Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Soekarno pernah ingin berkunjung ke rumah Friedrich Silaban, namun dicegah si empunya. ”Rumah saya gubuk,” begitulah kurang lebih Silaban beralasan. Pada saat itu, rumah miliknya di Jalan Gedong Sawah II/19, Bogor, memang masih sangat sederhana. ”Seorang maestro kok tinggal di gubuk. Apa kata dunia!” begitulah Soekarno menimpali.
Maka, seperti diceritakan David A. Sagita, salah satu koordinator proyek inventarisasi karya Silaban, sang arsitek hanya dalam semalam ngebut menggambar rancangan rumahnya. Seperti yang bisa dilihat hingga kini, rumah tinggal Silaban menampung semua prinsip arsitektur yang dianutnya: bentuk mengikuti fungsi, tropical—banyak bukaan besar—dengan atap yang sangat kokoh, lebar dan melindungi.
Tampak dari depan, rumah Silaban sangat terbuka. Pagarnya rendah. Bila tak ada pohon-pohon dan bunga yang ditanam istri Silaban, setelah suaminya meninggal, yang kini menjulang tinggi hingga menutupi wajah rumah, maka tampak rumah yang melebar.
Menurut Panogu Silaban, anak keenam Friedrich, rumah itu memang dibuat sangat terbuka, dibangun tanpa menghiraukan soal privasi. Pintu-pintu kamar misalnya dibuat berkaca dan tidak menggunakan plafon. Satu kamar ditempati berdua atau bertiga. Maklum, mereka adalah keluarga besar—Friedrich punya 10 anak, yakni 2 perempuan dan 8 laki-laki. ”Ayah saya selalu bilang, kalau mau privasi, nanti bangun rumah saja sendiri,” katanya.
Barangkali, gaya ”buka-bukaan” ini terpengaruh masa kecil Friedrich. Rumahnya di kampung hanya punya satu kamar tidur yang dipakai ramai-ramai. Toh, pria 50 tahun itu dan kesembilan saudaranya tidak pernah mempersoalkan masalah kehilangan privasi, bahkan saat mereka mulai beranjak dewasa. ”Kalaupun ribut, ya ribut-ribut kecil biasa saja,” katanya.
Yang khas, ada lempengan dinding beton berlapis batu kali yang tersusun vertikal yang dibangun 90 derajat melekat pada dinding rumah hingga tampak seperti sirip. Bilah-bilah itu berfungsi menangkap angin dan mengalirkannya ke dalam rumah. Setiap dinding yang menghadap ke luar memiliki bukaan-bukaan yang cukup besar, baik berupa jendela maupun lubang-lubang ventilasi udara.
Bagi Silaban, rumah-rumah dengan emper yang tidak luas dan terbuka bukanlah rumah Indonesia sesungguhnya. Menurut dia, bagian rumah yang terbukalah yang paling menyenangkan. Agar terhindar dari sengatan sinar matahari, Silaban ini tidak memasang dinding sebagai penghalang, tapi dengan membuat atap lebar hingga keluar dari garis dinding, seperti terlihat di beranda depan dan belakang. Dengan begitu, angin bisa bebas berhembus masuk, tapi terik sinar matahari tak tembus, dan air hujan tak menyerbu ke teras.
Tata ruangnya langsung menunjuk pada manfaat agar penghuni rumah yang banyak dapat ditampung dalam ruang yang terkesan longgar. Ruang-ruang tidur ada di deretan belakang, berhadapan dengan ruang kerja di depannya, dibatasi koridor. Ruang tamu, ruang keluarga, garasi, dapur ada pada ujung-ujung kiri dan kanan dari deretan ruang tidur dan ruang kerja.
Selain itu, ada beberapa keunikan. Pertama adalah mezanin yang melintang seperti jembatan membelah rumah. Dari lantai atas yang berfungsi sebagai tempat bermain itu, dapat dilihat seluruh bagian rumah, termasuk kamar anak-anak. Kedua adalah atap. Bila dilihat dari atas, atap tidak simetris terbelah dua. Sisi belakangnya lebih lebar ketimbang bagian depan. Ini mungkin karena lebih banyak ruangan yang terletak di bagian belakang rumah.
Selain itu, Silaban punya prinsip menggunakan materi yang kuat. Tulang-tulang rumah tidak hanya ditopang konstruksi beton, tapi juga baja yang biasa digunakan pada konstruksi pabrik sebagai tulang, penyambung, dan penopang bangunan. Tangga terbuat dari perpaduan baja dan kayu. Silaban ingin rumahnya bisa ditempati hingga 1.000 tahun.
Soekarno akhirnya memang berkunjung ke rumah Silaban tak lama setelah rampung pada 1958. Sang Presiden pun manggut-manggut. Dia tampak senang mengamati dan menikmati rumah sahabatnya itu. ”Dia sampai beberapa jam ngobrol dengan Bapak,” kata Panogu.
Bina Bektiati, Arif Fadillah, Sapto Pradityo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo