MATHIAS Rust mendarat di Lapangan Merah, Moskow, bukannya untuk minta suaka politik. Pemuda Jerman Barat berusia belasan tahun itu, sejauh ini melakukan aksi yang sungguh mengejutkan itu konon cuma untuk gagah-gagahan. Toh, disengaja atau tidak, akibat polah Rust itu, dunia dipaksa untuk kembali menyadari setelah sekian lama soal ini seperti dilupakan bahwa sebuah negeri yang semula satu terbelah dua semenjak akhir Perang Dunia II. Dan itu tak cuma berarti terbelahnya wilayah, tapi juga terpisahnya sanak-saudara antara mereka yang berfamili yang dulu kebetulan tinggal terpisah-pisah di kota-kota yang kemudian menjadi bagian dari dua negara yang tak cuma berbeda, tapi secara ideologis "bermusuhan". Di satu pihak, Republik Federal Jerman populer disebut Jerman Barat, yang berdiri di blok Barat. Di pihak lain, Republik Demokrasi Jerman lazim disebut Jerman Timur, masuk blok Timur. Dan, tentu saja, contoh keterbelahan paling nyata ada di Berlin, bekas ibu kota Jerman, yang di peta buatan setelah tahun 1945, terbagi dalam empat wilayah administrasi: yang dikuasai Prancis, AS, Inggris, dan Uni Soviet. Kota itulah yang tahun ini mencapai usia 750 tahun. Dan, baik Berlin Barat maupun Timur merayakannya secara terpisah. Di Barat, dilangsungkan akhir April lalu, yang gemanya masih terasa di jalanjalan di kota itu: poster-poster 750 tahun Berlin masih terpampang. Di Timur, perayaan itu lebih dahulu dilangsungkan, pada Januari, sementara gemanya - menurut seorang pengunjung yang sehari berada di Berlin Timur Mei lalu - tak tercium lagi. Rust, yang mendarat dekat Kremlin dengan Cessna-nya, akhir Mei lalu, tentunya bukan salah satu dari acara perayaan 750 tahun Berlin. Tapi ia mencerminkan degup hati sebagian warga Berlin - baik di Barat maupun Timur - yang didengar dan kemudian dituliskan oleh John Ardagh, penulis buku Germany and the German, di majalah The Sunday Times Magazine, pertengahan April lalu. Ardagh menulis, keadaan di Berlin Barat kini yang kalem-kalem saja justru mencemaskan sebagian orang Jerman. Sebab dengan demikian, dunia akan lupa bahwa dua negeri itu sebenarnya satu. * * * Secara resmi, dua Berlin itu merayakan ulang tahun ke-750-nya sendiri-sendiri. Masing-masing mencoba meyakinkan dunia internasional bahwa dia-lah yang sesungguh-sungguhnya Berlin, sementara "kembaran"-nya bukan. Dan Berlin, tulis John Ardagh, terasa tetap abnormal dengan tembok pemisahnya. Di sisi wiilayah Jerman Timur dijaga ketat oleh tentara yang siap mengosongkan kotak amunisinya bila terlihat penyeberang yang nekat. Sementara itu, Berlin Barat, bagaimanapun, dirasakan oleh warganya sebagai kota yang secara resmi "diperintah" oleh peraturan militer Sekutu. Tapi, sementara itu, warga Berlin Barat, terutama, rupanya makin lama makin menjadi akrab dengan situasi dan kondisi kejanggalan kotanya. Mereka tak lagi ambil pusing dengan Tembok Berlin yang sama sekali mengurung kota (atau setengah kota?) seluas sekitar setengah dari DKI Jakarta atau hampir 300 km (lebih dari separuh wilayah Berlin seluruhnya) itu. Mereka tak lagi merasa sesak dengan tembok itu. Memang ada sebabnya. Wajah Berlin sebagaimana dikembangkan mulai akhir abad ke-19 secara prinsipiil tak berubah. Jalanjalan masih lebar, dengan taman-taman yang cukup luas. Dan Berlin Barat-lah kini dari seluruh kota di dunia yang menyimpan hutan terluas: hampir 25 km2 hutan pinus dan hutan pepohonan yang lain tumbuh subur. Lalu kanal, sungai, danau, tanah pertanian tersebar di mana-mana. Ardagh menulis, "Pemandangan alam Berlin mirip lukisan Desa Suffolk karya Constable." Pemandangan yang hijau, sedikit berkabut, padang rumput yang luas, gerombolan pepohonan yang subur. Conslable, pelukis Inggris yang hidup di abad ke-19, memang diakui piawai merekam keindahan alam. Dan bila Berlin Barat memang sebanding lukisan pelukis itu, Tembok Berlin setinggi 4,5 meter yang mengurungnya memang boleh diluakan. Padahal, dulu, di masa sesudah perang, Berlin seolah tanpa masa depan. Pabrik-pabrik berdiri memang, tapi tanpa harapan. Bau neraka perang masih tercium kala itu. Maka, bangkit kembalinya Berlin Barat dirasakan oleh banyak orang sebagai "keajaiban ekonomi". Sementara perasaan bersyukur mulai berkembang. muncullah itu, pada 1961, tembok pemisah yang merenggutkan sanak famili dan sahabat. Dengan kondisi dan sebab yang berbeda, perasaan murung kembali menyelimuti udara Berlin. Tahun 1960-an dicatat dalam lembaran sejarah Berlin sebagai tahun kesedihan dan kesepian. Nyaris kebanggaan sebagai warga kota Berlin tiada lagi. Adalah John F. Kennedy, Presiden AS kala itu, berkunjung ke Berlin Barat, dan ucapannya, yang membesarkan hati warga Berlin, terkenal hingga kini, "Ich bin ein Berliner," - Saya seorang wara Berlin. Baru setelah ditekennya Perjanjian Empat Kekuasaan (AS, Inggris, Prancis, dan Uni Soviet), pada 1971, atas upaya Kanselir Willy Brandt dimungkinkan kemudahan berkunjung ke Berlin Barat dan sebaliknya. Meski kemudian, pihak Uni Soviet secara diam-diam dan sepihak tak lagi menaati perjanjian tersebut. Betapapun, dibandingkan dengan keadaan tahun 1945 atau 1914 - akhir Perang Dunia II dan awal Perang Dunia I - kata seorang warga Berlin Barat, "Dengan mengesampingkan sejumlah kesulitan, kota ini kini sebenarnya lebih bahagia, lebih aman, dan warganya lebih percaya diri." Sebagai kota yang masuk wilayah Jerman Barat tapi berada di tengah wilayah Jerman Timur, Berlin Barat memang menjadi unik sekaligus menjadi taruhan bagi Jerman Barat. Bila secara ekonomis Berlin Barat terlihat makmur, itu karena kota ini tetap mendapat subsidi cukup besar dari Bonn tahun ini, setengah anggaran Berlin Barat dipikul oleh ibu kota. Ditambah dengan fasilitas-fasilitas tertentu, antara lain pajak yang lebih rendah dibandingkan pajak di kota-kota lain di Republik Federal Jerman, pertumbuhan industri di kota terbelah ini menjadi pesat, melebihi ratarata pertumbuhan industri Jerman Barat. Lapangan kerja yang semula langka, kini terbuka luas. Nixdorf, perusahaan komputer raksasa, baru saja membuka lapangan kerja bagi 6.000 orang. Tak pelak lagi, kota yang semula tumbuh sebagai kota budaya kini mengambil arah ke pengembangan teknologi tinggi. Pada awal 1960-an sarana budaya dibangun. Gedung Opera Berlin Barat diresmikan, dan kata Willy Brandt, wali kota waktu itu, 'Kita akan membikin Berlin menjadi pusatnya Jerman." Lalu menyusul Gedung Philharmonic, gedung Akademi Kesenian yang baru, gedung Perpustakaan yang baru, gedung galeri yang baru. Efek perubahan arah pembangunan itu memang nyata ada. Sejak 1961 populasi di Berlin Barat terus menurun. Waktu itu, tercatat warga Berlin Barat sekitar 2,3 juta. Pada 1985, tinggal 1,9 juta - jumlah ini akan lebih rendah bila emigran Turki yang subur itu tak ikut dihitung. Tapi pada 1986 lalu, untuk pertama kalinya, populasi Berlin Barat naik sekitar 16.000. Akibat pembangunan, kini tak lagi banyak warga Berlin yang pindah ke AS atau ke negara Eropa yang lain. Kata seorang yang bekerja untuk Senat, "Kota ini tempat yang bagus untuk menciptakan karier dan mencetak uang. Anak-anak muda tak lagi tergoda pergi ke Barat mereka tahu. Berlin menjnanjikan masa depan yang cerah." Berlin Barat memang bukan lagi kota tua, yang warganya sebagian besar berusia di atas 50 tahun. Dan karena warga kota ini dibebaskan dari wajib militer, banyak pula anak-anak muda yang berurbanisasi ke Berlin Barat. Seorang eksekutif sebuah perusahaan bercerita kepada John Ardagh. Dulu, ketika ia menjual rumahnya di Ruhr - kota yang kini jadi salah satu jantungnya industri berat Jerman Barat - dan pindah ke Berlin Barat. teman-teman dan tetangganya terheran-heran. Kini, eksekutif itu disalami oleh famili dan kenalan-kenalannya sebagai orang yang punya pandangan ke depan. Dan banyak orang kini mengikuti jejak langkah dia. Memang, Berlin Barat belum seanggun Munich, kota teater. Dibandingkan dengan kota yang cemerlang itu, kota "terkepung" ini tampak suram dengan perumahannya yang masih kisruh. Tapi kota ini menyimpan potensi untuk kembali menjadi kota besar sebagaimana dulu layak menjadi ibu kota Jerman. Masyarakatnya yang tidak konvensional, lebih tidak materialistis dibandingkan dengan warga Jerman Barat umumnya, dan lebih mudah menerima hal-hal baru, menyebabkan Berlin Barat menjadi kota garda depan bagi kesenian, dan kota alternatif bagi sektor kehidupan yang lain. Dengan singkat, Berlin Barat adalah kota inovasi budaya dan percampuran sosial, sekali-sekali kota kekerasan juga. Berlin adalah kota tengah malam juga. Hingga pukul dua malam, ketika banyak kota di Jerman Barat telah lelap, di jalan utama Berlin Barat. Kurfurstendamm, masih berjejal-jejal orang Warung-warung minum dan warung makan masih penuh pengunjung. Di situlah warga Berli menikmati masakan khas desa Jerman eisbein (kaki babi). Setelah itu, mereka mungkin menbasuh tenggorokan dengan Berliner Weisse, bir putih yang ringan yang dicampur dengan beberapa tetes sirup merah atau hijau. Orang Berlin Barat kini lebih mendekati orang Prancis. Mereka suka mengoceh, tajam bicaranya, suka mengejek dan berolok-olok, tangkas menjawab. Umpamanya, mereka suka sekali memberikan julukan buat gedung-gedung megah. Sebuah bangunan gereja lama yang tinggi kurus mereka sebut "Gigi yang menyeringai". Sementara gereja baru, yang dibangun setelah perang, di dekatnya dinamakan "Kotak Pupur". Ini berbeda dengan citra umum orang Jerman. Dan memang, warga Berlin berbahasa Jerman dengan dialek yang khas. Dan kini, ketika Berlin Barat menjadi seolah pulau yang terpencil dari induknya, mereka suka menyebut diri sebagai "orang pulau". Mereka yang pertama kali menelusuri jalan-jalan di Berlin Barat akan kaget. Di kota ini, lampu lalu lintas sangat cepat berganti warna. Mungkin, ini sebabnya para penyeberang jalan tak mau menunggu lampu hijau. Sementara Munich memiliki orkes terbesar yang dipimpin oleh Herbert von Karajan dan gedung teater terbaik di seluruh Jerman, Berlin Barat boleh bangga dengan 7.000 penulis dan lebih dari 1.000 musikus rock yang ber-KTP Berlin. Lalu sebuah bangunan, Haus Bethanien namanya, dikenal sebagai tempat pameran para senirupawan garda depan. Berlin Barat pulalah kini sebagai kota wadam terbesar di Republik Federal Jerman. Seorang pembuat film cukup terkenal menyebut dirinya sebagai Rosa dari Praunheim. Ia dikenal sebagai "ratu"-nya para wadam. Bersamaan dengan perayaan 750 tahun kotanya ia mempersiapkan sebuah festival untuk mengumpulkan dana buat korban AIDS. Pemandangan yang lain ada di kawasan Kreuzberg. Sederetan tempat tinggal yang kumuh berada di samping Tembok Berlin. Di situlah kaum punk dan pecandu narkotik hidup berdampingan dengan para intelektual urakan dan sejumlah idealis, yang mencoba membangun ekonomi dalam lingkungan kecil tersebut. Di Kreuzberg tercermin satu sikap yang romantik. Tembok Berlin di situ dicoret-coret dengan grafiti yang menyindir kehidupan sosial. Lalu, sebuah bangunan pabrik yang tak dipakai lagi, Mehringhof namanya, dikuasai oleh "kelompok rahasia", diubah menjadi toko uegetanan, toko sepeda, kantor penerbitan, dan sebuah sekolah taman kanak-kanak. Semuanya saja dipertahankan agar tampak kumuh, sebab begitulah sikap kelompok Kreuzberg itu. Sejak dua atau tiga tahun lalu, kelompok urakan itu mendapat bantuan yang cukup besar dari pemerintah. Kini, beberapa kelompok mempunyai klinik pengobatan sendiri. Yang lain menjalankan usaha sosial menolong orang-orang jompo. Memang, bantuan itu, sama sekali tak mengikat, diserahkan kepada kelompokkelompok itu untuk usaha yang sesuai dengan "ideologi" mereka. Tak ada niat sama sekali untuk mengubah kawasan kumuh tersebut. "Mereka justru memberi warna pada kehidupan kota ini, dan itu bisa mendatangkan turis," kata seorang anggota partai CDU. "Lain daripada itu, mereka mernbuka lapangan kerja juga." Bagaimanapun, bantuan itu "menjinakkan" kelompok-kelompok urakan atau militan itu. Sebagian dari mereka kini bersedia bekerja sama dengan kelompok sosial yang "normal". Mereka tak lagi semilitan, taruhlah, 10 tahun yang lalu. Bahkan, sebagian lagi berkecimpung dalam dunia bisnis yang wajar. Tinggallah Mehringhof terkucil sendiri dalam perubahan. Dulu bangunan itu menjadi pusat para pemimpin kelompok, tapi kini tinggal menjadi kediaman para drop out. Be kas pabrik itu menjadi hanya "Pusat Penasihat bagi yang Ditolak Masyarakat". Dan kebijaksanaan itulah yang ditempuh di Berlin. Pada 1979-1982, misalnya, kaum kiri militan menduduki 170 apartemen kosong. Upaya polisi mengusir mereka hanya menyebabkan peristiwa itu muncul sebagai headline di koran-koran. Dan ini memberikan citra buruk bagi Berlin Barat. Akhirnya, perundingan mencapai happy ending. Sebagian besar penyerobot setuju membayar kontrak semurah mungkin. Dan, untuk itu pemerintah kota bersedia mengecat, memperbaiki atap, dan mengganti dinding apartemen kosong itu. Satu propaganda pembangunan kota yang langsung dan nyata. Adakah itu merupakan kemenangan pihak militan? Seorang mahasiswa - satu dari sekelompok yang mendiami salah satu apartemen di Kreuzberg - bilang, "Apakah ini kemenangan moril atau kekalahan? Kami mendapatkan perumahan murah, dan kami membuktikan bahwa gedung-gedung tua ini ternyata masih layak didiami. Tapi, kami harus kompromi dengan sistem borjuis yang kami benci. Kami terikat kontrak, dan kontrak itu rupanya telah membuat kami diam. Saya sendiri tidak begitu peduli, saya bukan seorang politikus lagi." Lalu, mahasiswa itu menunjukkan tanah lapang yang dirapikan lagi, sebuah sekolah taman kanak-kanak yang necis, dan sebuah lukisan dinding yang dilukis oleh para penghuni. Semuanya jauh berbeda dengan wajah Mehringhof yang suram itu. Kreuzberg Barat adalah sebuah lanskap kota yang mungkin merupakan kontras dari selera Berlin umumnya. Biasanya, bangunan di Berlin Barat tinggi, geometris, dan bersih. Pemandangan di Kreuzberg jauh dari itu. Distrik kuno tempat tinggal para pekerja ini jalannya sempit-sempit, rumah-rumahnya tua dan rendah. Suasananya memang mirip sebuah perkampungan di negeri Timur Dekat. Dari jendela-jendela rumah yang terdengar adalah musik Timur yang benar-benar timur - bukan cuma gubahan seperti komposisi Tari Tujuh Wanita Berkerudung karya komponis Jerman, Richard Strauss, yang diwarnai musik Arab itu. Mula-mula pemerintah memang berniat membangun Kreuzberg. Tapi para emigran Turki rupanya lebih senang mendiami bangunan-bangunan lama, yang sebagian tinggal puing karena Perang Dunia II. Orang-orang Turki itu merasa kerasan di rumah-rumah yang kamarkamarnya mirip gua, yang pergaulan sosial sehari-hari menjadi, mau tak mau, akrab karena pintu-pintu rumah berdempetan. Memang ada alasan lain mengapa Kreuzberg tak dibangun. Adalah harapan bersatu kembalinya Berlin yang menunda pembangunan distriktua ini. Orang-orang Berlin Barat berpikir, pembangunan kawasan itu haruslah harmonis dengan kawasan yang kini berada di timur Tembok. Toh, guna merayakan ulang tahun kota ke-750 kini, Kreuzberg pun sedikit diubah. Gedung Gropius yang runtuh kini dibangun kembali dengan biaya mahal. Di sinilah sejarah Berlin dipaparkan lewat sebuah pameran besarbesaran. Sekolah serta perkantoran yang baru pun dibangun oleh 40 arsitek yang khusus ditugasi memoles Kreuzberg. Sementara itu, di balik Tembok, Berlin Timur pun mencoba memperingati ulang tahun ke-750 dengan lebih mengesankan. Di belahan kota inilah peninggalan istana lama, gedung-gedung kementerian, dan monumen-monumen, berada. Itu sebabnya Berlin Timur merasa lebih berhak memperingati ulang tahun kini - meski penduduknya cuma lebih sedikit dari separuh penduduk Berlin Barat. Pembangunan kembali di kawasan Unter den Linden benar-benar mencolok mata, mencerminkan ambisi orang-orang di balik pembangunan ini untuk menunjukkan bahwa inilah kota modern. Gedung Opera yang kena bom dibangun kembali. Demikian juga sebuah katedral di dekatnya. Dan, sebagai imbangan bangunan kuno itu, didirikanlah sebuah gedung modern berwarna kaca, dan menara TV menjulang tinggi. Pokoknya, pantaslah Berlin Timur menjadi ibu kota Republik 13emokratik Jerman. Tepi Sungai Spree kini bersih dari rerumputan. Di sebuah sudut jalan, dibangun toko-toko perhiasan dan rumah makan. Dan kawasan sekitar Platz der Akademie, dengan panggung teater dan dua gereja bersejarahnya, kini tampak anggun. Beberapa jalan pun kini dilicinkan. Tapi memang cuma itu. Sisanya, sebagian besar wilayah Berlin Timur tetap tampak suram. Pengunjung yang baru pertama kali masuk Berlin Timur segera mendapatkan kesan sebuah kota yang hancur dan menyeramkan - lebih daripada kenyataan sebenarnya. Mengherankan, bahwa penguasa kawasan ini tak mencoba memberikan kesan baik kepada para pengunjung. Toh, di luar Berlin Timur, di Republik Demokratik Jerman ini, terdengar suara-suara cemburu: mengapa Berlin begitu diperhatikan, melebihi kota-kota yang lain. Untuk merias ibu kota yang merayakan ulang tahunnya itu, umpamanya, 50.000 pekerja didatangkan dari kota-kota lain. Dan, dibandingkan dua tahun lalu, Berlin Timur memang cukup bercahaya kini. Toko-toko penuh dengan berbagai macam barang, kabaretkabaret lebih berani mengemukakan cerita, rumah-rumah makan dan pub lebih tampak modern. Lebih dari semuanya, John Ardagh mendapat kesan bahwa orang-orang Berlin Timur kini lebih sering tersenyum dan ketawa dibandingkan ketika ia pada 1985 mengunjungi kota ini. Tampaknya, baik di Berlin Barat maupun di Berlin Timur, perayaan ulang tahun ke-750 ini dimanfaatkan sebagai semacam propaganda tak cuma untuk dunia intemasional, tapi juga propaganda buat warga Berlin sendiri. Dan ini kesempatan emas bagi Jerman Timur untuk mencanangkan kepada warganya, yang selama ini acuh tak acuh, bahwa negeri ini adalah serius, bukan cuma kambing congek. Karena itu, kesetiaan kepada negara dan bangsa adalah penting. Maka, toko-toko pun penuh dagangan--yang sebelumnya sangat terbatas. Festival kesenian melibatkan grup-grup dari 9 negara Timur dan 21 Barat, antara lain grup balet terkenal, dan dua orkestra dari London. Berlin Barat mengetengahkan La Scala di Milano, grup The Royal Ballet, Vienna Philharmonic di bawah dirigen kenamaan Bemstein, dan banyak lagi. Dan terdengar aneh, bahwa Opera Bolshoi dari Uni Soviet justru pentas di Berlin Barat, bukannya di Timur. Perayaan besar-besaran yang direncanakan sampai bulan September nanti ini menelan budget sekitar 85 juta (hampir Rp 250 milyar). Dari jumlah itu, 60% dibayar oleh Bonn. "Kami toh harus bersaing dengan perayaan di Berlin Timur," kata seorang anggota Senat. Tapi, sementara itu, ada yang menyangsikan, benarkah usia kota Berlin kini tepat 750 tahun. Pihak Nazi-lah, sebenamya, yang pertama-tama mengatakan tahun berdirinya Berlin itu. Kini di Berlin Timur ada usaha untuk membuktikan bahwa Berlin didirikan jauh sebelum abad ke-13. Terang, bila nanti hal ini jadi polemik, lebih sebagai gerakan politis daripada upaya keilmuan. Sebab, menjelang perayaan tahun lalu, pihak Berlin Barat telah mendekati saudara kembarnya untuk secara bersamasama memperingati hari jadi ke-750 tahun itu. Timur menolak. Sebab, bila tawaran itu diterima, berarti Berlin Timur mengakui eksistensi Berlin Barat. Padahal, selama ini Berlin Timur tak mengakui saudara kembarnya. Ini terlihat dari peta Berlin Timur yang dijual di toko-toko di kota itu, yang hanya mencantumkan putih kertas untuk wilayah Berlin Barat. Sementara peta buatan Berlin Barat mencantumkan secara detail wilayah Berlin Timur. Meski, mau tak mau, sebagian per.gunjung acara puncak kesenian di Berlin Timur tentulah warga Barat, dengan izin khusus. Toh, ini tak melunakkan pihak Timur. Umpamanya salah satu acara di Berlin Barat adalah balap sepeda Tour de France. Start akan dimulai di Berlin Barat, pada awal Juli bulan depan dengan dihadiri oleh Perdana Menteri Chirac. Tapi izin melalui daerah Jerman Timur sepanjang hampir 200 km tak diperoleh. Terpaksa, nanti, begitu rencananya, menjelang masuk wilayah Jerman Timur para pembalap akan diangkut dengan pesawat Air France. Tapl di balik perayaan kini, sebenarnya secara politis Berlin masihlah tetap berstatus sebagaimana di tahun 1945, ketika Jerman kalah perang. Di kota ini sebenarnya tak ada kedaulatan penuh bagi warganya yang belum jelas sebenarnya termasuk negeri mana. Memang, Jerman Timur oleh pihak Uni Soviet akhirnya diizinkan memasukkan Berlin Timur ke dalam pelukannya, bahkan disahkan sebagai ibu kota negeri sosialis ini. Sementara Berlin Barat yang dikuasai AS, Inggris, dan Prancis, yang sebagian besar anggarannya dipikul oleh Bonn, belum jelas benar benderanya - belum sepenuhnya kota ini menjadi wilayah Jerman Barat. Buktinya, paspor bagi warga Berlin Barat dibuat khusus, berbeda dengan umumnya warga Jerman Barat. Dan para Berliner itu tak punya hak memilih dalam pemilu Jerman Barat yang lalu Bahkan perusahaan penerbangan Jerman Barat Lufthansa tak punya jalur ke sini. Pelayanan penerbangan ke Berlin Barat dilaksanakan oleh pihak penerbangan sipil Sekutu. Seorang warga Jerman Barat bisa saja dalam sehari mendapatkan visa masuk ke Berlin Timur. Seorang pemegang paspor Berlin Barat harus menunggu setidaknya tiga minggu untuk memperoleh visa itu. Politik pintu terbuka Berlin Barat sering kali dimanfaatkan oleh Berlin Timur dengan nakal. Banyak emigran Tamil yang memanfaatkan penerbangan murah Aeroflot dan Interflug (perusahaan penerbangan Jerman Timur) untuk masuk ke Berlin Timur. Dan setelah itu, karena mereka bukan warga Berlin Timur, dengan gampang dilepaskan oleh para penjaga perbatasan untuk masuk ke Berlin Barat. Di sini mereka lalu minta suaka politik. Dalam dua tahun terakhir, 1985 dan 1986, tercatat lebih dari 3.000 penungsi pura-pura itu. Ulah pihak Berlin Timur bisa dilihat dari dua hal. Pertama, untuk melariskan penerbangan mereka. Kedua, untuk membuat Berlin Barat marah, lalu memperhatikan perbatasan. Bila kemudian Berlin Barat pun menerapkan sistem pemeriksaan bagi yang akan masuk dari Berlin Timur, ini berarti secara politis pihak Timur menang. Sebab, selama ini pihak Barat selalu mengecam keketatan kontrol pihak Timur. Barat memang tak terpancing. Dan memang pernah ada usaha merundingkan imigran gelap itu, setelah pihak Jerman Barat memberikan utangan kepada Jerman Timur. Dan kini memang hanya para pemegang visa Jerman Barat yang diizinkan melewati perbatasan para penjaga Berlin Timur. Itu resminya. Nyatanya, kini di kamp emigran gelap di Berlin Barat menunggu sekitar 10.000 orang Tamil dan bangsa Asia yang lain, menunggu pemeriksaan apakah mereka bisa tinggal di Berlin Barat atau harus dipulangkan ke negeri masing-masing. Itu sebabnya, dengan berbagai masalah yang dihadapi oleh Berlin Barat, terutama yang berhubungan dengan Berlin Timur, pihak Sekutu merasa masih harus menempatkan sejumlah tentaranya. Kini, tercatat ada 6.000 tentara AS di selatan, sekitar 2.800 tentara Prancis di utara, dan lebih kurang 3.500 tentara Inggris di tengah. Tentara Sekutu itu memang menyerahkan pengaturan kota sehari-hari kepada wali kota dan senat yang terpilih. Tapi tetap saja militer memegang kekuasaan yang besar. Bila dikehendaki, tentara bisa saja melakukan sensor surat-surat, bahkan menyadap telepon. Itu semua bisa terjadi karena di seberang Tembok - demikian pihak militer selalu mengingatkan - sejumlah tentara Uni Soviet bercokol pula. Satu kasus pada 1984 membuktikan betapa warga Berlin sebenarnya tak berdaulat penuh. Waktu itu pihak Inggris membangun satu lapangan tembak di daerah Gastow yang tenang. Pejabat setempat mencoba mencegah pembangunan itu, karena suara-suara dari lapangan itu telah menyalahi peraturan. Yakni, kebisingannya mencapai lima kali yang diperbolehkan. Upaya pencegahan itu gagal. Para pejabat Berlin Barat belum putus asa. Lalu mereka mengadukan soal itu ke Mahkamah Agung di London. Tapi jalan buntu juga yang ditemui. Jenderal Gordon Lennox, Komandan Inggris di Berlin waktu itu, dengan tegas mematahkan protes itu, "Saya adalah penerus Donitz, penguasa Berlin terakhir dari Kekai saran Ketiga, karena itu saya bisa melakukan apa saja yang saya inginkan." Tapi bagi generasi muda, terutama, yang tak mengalami masa kemelut sesudah Perang - ketika Berlin hanya puin, dan bagaimana tentara AS, Inggris, danPrancis melindungi penduduk sipil dari ulah pihak penguasa Berlin Timur - menganggap kekuasaan yang dimiliki tentara Sekutu adalah kekuasaan kolonial. "Ini sistem penjajahan militer lama, lebih buruk daripada penjajahan Inggris di India dulu," kata seorang pengacara muda Berlin Barat. Keberatan terhadap hadirnya tentara Sekutu itu memang terus terdengar, dan makin santer. Terutama karena ancaman dari pihak Uni Soviet di Berlin Timur kini terasa surut. Maka, il Wali Kota Diepgen dari Berlin Barat akhir-akhir ini makin berani berbicara tentang masa depan Berlin. Ia selalu memberikan dukungan terhadap aksi-aksi generasi muda yang menginginkan perubahan. Dan perubahan yang dikehendaki, antara lain, hubungan baru dengan pihak komunis. "Tentu saja kami tak bisa mengubah statuta sesudah Perang itu, dan sesungguhnya kami masih membutuhkan pihak Sekutu," kata Wali Kota Diepgen. "Tapi haruskah sejarah menjadi beku? Saya sungguh terganggu dengan pandangan pihak Sekutu bahwa Berlin harus terus-menerus dilindungi secara ketat. Selama ini, di dua Berlin, makin kuat kesadaran untuk tumbuh menjadi satu bangsa kembali. Kini kami berangkat berpikir dengan gagasan satu Berlin sebagai ibu kota bangsa Jerman. Kami harus menyiapkan tugas jangka panjang ini." Maka, bukanlah masa bertahun-tahun yang tak jelas dalam sejarah yang tak dinyatakan dalam perayaan ulang tahun ke-750 tahun Berlin. Tapi masa 40 tahun terakhir setelah Perang, masa kemenangan kebebasan demokratik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini