Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VERY Idam Henyansah baru sekitar sebulan belajar tenis. Bolanya kerap menyangkut di net, tak jarang nyelonong ke luar garis. Di lapangan tenis Apartemen Margonda Residence, Depok, Sabtu pagi awal Juli lalu, rekan sekamarnya, Novel Andreas, dengan setia memunguti bola-bola itu.
Ryan, begitu Very Idam dipanggil, tinggal bersama Novel di Blok C Nomor 309A Margonda Residence sejak 25 Mei. Kamar 16 meter persegi ini dilengkapi kamar mandi dan dapur kecil. Mereka menyewa untuk tiga bulan, dengan tarif Rp 1,2 juta per bulan, dibayar di muka.
”Ryan rajin salat,” kata Novel, 28 tahun. ”Setiap akhir pekan kami salat berjamaah. Saya selalu jadi imamnya.” Mereka menghabiskan sebagian waktu akhir pekan di area olahraga apartemen.
Ryan, 30 tahun, mengambil les tenis di sini. Ia juga bermain bulu tangkis. Tempo beberapa kali melihat Ryan bermain tenis melawan teman-temannya. Semuanya lelaki. Novel hanya menonton dari pinggir lapangan.
Novel mengenal Ryan di Bandung pada Februari lalu. Ketika itu Ryan meneleponnya, mengatakan memperoleh nomor dari seorang rekan. Sejak itu mereka berhubungan dekat.
”Kata Ryan, saya pacarnya yang ketiga,” ujar Novel. Ryan tak punya pekerjaan, Novel pegawai golongan IIA di Kantor Imigrasi Depok, Jawa Barat. Siang hari, ketika Novel bekerja, Ryan diam di apartemen.
Jumat tiga pekan lalu, tak seperti biasa, Novel tak langsung pulang ke apartemen. Ia pamit mampir ke rumah kakaknya di Jalan Kedondong, Depok. Ini kesempatan Ryan mengundang temannya yang lain: Heri Santoso. Kepada polisi, ia mengaku bermesraan dengan pria 40 tahun karyawan pemasaran sebuah perusahaan baja di Cikarang, Jawa Barat itu.
Seusai melepas hasrat, sekitar pukul 20.00, Heri iseng melihat foto Novel di telepon seluler Ryan. Ia rupanya tertarik, dan ini membuat Ryan naik pitam. Diam-diam Ryan pergi ke dapur, mengambil pisau. Dengan pisau ini ia diduga membunuh tamunya.
Ryan juga menetak tubuh Heri jadi tujuh bagian, lalu memasukkannya ke koper. Awalnya ia hendak mengangkut potongan tubuh itu dengan mobil Heri, yang ternyata dilengkapi kunci pengaman. Ia pun memanggil taksi dan membuang tubuh Heri di Jalan Kebagusan, Ragunan, Jakarta Selatan.
Di sela aksinya, Ryan mengirim pesan pendek ke telepon seluler Novel, pada sekitar 21.00. Ia minta dijemput di depan Rumah Sakit Pondok Indah. ”Saya segera ke sana dengan sepeda motor,” kata Novel. ”Saya menunggu sampai setengah satu dini hari, dia baru datang.”
Tiba di apartemen, Novel mencium bau anyir. Ia tak curiga karena Ryan memang sering batuk darah. Yang aneh, baru bangun tidur pada Sabtu pagi, Ryan mengajak Novel pindah rumah. Padahal, sewa mereka baru habis bulan depan.
”Aku mimpi ketemu Abah. Dia bilang kita harus pindah hari ini,” kata Novel, menirukan Ryan. Entah siapa yang dia maksud dengan ”Abah” itu. Mereka mencari tempat tinggal baru.
Akhirnya terpilih rumah petak di Jalan Margonda Raya 34, milik Abdul Madjid—nomor 7 dari 12 rumah di tempat itu. Sewanya Rp 750 ribu per bulan. Sabtu sore keduanya mengangkut barang-barang mereka dengan taksi.
Ryan lalu sibuk berbelanja: pemasak nasi, perlengkapan dapur, juga cermin. Pada Senin pagi, dua hari setelah menempati kamar kos, ia berbelanja sayuran dan daging. ”Ia bilang, di luar makanannya kotor, jadi lebih baik masak sendiri,” kata Abdul.
Esoknya, ia masak ayam dan sayur yang dibeli dari Carrefour. Siang harinya Ryan pamit kepada Abdul, katanya hendak membeli lemari es. Tapi, menjelang petang, Ryan dan Novel datang ke tempat kos dengan kawalan polisi.
Setelah membunuh, menurut polisi, Ryan dan Novel menguras isi rekening Heri Santoso. Dengan uang itulah Ryan diduga berbelanja dan membayar sewa kos. Setelah interogasi, polisi menduga Heri bukan korban pertama Ryan.
Pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 1 Februari 1978 itu juga diduga membunuh empat orang lainnya: Guntur Setyo Pramono alias Guruh (warga Nganjuk, Jawa Timur), Grendy (warga negara Belanda), Ariel Somba Pamungka Sitanggang (warga Depok, Jawa Barat), dan Vincentius Yudi Priyono (penduduk Wonogiri, Jawa Tengah).
Jasad mereka dikubur di belakang rumah keluarga Ryan di Dusun Maijo, Jatiwates, sekitar 15 kilometer arah utara ibu kota Kabupaten Jombang. Dengan petunjuk tersangka, polisi membongkar kuburan itu, Senin pekan lalu.
PERKAMPUNGAN di Desa Jatiwates membentuk blok-blok cluster. Satu blok merupakan dusun, yang dipisahkan hamparan sawah atau kebun tebu dari blok lainnya.
Sebagian besar penduduknya petani, termasuk Ahmad Sadikun, ayah kandung Ryan. Adapun Siatun, ibunya, berdagang keliling pakaian angsuran.
Di sinilah Ryan lahir. Sang ibu bercerai dari suami pertamanya, Sahlan, 14 tahun sebelumnya. Dari perkawinan pertama, Siatun punya satu anak, Mulyo Wasis, kini 44 tahun. Menurut Wasis, tak ada yang aneh pada masa kecil adiknya.
Wahib, yang mengajar Ryan di kelas enam Sekolah Dasar Jatiwates II, mengenang muridnya itu sebagai anak baik. Nilai rapornya rata-rata: 7-8. Yang tak biasa, menurut Wahib, Ryan—di desanya dipanggil Yansyah—bertingkah gemulai.
Paining, teman sekelas Ryan di sekolah dasar, menilai kawannya itu pintar dan periang. ”Ia suka bergaul dengan murid perempuan,” ujarnya mengenang. ”Ia dulu sering main loncat tali, juga dengan teman perempuan.” Menurut Paining, Ryan juga sering bermain bunga.
Lulus dari sekolah dasar, Ryan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama I Tembalang. Marsudi, gurunya dulu, mengingat Ryan sering diolok-olok murid pria. Namun anak itu menanggapinya dengan tertawa. ”Tak terlihat ia marah,” katanya. ”Paling dia menghindar.”
Ryan aktif di organisasi siswa intrasekolah. Ia ditunjuk menjadi ketua bidang apresiasi dan seni. Di sinilah ia menyalurkan hobinya menari. Ia satu-satunya penari pria ketika klub tari sekolah itu pentas di dalam dan di luar sekolah.
Menurut Wasis, adiknya berubah setelah mengikuti tamasya sekolahnya ke pantai selatan. Kepada kakaknya, Ryan mengatakan mendapat boneka pemberian penguasa pantai selatan. Sebulan kemudian boneka itu hilang.
”Setelah itu perilakunya berubah,” kata Wasis, guru sekolah dasar. ”Kalau marah, ia memecahkan kaca dan merusak isi rumah.” Dari sekolah menengah pertama, Ryan meneruskan ke Sekolah Menengah Atas I Jombang.
Tak lama di sekolah itu, ia pindah ke Sekolah Menengah Atas Kabuh. Enam bulan kemudian, ia pindah lagi ke Sekolah Menengah Atas III. Tak sampai lulus, ia memutuskan hijrah ke Jakarta. ”Tapi aku masih sering balik ke Jombang,” kata Ryan kepada Tempo.
Pada 2004, keluarga Ryan diterpa masalah. Solikan, sepupu Ryan yang menjadi kepala dusun, dituduh menggelapkan beras untuk rakyat miskin dan berbuat cabul dengan seorang perempuan warganya. Penduduk setempat berunjuk rasa di depan rumah Solikan, tepat di samping kanan rumah Ryan.
”Karena Solikan tetap mengelak dan dinyatakan tak terbukti bersalah di pengadilan, warga mengucilkan keluarga itu,” kata Suprayitno, tetangga Ryan. Sejak saat itu, menurut Suprayitno, Ryan tidak pernah bercakap-cakap dengan para tetangganya.
RYAN mengaku mengenal Guntur, Grendy, dan Vincentius sejak awal 2007. Ia bertemu Grendy di bus, dalam perjalanan dari Jombang menuju Kediri. ”Yang lainnya aku tidak ingat,” ujarnya.
Kepada penyidik, Ryan mengaku menjalin hubungan khusus dengan Guntur cukup lama. Hubungan mereka retak pada Agustus tahun lalu, karena masing-masing memiliki pasangan lain.
Keduanya cekcok di rumah Ryan, yang berakhir dengan pembunuhan Guntur. Sang tuan rumah lalu memereteli perhiasan emas dan telepon seluler tamunya.
Tahun berganti, Ryan mengajak pulang Grendy pada Februari lalu. Di rumahnya, ia kembali beraksi. Ia bunuh pria yang hingga kini belum jelas identitasnya itu. Ia kemudian diduga merampas semua harta korban.
Pada bulan yang samalah, Ryan mengenal Novel. Sejak 11 Maret, keduanya tinggal bersama di rumah kontrakan di Jalan Pedurenan, Setiabudi, Jakarta Pusat.
Pada 23 April, Ryan pamit pulang ke Jombang untuk menggarap proyek rumah sakit di Surabaya. ”Ia bilang akan ketemu insinyur di sana,” kata Novel. ”Saya mengantarnya ke Stasiun Gambir.”
Rupanya ia pergi bersama Ariel Somba Sitanggang. Ariel, yang bekerja sebagai agen properti, pernah berjanji merenovasi rumah Ryan. Ternyata janji itu tak bisa dipenuhi dengan cepat, sehingga Ryan marah.
Ariel juga tahu, ternyata Ryan punya teman dekat. Keduanya terlibat pertengkaran, yang juga berakhir dengan pembunuhan. Ryan baru hendak mengubur jasad Ariel ketika Vincent, teman dekatnya yang lain, datang.
Tak mau aksi kejinya ketahuan, Ryan bergegas membunuh pemuda Wonogiri itu. Jenazahnya dikubur jadi satu dengan Ariel. Jenazah empat korban itu dikubur dalam dua lubang, dengan satu lubang berisi tiga jenazah.
Polisi curiga masih ada jenazah terkubur di sekitar rumah Ryan. Itu sebabnya mereka sempat membuka septic tank. Tapi Ryan mengaku hanya membunuh empat orang. ”Tak ada lagi yang lain di situ,” katanya.
Beres dengan urusan mayat, Ryan kembali ke Jakarta, ke pangkuan Novel. Keduanya kemudian pindah tempat tinggal ke Jalan Jambu, Pejaten, Jakarta Selatan. Sebulan di situ, mereka pindah ke Margonda Residence.
Kepada Tempo, Novel mengaku tidak mengenal Ariel. ”Saya pernah dengar nama itu dari Ryan, tapi enggak pernah ketemu orangnya,” ujarnya.
Guru SMP Ryan, Marsudi, terakhir bertemu muridnya itu sekitar empat bulan lalu di warung bakso di sudut Kota Jombang. ”Dia bercerita sedang membuat film, dan syuting untuk suatu produk,” ia mengenang.
Untuk meyakinkan gurunya, Ryan mengenalkan seorang pria sebagai produser. Dari logat bicaranya, Marsudi memperkirakan ”produser” itu dari Jakarta. ”Wajahnya mirip Ariel,” katanya, sambil menunjuk foto di surat kabar. Marsudi menyimpulkan, Ryan hanya membual.
Lurah Jatiwates, Machmud, menilai Ryan memang pembual. Setiap kali berjumpa, Ryan mengaku habis melancong ke luar negeri: Malaysia, Singapura, Australia, atau negara lain. Kepada teman-temannya berolahraga di Marcella Gymnastic, Jombang, ia pernah mengatakan baru pulang haji.
Jika semua pengakuannya kepada polisi benar, Ryan seperti menjalankan ”ritual” tetap, ya membunuh itu. Ia menjaring calon korban antara lain dengan membual, mengajaknya berkencan, membunuhnya, lalu menyikat hartanya.
Ia kemudian menikmati harta itu: tinggal di apartemen, fitness, juga bermain tenis—walau bolanya masih sering nyangkut di net atau melesat ke luar lapangan.
Budi Setyarso, Sahala Lumbanraja, Muhammad Nafi, dan Dini Mawuntyas (Jombang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo