Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Anak Batin Teristimewa Silaban

Masjid Istiqlal diakui sebagai karya terbesar Friedrich Silaban. Harmoni gigantik, megah, dan fungsional yang tertata indah.

27 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA menepati janjinya. Setelah bertemu Soeharto, presiden ketika itu, Friedrich Silaban langsung berlutut di lantai dan mencium kaki sang pemimpin. Pak Harto pun salah tingkah. ”Jangan kultus individu,” katanya seraya mencegah aksi penghormatan itu. Tapi Silaban tak peduli. Dia harus membayar nazar. ”Kalau dilaksanakan, saya akan mencium kaki Pak Harto,” kata Silaban seperti ditulis dalam Tempo, ketika majalah ini menulis tentang Masjid Istiqlal pada 1978.

Silaban layak gembira. Di sebuah ruangan di Bina Graha, Soeharto memberikan kabar tentang kelanjutan proyek masjid akbar Istiqlal. Soeharto pun setuju pada semua rancangan Silaban, termasuk bentuk kubah yang sangat besar. ”Saya meminta pada Presiden Soeharto agar soal kubah tidak ditawar-tawar,” kata Silaban kepada Tempo ketika itu.

Masjid Istiqlal, masjid yang kini berdiri gagah di tengah Kota Jakarta, merupakan anak batin Silaban paling istimewa. Banyak sebabnya. Selain karena dia mendapat pengalaman baru: seorang Nasrani merancang masjid, Silaban juga butuh waktu yang teramat panjang yang menguras seluruh pikiran dan tenaganya.

Hasil rancangan sudah siap sejak 1954. Tapi persiapan pembangunan molor hingga bertahun-tahun. Sepuluh tahun berselang, baru terjadi peletakan batu pertama. Hampir saja terjadi bencana. Gambar asli masjid sempat hilang. Untung masih ada kopinya. Empat belas tahun kemudian, pada 22 Februari 1978, Soeharto meresmikan masjid yang bernama Istiqlal atau Merdeka ini.

”Masjid Istiqlal merupakan karya dia paling besar. Dia terus mengikuti pembangunannya dari hari ke hari sampai selesai,” kata Panogu Silaban, putra Silaban. Pada saat menjelang tahap akhir, Silaban harus mondar-mandir Jakarta-Bogor. Berangkat pagi, terkadang pulang pada malam gelap.

Ide pembangunan masjid berawal dari penyerahan kedaulatan dari Belanda pada 1949. Ketika itu Menteri Agama K.H. Wahid Hasyim mengusulkan membangun sebuah masjid bernapaskan semangat kemerdekaan. Tidak hanya berfungsi sebagai rumah ibadah tapi juga simbol negeri yang merdeka. Jadi, lokasinya harus terletak di tengah kota, di Taman Wilhelmina, tak jauh dari Lapangan Banteng.

Soekarno, presiden ketika itu, mendukung gagasan tersebut. Untuk menjalankan rencana itu dibentuklah Yayasan Masjid Istiqlal yang diketuai Anwar Cokroaminoto. Desain terbaik dicari dari lomba desain yang dibuka pada 1954. Tim juri terdiri dari Prof Ir Rooseno, Ir H. Djuanda, Prof Ir Suwardi, Hamka, H. Abubakar Aceh, dan Oemar Husein Amin. Ketuanya adalah Soekarno, yang juga seorang arsitek.

Setahun kemudian, didapatkan hasil. Dari 30 peserta, dewan juri memutuskan lima finalis, yakni Friedrich Silaban dengan tema ”Ketuhanan”, R. Oetoyo mengusung ”Istighfar”, Hans Groenewegen bertajuk ”Salam”, lima mahasiswa ITB bertema ”Ilham”, dan tiga mahasiswa ITB lainnya mengusung sandi ”Khatulistiwa”.

Silaban sendiri terkejut akan kemenangannya. Pada saat itu terjadi pergulatan batin yang keras. Pantaskah seorang Kristen ikut dalam perlombaan mendesain masjid. ”Saya berdoa saja, memohon petunjuk,” katanya seperti dikutip di Tempo ketika itu. Silaban pun menggondol hadiah Rp 25.000, jumlah yang tergolong besar ketika itu, namun habis untuk potong kerbau memenuhi permintaan teman-temannya.

Juri menganggap desain Silaban yang menerapkan prinsip minimalis menjadi salah satu unsur yang istimewa. Penataan ruang yang terbuka di kiri-kanan bangunan utama dengan tiang-tiang lebar, memudahkan sirkulasi udara dan penerangan alami, membuat desain Silaban sangat cocok untuk masjid yang berdaya tampung besar.

Ukuran Istiqlal memang serba ”berlebih”. ”Istiqlal adalah masjid dengan konsep grande,” kata Han Awal, seorang arsitek senior. Total luas lantainya 7,2 hektare atau sekitar tujuh kali luas lapangan sepak bola, luas atapnya 2,1 hektare. Kubah utamanya berdiameter 45 meter dengan berat 86 ton disangga 12 tiang setinggi 26 meter dengan garis tengah 2,6 meter. Tinggi menaranya 66,66 meter—melambangkan jumlah ayat dalam kitab suci Al-Quran. Istiqlal mampu menampung 100 ribu jemaah.

Silaban menolak menggunakan kayu dan tetap pada pilihan memakai stainless steel (baja tak berkarat). ”Ini bukan kegenitan, tapi saya sudah janji kepada rakyat bahwa bangunan ini akan tahan seribu tahun,” katanya ketika itu. Alhasil, biayanya menjadi besar. Total pengeluaran mencapai Rp 7 miliar yang berasal dari dana APBN plus dan uang US$ 12 juta.

Kesan grande juga terlihat dari adanya lahan kosong, yang tidak hanya terhampar di luar, tapi juga di dalam gedung. Menurut pendapat Hatmadi Pinandojo, arsitek senior yang mengenal Silaban secara pribadi, ruang kosong pada karya-karya Silaban menjadi semacam ”ruang terbuang” yang sengaja dibuat. Hal yang tidak berbeda dengan kebanyakan arsitektur lokal, seperti pendapa.

Selain itu, Silaban tetap disiplin pada fungsi. Masjid Istiqlal tidak menggunakan penyejuk udara–Silaban memang anti-AC karena dia menganggap itu sebagai pemborosan. Sebagai gantinya, ia sangat royal menempatkan bukaan. Ada teras luas dan pintu-pintu lebar. Di kubah raksasa masjid itu terdapat enam lubang yang berfungsi mengeluarkan udara panas yang terhimpun di bawah kubah itu. Agar tidak bocor, lubang itu ”dilindungi” kubah kecil.

Namun anak batin Silaban ini tetap tak terlepas dari kritik. Kubah besar yang disokong tiang-tiang kukuh, yang memberikan kesan megah, dianggap sebagai hal yang tidak efisien. Menurut Han Awal, Silaban kurang memperhatikan perkembangan teknologi membangun kubah.

Hal itu, menurut arsitek senior Suwondo Bismo Sutedjo, mungkin karena Silaban tidak mengenyam pendidikan arsitektur secara formal. ”Jadi mungkin dia kurang mempelajari sejarah arsitektur,” katanya. Sebab, biasanya, kubah didukung oleh bentukan kubah lainnya. ”Sebanyak 12 tiang di tengah Istiqlal itu tidak perlu, bisa diganti dengan bentang 40 meteran prestressed (teknologi pratekan),” kata Yuswadi Saliya, dosen teknik arsitektur Institut Teknologi Bandung.

Demikian pula menurut Himasari Hanan, dosen sejarah, kritik dan teori arsitektur Jurusan Teknik Arsitektur ITB. Struktur bangunan masjid menjadi boros karena memang pendekatan desain tidak melihat bangunan sebagai suatu sistem yang terpadu. Pendekatan desain semata-mata terpusat pada efek tampak keruangan semata.

Atau memang begitulah gaya Silaban untuk bangunan publik seperti kantor pemerintah dan masjid. Dia ingin menonjolkan kesan ”monumental” dan dapat dibanggakan, meskipun ongkosnya jadi mahal.

Irfan Budiman, Deffan Purnama (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus