Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI luar, rumah dua lantai itu terlihat unik. Dinding bagian tepinya miring ke luar dan membentuk bidang segi lima. Bidang atapnya juga tidak bertemu dan tak memiliki bubungan. Bidang atap pertama terlihat lebih tinggi sekitar setengah meter dari bidang atap kedua. Seolah-olah keduanya dipasang sebagai atap yang berbeda kendati menaungi bagian atas rumah yang sama. Kemiringan atap pun terlihat agak curam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terletak di Jalan Sultan Hasanudin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, rumah yang tampak tua itu tak lagi ditinggali pemiliknya. Hanya ada Rik, pria paruh baya yang sehari-hari bertugas menjaga sekaligus membersihkan rumah yang sebagian besar dindingnya terlihat kusam itu. "Rumah ini sudah lama tidak ditempati. Rencananya mau dikontrakkan," kata Rik, Senin pekan lalu. Tapi Rik enggan mengungkapkan identitas si empunya rumah. "Pemiliknya lagi ke luar kota."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah itu menjadi salah satu bukti berkembangnya bangunan bergaya arsitektur "jengki" di Indonesia. Gaya arsitektur tersebut populer pada 1950-1970-an di sejumlah kota di Indonesia, termasuk Jakarta. Ia dianggap sebagai kelanjutan dari gaya arsitektur art deco yang berkembang pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Arsitektur jengki bisa dibilang sebagai antitesis art deco, yang memiliki tata arsitektur jelas-misalnya dalam menyusun pola horizontal dan vertikal. Jengki justru tampil dengan gaya arsitektur yang unik, aneh, cenderung bebas, dan tanpa aturan.
Secara umum, rumah jengki memiliki dinding bagian tepi yang miring ke luar dan membentuk bidang segi lima. Ia juga disusun dengan dua bidang atap pelana yang tidak bertemu dan tidak punya bubungan. Kemiringan atap pun agak curam dengan sudut atap kurang-lebih 35 derajat. Di luar itu, gaya jengki memiliki banyak variasi menonjol. Misalnya, memiliki atap datar untuk teras atau beranda yang disangga tiang besi berbentuk V, menggunakan kerawang sebagai lubang ventilasi, serta menggunakan bentuk kosen dan jendela yang tidak simetris. Dilihat dari luar, rumah jengki terkesan miring, meski interiornya tetap berbentuk kubus dengan dinding tegak dan langit-langit datar.
Fotografer asal Skotlandia, Tariq Khalil, pernah menelusuri riwayat rumah jengki di sejumlah wilayah Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul Retronesia: The Years of Building Dangerously, yang terbit Desember 2017, pria yang juga bekerja sebagai konsultan lingkungan itu mencatat rumah jengki di Jalan Sultan Hasanudin, Kebayoran Baru, sebagai classic townhouse yang dibangun oleh biro konsultan arsitektur Belanda, Job & Sprey, pada 1954. Ia menduga pemiliknya adalah orang kaya pada masanya. "Rumah itu menjadi aset mewah pada 1950-an," ujar Tariq, Selasa tiga pekan lalu.
Rumah di Jalan Sultan Hasanudin sebenarnya meniru konsep perumahan jengki yang sudah ada di sepanjang Jalan Pakubuwono VI, Kebayoran Baru. Budi Sukada, bekas pengajar arsitektur Universitas Indonesia yang pernah mendalami arsitektur jengki, mengatakan perumahan jengki di Jalan Pakubuwono VI dibangun oleh Job & Sprey pada awal 1950-an. Perusahaan minyak Belanda, Bataafsche Petroleum Maatschappij, setelah dinasionalisasi menjadi PT Pertamina, menggagas kompleks perumahan itu sebagai tempat tinggal untuk para pejabat perusahaan. "Gaya arsitekturnya lalu diikuti orang-orang kaya yang ingin membangun rumah," ucapnya, Rabu pekan lalu.
Pemilihan Kebayoran Baru sebagai lokasi kompleks perumahan jengki tak lepas dari rencana Sukarno yang ingin memenuhi kebutuhan permukiman warga Jakarta pasca-kemerdekaan. Ia ingin kawasan Kebayoran Baru seluas 730 hektare menjadi kota satelit dengan konsep kota taman yang asri, sejuk, dan hijau. Pada 1948, arsitek legendaris Mohammad Soesilo merancang pembangunan Kebayoran Baru dengan mengadaptasi kota taman bergaya Eropa seperti yang dikembangkan arsitek Belanda, Herman Thomas Karsten, di Bogor dan Bandung, Jawa Barat, serta Malang, Jawa Timur.
Hingga kini, rumah-rumah jengki itu masih berdiri tegak di Jalan Pakubuwono VI, terutama di sekitar kawasan Taman Martimbang IV. Sejumlah rumah masih berfungsi sebagai tempat tinggal, sementara beberapa yang lain telah berubah fungsi menjadi kantor atau tempat usaha. Rumah-rumah legendaris itu tetap eksis kendati berbagai bangunan modern berupa perumahan, apartemen, mal, dan gedung perkantoran menjamur di Jakarta, yang pada 22 Juni lalu memasuki usia 491 tahun.
NAMA jengki ditengarai berasal dari kata "Yankee", sebutan untuk orang-orang New England yang tinggal di bagian utara Amerika Serikat atau mereka yang lahir dan tinggal di bagian utara Amerika Serikat. Pada 1970-an, istilah jengki digunakan di Indonesia untuk merujuk pada berbagai hal yang dianggap keluar dari mainstream. Misalnya celana jengki, sepeda jengki, atau mebel jengki. Penamaan itu tak lepas dari "gerakan" anti-Amerika yang sebelumnya digaungkan Sukarno. "Waktu itu semua yang aneh dan extraordinary disebut jengki," kata Budi Sukada.
Istilah jengki kemudian dipakai untuk gaya arsitektur unik dan aneh yang muncul pada awal 1950-an di Indonesia. Gaya arsitektur itu disebut jengki, yang dianggap keluar dari pakem arsitektur kolonial bergaya art deco-yang melandasi gaya arsitektur modern Indonesia-sekaligus berbeda dengan gaya arsitektur tradisional Indonesia. Budi mengatakan gaya jengki muncul pertama kali ketika Job & Sprey membuat kompleks perumahan Bataafsche Petroleum Maatschappij di Jalan Pakubuwono VI, Kebayoran Baru. "Bentuknya yang aneh membuat rumah itu menjadi elite," ujar mantan Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) itu. "Orang-orang kaya yang ingin dianggap elite meniru gaya itu."
Bentuk rumah jengki yang unik dan aneh bukan tanpa alasan. Menurut Budi, bentuk rumah itu sebenarnya merupakan solusi terhadap permasalahan teknis bangunan, terutama untuk talang pada atap rumah. Biasanya talang dibuat horizontal dengan sedikit miring. Itu membuat kotoran kerap tersangkut di sambungan atau tekukan talang sehingga menghambat laju air. Jengki mengubahnya dengan kemiringan maksimal guna memperlancar aliran air. Beberapa bagian bangunan kemudian menyesuaikan kemiringan talang tersebut, sehingga terciptalah rumah bergaya jengki. "Ini solusi rasional untuk permasalahan teknis yang dibuat dengan estetika," ucapnya.
Pada mulanya rumah-rumah di Jalan Pakubuwono VI tak disebut sebagai bangunan dengan gaya arsitektur jengki. Peneliti arsitektur jengki IAI sekaligus koordinator komunitas Arsitektur Jengki Indonesia, Mohammad Cahyo Novianto, pernah mewawancarai Kwee Hin Goan, yang kini tinggal di Belanda. Kwee salah seorang pendiri IAI yang pernah bekerja dengan Job & Sprey dan terlibat dalam proyek pembangunan perumahan jengki di Jalan Pakubuwono VI. Dalam wawancara di Belgia pada akhir tahun lalu itu, Kwee menyatakan para perancang perumahan itu tak pernah menyebut kata "jengki". "Disebut arsitektur modern saja," kata Cahyo, Selasa pekan lalu.
Dari hasil penelusuran sejumlah rumah jengki dan arsip-arsipnya, Tariq Khalil menyimpulkan arsitektur jengki di Indonesia muncul lantaran para perancang Belanda terpengaruh oleh gaya arsitektur rumah-rumah masyarakat kelas menengah di California, Amerika Serikat, pada 1930-1940-an. Pada akhir 1940-an dan awal 1950-an, gaya California itu diserap para perancang Belanda yang masih tinggal di Indonesia hingga akhirnya menjadi rumah jengki. "Di Amerika, rumah itu untuk kelas menengah, sementara di Indonesia menjadi budaya kaum elite," ujarnya.
Kesimpulan itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru karena sudah lama menjadi diskusi di kalangan arsitek Tanah Air. Ia merupakan satu dari dua penjelasan yang mengemuka tentang kemunculan rumah jengki di Indonesia. Selain pengaruh Amerika, semangat kebebasan pasca-kemerdekaan menjadi satu penjelasan lain mengenai munculnya rumah jengki. Dalam arsitektur, semangat itu diwujudkan melalui rumah yang berupaya lepas dari gaya berbau kolonial dengan art deco-nya. "Bahasa arsitektur jengki kan memperlihatkan kebebasan," ucap arsitek sekaligus pemerhati sejarah, Budi Lim, Senin pekan lalu. "Arsitektur itu mencerminkan nilai-nilai masyarakat pada masanya."
Gaya arsitektur jengki terus tumbuh sejak pertama kali muncul di Jalan Pakubuwono VI pada awal 1950-an. Para aneemer-sebutan untuk ahli bangunan atau arsitek merangkap kontraktor-meniru bentuk jengki untuk kemudian dibangun di tempat lain. Menurut Mohammad Cahyo Novianto, rumah jengki juga ditemukan di sejumlah kota pada pertengahan 1950-an hingga awal 1970-an, antara lain Lampung, Balikpapan, Pulau Madura, dan Makassar. Bahkan rumah jengki juga bermunculan di banyak kota kecil atau kabupaten di berbagai wilayah Indonesia. "Arsitektur jengki cukup populer pada masa itu," katanya.
Pemilik rumah jengki adalah orang-orang berduit pada zamannya. Ketika itu keberadaan rumah jengki pun seolah-olah menjadi simbol kekayaan bagi pemiliknya. "Ini soal elite interest. Rumah jengki adalah bentuk gengsi pada masa itu," ujar Tariq Khalil. Tangan-tangan si empunya itulah yang kemudian memunculkan berbagai variasi bentuk dan motif rumah bergaya arsitektur jengki di Indonesia. "Ada campur tangan pemilik dalam proses pembuatannya. Contohnya ingin mengganti model pintu atau jendela."
SEJAK 2008, komunitas Arsitektur Jengki Indonesia dan Jaringan Arsip Arsitektur Indonesia melakukan penelitian tentang rumah bergaya arsitektur jengki di Indonesia. Tujuannya, mendokumentasikan sekaligus membuat arsip tentang arsitektur jengki. Mulanya mereka bergerak secara mandiri, tapi belakangan juga didampingi Ikatan Arsitek Indonesia. Kendati belum tuntas, penelitian itu telah menelusuri rumah jengki di 34 kabupaten/kota yang tersebar di 24 provinsi di Indonesia.
Beberapa tempat yang sudah diteliti antara lain Pulau Madura; Majalaya, Jawa Barat; Pekalongan, Kudus, dan Semarang, Jawa Tengah; serta Malang, Jawa Timur. Di Madura, komunitas itu menemukan fakta rumah-rumah jengki di sana adalah kepunyaan para juragan tembakau. Dari fakta itu, mereka kemudian menelusuri alur perdagangan tembakau untuk mengetahui alasan dan asal-usul dibangunnya rumah jengki di Madura. "Ternyata pemiliknya terinspirasi rumah jengki bos tembakau di kota lain," kata koordinator komunitas itu, Mohammad Cahyo Novianto.
Pada 1960-1970-an, bukan hal yang mustahil bagi para juragan tembakau untuk membangun rumah jengki. Sebab, ketika itu memang mereka dikenal tajir. "Rumah jengki melambangkan status sosial mereka. Orang kaya kan kadang-kadang perlu identitas," ujar Cahyo. Sama halnya dengan di Madura, rumah jengki di Kudus, Semarang, dan Malang dimiliki para bos tembakau. Adapun di Pekalongan dan Majalaya, rumah-rumah jengki menjadi milik para juragan kain tenun atau batik. "Menarik karena persebaran rumah jengki ternyata dipengaruhi faktor perdagangan."
Rencananya komunitas itu juga bakal mendalami rumah-rumah jengki yang pembangunannya merupakan inisiatif perusahaan minyak Belanda, Bataafsche Petroleum Maatschappij, yang belakangan menjadi PT Pertamina. Selain di Kebayoran Baru, Jakarta, kompleks perumahan jengki tersebut ada di Balikpapan, Kalimantan Timur; serta Pangkalan Susu dan Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. Semua kompleks perumahan itu hingga kini masih ada. "Ini menjelaskan adanya faktor perusahaan yang berkontribusi terhadap persebaran rumah jengki," ucap Cahyo.
Temuan penting lain dari penelitian tersebut adalah fakta penamaan untuk rumah bergaya arsitektur jengki justru berbeda-beda di setiap tempat di Indonesia. Ada yang menyebutnya rumah nyentrik, rumah gedong, rumah orang kaya, atau bahkan rumah juragan. "Masyarakat yang menggunakan gaya arsitektur itu sebagian besar tidak mengenal istilah rumah jengki," ujarnya.
Prihandoko
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo