bahwa nilai UAN-nya secara umum tak memuaskan. Dalam bahasa Anike Bowaire, semua kecerlangan intelektual itu hanyalah anugerah. ”Sesuatu yang kita dapatkan secara gratis padahal tak pernah kita impikan. Karena itu, tak boleh disia-siakan,” ujarnya.
Dengan anak-anak semacam ini, mestinya kabar baik akan selalu berembus ke Indonesia—dari belahan bumi mana pun mereka berada.
Akmal Nasery Basral (Jakarta), Dody Hidayat (Salamanca, Spanyol), Ari Aji H.S. (Cilacap), Philipus Parera ((Jakarta), Ari Aji H.S. (Cilacap), Imron Rosyid (Klaten)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo