Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Jagoan dari demangan Kidul

Sri rahayu basuki, 17, secara mengejuntukan masuk 16 besar dalam kejuaraan prancis terbuka yunior. bisa menumbangkan sandra wasserman dari belgia, namun kalah oleh brenda schultz dari belanda.

13 Juni 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA yang belum kenal Yayuk Basuki? Gadis asal Demangan Kidul. Yoggakarta, yang belum genap 17 tahun ini, pekan lalu, secara mengejutkan berhasil masuk 16 Besar dalam Kejuaraan Prancis Terbuka Yunior. Dialah satu-satunya pemain Asia yang mencatat dua kali kemenangan dalam salah satu kejuaraan rangkaian grand slam ini. Bersama tujuh pemain Asia lainnya - tiga dari Filipina, masing-masing seorang dari India dan Pakistan, serta dua rekannya dari Indonesia - ia dibiayai Federasi Tenis Internasional (ITF) mengikuti dua turnamen bergengsi: Prancis Terbuka dan Wimbledon. Yang juga diundang ITF adalah Waya Walalangi dan Dede Suhendar. Daniel Heryanto berangkat atas biaya PB Pelti. Tapi mereka rontok di babak awal. Hanya Yayuk yang bertahan. Pada babak pertama, anak bungsu lima bersaudara keluarga Lettu (Pol) Budi Basuki ini sudah menumbangkan juara Afrika Barat asal Aljazair, Bouchabou, 6-3 dan 6-2. Pada babak kedua, anak kelas I SMA Ragunan ini juga membuat kejutan dengan menumbangkan Sandra Wasserman dari Belgia dcngan dua set. Padahal, Sandra turun bertanding ke tingkat yunior, karena sudah kaiah di tingkat senior. Sandra bahkan sudah menaklukkan unggulan ke-38 dunia, Gigi FEernandez, dari AS. Namun, Yayuk kemudian takluk di tangan pemain nomor satu Belanda, Brenda Schultz. Kekerasan pukulan dan kekuatan fisik anak 17 tahun Negeri Kincir Angin itu memaksa jagoan Ragunan ini menyerah. "Serve-nya yang keras sering bikin kaget. Variasi pukulannya juga lengkap," tutur Yayuk pada Sapta Adiguna, koresponden TEMPO di Paris, seusai kekalahannya. Tampil di partai ganda bersama petenis Filipina Jennifer Soberon, Yayuk harus mengakui keunggulan pasangan Prancis di babak awal. Mencapai 16 besar itu merupakan prcstasi terbaiknya selama ini. Pada 19X5, gadis berkulit hitam ini memang sudah ikut turnamen Wimbledon Yunior. Cuma, seperti kebanyakan pemain Asia, ia hanya tampil sekali dan kalah dari petenis Prancis, Niox Chateau, dalam pertarungan tiga set yang seru. Masih segar dalam ingatan, ketika Yayuk menyelamatkan muka Indonesia dengan merebut satu-satunya medali emas Asian Games 1986 di Seoul, Kor-Sel. Atas prestasinya itu, Siwo PWI Jaya dan DI Yogyakarta kemudian memberinya penghargaan sebagai atlet terbaik 1986. Sri Rahayu Basuki - nama lengkap Yayuh - memang dibesarkan dalam keluarga yang menyenangi olah raga tenis. Empat kakaknya pernah memperkuat DI Yogya dalam Pekan Olah Raga Nasional (PON). Malah di PON X di Jakarta - kejuaraan pertama yang diikutinya - Yayuk tampil bersama kakaknya, Mami, di nomor ganda. Bakat besar yang dibawanya makin terasah ketika ia memasuki SMA Ragunan. Prestasinya terus meningkat, dengan meraih berbagai gelar juara di tingkat nasional, ASEAN, dan internasional. Sukses Yayuk bisa jadi petunjuk adanya titik terang dalam program pengiriman pemain ke luar negeri. Sebab, ketinggalan kita memang agak jauh. Negara lain melangkah tiga kali, kita baru sekali," tutur Atet Wijono, pelatih tim yunior Indonesia. Mencari ilmu ke berbagai negara ini dinilai Atet tepat dan efektif. "Daripada kita berlatih sendiri atau masuk camp, lebih penting ikut turnamen begini," ujarnya. PB Pelti memang telah mencoba berbagai ara meningkatkan prestasi. Antara lain mngirim pemain ke Biil Tim Tennis Camp di Alabama, Amerika Serikat. Juga mendatangkan pelatih asing, di antaranya Tim sendiri, dan kini Kevin Mullins. Namun, sejauh ini, hasilnya belumlah memadai. Melanglang buana seperti Yayuk dkk. ini sudah dilakukan Atet Wijono, Gondowidjojo, Lanny Kaligis, dan Lita Soegiarto di tahun 70-an Hasilnya, Indonesia merajai cabang tenis di Asia. Pada Asian Games Teheran 1974, Lanny dkk. merebut medali emas. Lalu, pada AG ,Bangkok 1978, putra Indonesia meraih medali emas beregu dan Atet Wijono menyabet emas untuk tunggal. Rasanya, nlenilai sukses Yayuk sebagai sukses pembinaan yang dilakukan PB Pelti masih terlalu pagi. Lebih lagi, hanya Yayuk seorang yang "berbicara". Itu pun masih harus ditunggu prestasinya di turnamen yang lebih akbar, Wimbledon Yunior, 22 Juni mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus