Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kanvas Bebas Ay Tjoe

Seorang seni rupawan berlatar belakang desain grafis yang membebaskan bidang gambar dari segalanya: bentuk, komposisi, maupun tujuan. Ia hanya ingin asyik menggores dan menyapu.

27 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUTU tak lagi dimonopoli ruang pamer ”resmi”. Bahkan ruang pamer ”resmi” (di Taman Ismail Marzuki, di galeri-galeri khusus seni rupa, misalnya) bisa membingungkan bila pengelolanya tak konsisten mempertahankan mutu karya seni rupa yang dipamerkan. Satu kompleks pertokoan di kawasan Senayan, Jakarta, belum lama ini memamerkan karya-karya lukis khusus nonfiguratif. QB Bookstore di kawasan Kemang, Jakarta, pernah memamerkan sejumlah karya Bagong Kussudiardja.

Yang paling baru, Agustus ini, Bakoel Koffie di Jalan Senopati yang mendesain ruang bawahnya menjadi Galeri Ark, memajang belasan lukisan Ay Tjoe Christine. Dengan pemilihan karya (tak usah harus pengkurasian) yang baik, pameran ”amatiran” ini bisa menyaingi pameran-pameran di TIM, Galeri Nasional, dan galeri-galeri lain.

Tengok pameran Ay Tjoe ini. Ia ”hanya” memamerkan lukisan biasa saja: menggabungkan teknik cetak digital dan teknik lain (pensil, goresan pena, misalnya). Ini di luar kebiasaan Ay Tjoe. Sejauh ini ia dikenal sebagai seni rupawan yang tekun dalam cetak kering (seni grafis dry point dan cat gouasche, cat yang tak mengkilap). Dengan tekniknya itu, menurut saya, Ay Tjoe lebih memproses karyanya langsung di kanvas daripada di luar kanvas. Ini sungguh berbeda dengan disiplin desain grafis yang ia pelajari di Seni Rupa ITB. Lazimnya, pendesain grafis merencanakan matang-matang karyanya, kalau toh kemudian ada perubahan, itu alakadarnya saja. Sedangkan dalam berkarya bebas, Ay Tjoe cukup bermodal gagasan dan sebayangan ”desain”, lalu lewat sebuah pengembaraan di bidang gambar jadilah sebuah karya.

Maka, Ay Tjoe (sejauh yang saya lihat dalam pameran di Edwin Gallery tahun lalu, dan beberapa pameran bersama, terakhir di Galeri Nasional, mengiringi peluncuran buku tentang para seni rupawan wanita Indonesia) terasa bagaikan menulis karya sastra dengan tulisan tangan. Ia menggoreskan garis, menyapukan warna, menumpuk-numpuk garis-garis, dan tentu saja ada proses ”penyuntingan”: menghapus, menambah, menghapus lagi, mengganti media, dan seterusnya.

Khusus di Galeri Ark ini, yang saya tangkap adalah karya-karya Ay Tjoe yang menampilkan panggung. Di panggung itulah ia ciptakan aktor-aktor, ”naskah”, dan segalanya. Dan pengertian panggung di sini bisa luas. Sepotong adegan di meja makan, misalnya, di kanvas Ay Tjoe bisa menjelma menjadi sebuah teater. Maka tersajilah dua tema yang ia serialkan. Pertama, serial aktor dan darah (judul salah satu serial ini, misalnya, Two actors and the blood). Kedua, serial makan malam yang senyap (silent supper).

Teknik melukis bercerita seperti ini memang tak begitu mementingkan komposisi. Proses melukis berakhir setelah seni rupawannya merasa kisah sudah tuntas. Ia tak lagi merasa perlu menimbang-nimbang apakah di kanvasnya ada keseimbangan, kontras, atau arah komposisi tertentu dari bentuk dan warnanya. (Bahkan pada karya-karya Affandi, pelukis yang menghentikan aktivitas melukisnya begitu emosi habis tertuang di kanvas, komposisi terasa disentuh—mungkin Affandi sudah merencanakan sejak awal). Maka karya-karya Ay Tjoe terasa anarkistis dalam makna positif. Jejak goresan dan sapuannya tersebar di seluruh bidang gambar, seolah setiap titik terhubungkan dengan garis yang selalu bersambung. Lalu ada bercak warna bagaikan sebuah latar dari sebuah pergelaran teater.

Memang, garis, bentuk, dan warna serta unsur kesenilukisan yang lain bukanlah kata-kata. Namun, sebuah bentuk realistis yang menyerupai kenyataan, akan dengan sendirinya memberikan peluang buat sang penonton akan sebuah cerita. Padahal, saya menduga, Ay Tjoe sebenarnya berangkat dari bentuk realistis itu, dan sementara itu ia tak ingin menyajikan cerita yang jelas, katakanlah yang realistis. Ia lebih menikmati proses menggaris dan membentuk dan mewarnai daripada bentuk hasil dari goresan dan sapuannya. Inilah saya kira yang menjadikan figur dalam lukisan Ay Tjoe tak jelas sosoknya. Mungkin itu rambut kepala, tapi tak ada kelirunya kalau kita lihat sebagai gulungan benang yang ruwet. Mungkin itu cipratan darah merah di antara dua sosok tak jelas, dan tak salah juga kalau itu dilihat sebagai sekadar sesobek sutra merah yang melayang tertiup angin.

Bentuk mirip boneka itu, bentuk mirip manusia itu, sekadar pemecah ”kebisuan” garis dan warna. Maka, kadang, pada kanvasnya Ay Tjoe pun mencetak huruf-huruf, dan sering tak mudah dibaca, entah karena begitu kecil, entah karena dicetak terbalik. Ini merupakan kerinduan Ay Tjoe untuk mendengar ”suara”, untuk memberikan ”makna”—meski kedua hal itu tetap tak ”berbentuk”.

Ay Tjoe pada hemat saya adalah pejalan yang arah tujuannya adalah kaki langit. Namun, kaki langit itu pun sebenarnya bukan tujuan sebenarnya, karena kaki langit selalu menjauh begitu kita mendekatinya. Jadi, Ay Tjoe adalah pejalan yang menikmati langkah-langkah kaki dan ayunan tangannya. Ia membebaskan segalanya dari kanvas selain jejak keasyikannya menggores-gores dan menyapu-nyapu. Maka, ia berbeda dengan para nonfigurativis, yang bertujuan menyusun komposisi dari unsur-unsur seni lukis. Ay Tjoe bukan pelukis abstrak. Ia pun berbeda dengan para ekspresionis abstrak, karena bukan emosi yang dikedepankannya. Ia pun berbeda dengan mereka yang menghancurkan bentuk untuk memperoleh esensi. Ay Tjoe tak menghancurkan apa pun, sebab figur yang ia bayangkan sudah tak berbentuk.

Jadi? Ya, mengapa kita tak juga seperti Ay Tjoe, membiarkan diri mengikuti ”gerak” garis sambil ”mendengarkan” warna-warna sapuan di depan karya-karyanya?

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus