Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menyandera Timur Tengah Penulis: Riza Sihbudi Penerbit: Mizan, Juni 2007 Tebal: 496 hlm.
DI antara akademisi internasional, mengingat dinamikanya yang demikian hebat, studi politik kawasan Timur Tengah selalu menempati popularitas tinggi dan sangat prestisius. Tapi, sekalipun kuriositas akan kawasan ini begitu besar, tiada buku yang memadai, memenuhi kaidah-kaidah akademis, yang bisa dijadikan referensi.
Menyandera Timur Tengah karya Riza Sihbudi ini, sosok yang dikenal menekuni bidang kajian ini, belum dapat dikatakan sebagai sebuah karya akademik yang komprehensif dan mendalam. Tema yang dirambah relatif luas dan acak, mulai dari relevansi Islam dan demokrasi, hingga perbincangan tentang terorisme. Namun sayang, analisis yang disodorkan terhitung kurang tajam dan tidak baru. Meskipun demikian, untuk ukuran Indonesia, munculnya buku ini patut dicatat.
Ada beberapa item yang cukup menarik yang diangkat buku ini, dan saat ini memang menjadi kontroversi. Soal terorisme, misalnya. Hipotesis yang dibangun relatif dapat diterka, yaitu pembalikan alur logika yang selama ini berkembang berkaitan dengan terminologi terorisme. Jika aksi teror yang dilakukan beberapa kelompok yang mengatasnamakan agama Islam dikategorikan sebagai tindak teror, bagaimana dengan kebijakan-kebijakan represif dan diskriminatif yang diterapkan sebuah negara atas yang lainnya? Kita mafhum, negara yang dimaksud penulis buku ini: Amerika Serikat dan Israel.
Tapi persoalannya tidak sesederhana itu. Tidak selesai hanya dengan membalikkan logika dominan dan mengapresiasi logika minoritas, walaupun kita tahu bahwa itu merupakan bagian dari suara kritis yang selama ini relatif tertimbun oleh logika dominan yang berkembang di jagat wacana internasional.
Yaitu kecenderungan mengidentikkan Islam dengan aksi teror, dan melupakan fakta ketidakadilan politik-ekonomi global sebagai salah satu api pemantik. Benar bahwa cara pandang demikian tidak tepat. Tapi persoalan terorisme tidak selalu menyangkut domain politik praktis, namun juga wilayah filosofis dan agama. Ini menyangkut persoalan kognisi dan konsepsi, sebagai basis legitimasi dan justifikasi dilakukannya sebuah aksi teror. Dan sebagai sebuah konsepsi keagamaan, Islam memiliki potensi menyediakan amunisi legitimasi. Alhasil, secara umum, penulis buku ini sebenarnya sekadar menyajikan hamparan realitas sosial-politik sebuah kawasan yang bernama Timur Tengah, tanpa terlalu jauh menyelaminya, meski buku ini cukup informatif.
Tak mudah menganalisis fenomena politik Timur Tengah. Ada kompleksitas masalah di dalamnya. Fenomena Timur Tengah adalah perpaduan tiga bumbu dalam satu racikan: agama, etnisitas, dan ekonomi (minyak bumi). Konflik yang terjadi di dalamnya merupakan kelindan tiga hal tersebut. Isu agama (Islam, Kristen, dan Yahudi) mencuat sebagai legitimasi, bersamaan dengan egoisme etnisitas (Arab dan non-Arab) dan obsesi atas minyak bumi yang menjanjikan gelimang petrodolar.
Dan perdamaian Timur Tengah bukan semata persoalan relasi antarnegara, melainkan juga berkait dengan internal sebuah negara. Rivalitas Hamas dan Fatah, kita tahu, bersinggungan dengan soal perbedaan ideologi politik-keagamaan serta kekuasaan. Di Irak, gejolak terjadi bukan saja menyangkut keberadaan (kepentingan) Amerika Serikat yang ditentang sebagian kalangan. Namun juga berhubungan dengan pergesekan antara etnik Kurdi, Arab-Sunni, dan Arab-Syiah dalam hal penguasaan sumber daya ekonomi (minyak) di beberapa daerah tertentu.
Jadi, gejolak Timur Tengah hendaknya tidak saja direduksi pada masifnya intervensi kepentingan politik luar, namun juga kompleksitas persoalan di dalamnya. Sehingga secara tidak langsung, negara-negara di kawasan tersebut ”menyandera dirinya sendiri”, bersamaan dengan penyanderaan yang dilakukan oleh negara lain. Perspektif seperti inilah yang sepertinya terlewatkan dalam buku ini.
Ada problem subyektivitas yang biasanya mewarnai analisis para ilmuwan untuk mencapai sebuah hipotesis. Dan dalam konteks kajian soal Timur Tengah, subyektivitas semakin rentan menyelinap ke dalam paradigma seorang akademisi, karena di dalamnya bersemayam persoalan agama, sesuatu yang biasanya sangat personal dan ”terlalu subyektif untuk diobyektifkan”. Dan buku ini, karena memang bukan sebuah hasil penelitian lapangan, tampaknya tidak terlalu berpijak pada kekuatan data.
Sekali lagi, dengan segala keterbatasannya, buku ini turut memperkaya dunia kajian Timur Tengah di Indonesia.
Muhammad Ja’far, peneliti Jaringan Islam Kampus (Jarik) LSAF dan Pustaka LP3ES
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo