KETIKA kebebasan diri terkungkung di bawah genggaman kekuasaan, maka tiada lain kecuali melarikan diri dari kenyataan. Betapa panjang jalan sejarah kaum pelarian. Bahkan Kitab Perjanjian Lama mencatat pelarian terbesar dalam sejarah. Yaitu tatkala bangsa Israel keluar dari cengkeraman diktatorial Raja Firaun dari Mesir. Inilah pelarian terlama, 40 tahun, menuju "tanah yang dijanjikan". Ironisnya, pemimpin eksodus tadi, Nabi Musa, tak sempat menikmati akhir perjalanan yang melelahkan itu. Berabad-abad kemudian sengsara bangsa Yahudi tak juga selesai. Ketika Adolf Hitler dengan Nazi-nya berkuasa, maka dimulailah program perrlusnahan bangsa Yahudi. Seperti yang ditulis dalam Mein Kampft, ia menginginkan kemumian bangsanya, sebagai keturunan ras Aria. Beserta dengan meletusnya Perang Dunia II, bermulalah kisah-kisah pelarian bangsa Yahudi dari daerah-daerah pendudukan Jerman di Eropa. Tidak ada jalan lain memang, karena kamp-kamp konsentrasi dengan kamar gasnya siap menjemput nyawa mereka. Dan kemudian Berlin, setelah Perang usai. Pada mulanya adalah sebuah tembok setinggi 4,5 meter sepanjang 45 kilometer sebagai batas fisik yang memisahkan kedua wilayah administratif, Berlin Barat dan Berlin Timur. Sejak Agustus 1961, tembok berkawat duri dengan menara penjagaan itu hanya menyediakan satu pintu yang dijaga ketat pasukan Jerman Timur dan Soviet. Sebelum batas itu ada, tercatat 25.000 orang minggat dari Timur ke Barat. Menurut pihak Timur, Tembok itu untuk menjaga agar warga Barat tetap di tempatnya. Alasan yang sesungguhnya, Tembok itu dimaksudkan menjaga agar warga Berlin Timur tak menyeberang ke Barat Toh, adanya Tembok tak, menghalangi mereka yang mencoba mencari kebebasan meski harus menanggung risiko. Dan bermacam akal dicari untuk melewati Tembok dengan selamat. Pernah seorang mencoba peruntungannya dengan sebuah pesawat kecil. Ada pula yang mencoba balon gas. Yang lain menggali terowongan. Sebagian berhasil, sebagian lagi hanya Tuhan yang tahu nasibnya. Yang jelas, adanya Tembok memang mengurangi minat para penyeberang. Dari 1961, setelah Tembok berdiri, hingga tahun lalu tercatat hanya 5.000 warga Berlin Timur sukses menyeberang ke Barat. Dan ternyata bukan cuma penyeberangan dari Timur ke Barat yang terjadi. Juga sebaliknya. Memang, yang sebaliknya ini umumnya bukan orang biasa. Misalnya anggota dinas intel Hans Joachim Tiedge tercatat sebagai pembelot besar bagi pihak Jerman Barat pada 1985. Kemudian masih ada lagi Herta-Astrid Wilner yang menjabat sebagai sekretaris pada kantor Kanselir Helmut Kohl. Sungguh berat dosa yang harus mereka pikul. Sebab, bersamaan dengan "kepergian" mereka, hilanglah jejak penyelundupan dokumen dan informasi rahasia negara ke pihak "lawan", yang bertahun-tahun mereka lakukan. Perbuatan serupa sudah bukan hal baru di Jerman. Otto John, kepala dinas kontraintelijen, sudah melakukannya pada tahun 1954. Penguasa di Berlin Timur tampaknya memang bangga dengan Tembok itu. Tahun lalu, ketika ulang tahun ke-25 berdirinya Tembok, pihak Timur mengadakan perayaan: ada parade militer, bahkan diterbitkan prangko peringatannya. Seorang pejabat di kantor turisme Berlin Timur dengan bangga mengatakan kepada wartawan Time, "Sejak Tembok dibangun, ekonomi kami berkembang baik, hubungan dengan Jerman Barat tambah stabil, dan ancaman perang tiada lagi." Toh, impian sebagian besar orang Berlin adalah bersatu kembalinya kota terbelah ini. "Ketika Tembok itu didirikan, tak seorang pun yang percaya bahwa Berlin akan tetap terbagi dua," kata Presiden Jerman Barat Von Weizsacker - pernah menjadi wali kota Berlin Barat, dan dialah pejabat pertama yang pernah berunding dengan Erich Honecker, Ketua Partai Komunis Jerman Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini