Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MONUMEN Nasional. Tugu obeliks, berbentuk lingga yang berdiri tegak dan yoni yang melingkar sebagai tatakan, ini dibangun untuk mengabadikan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah. Tingginya 137 meter, terbuat dari marmer, dengan ”nyala obor” pada puncaknya yang berdiameter 6 meter, bermaterikan perunggu 35 kilogram bersalut emas 35 kilogram. Monumen itu mulai dibangun pada Agustus 1959 dan diresmikan Presiden Soekarno persis dua tahun kemudian, tapi baru dibuka untuk umum pada 1975.
Lingga dan yoni, simbol yang banyak digunakan pada bangunan kuno, mewakili nilai kesuburan. Sedangkan tugu obeliks yang tegak, dengan cawan berukuran 45 x 45 meter, dan ”api” yang ada pada puncaknya mewakili kemegahan, dan kegagahan. Itu juga simbol bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa kuli, seperti acap diucapkan Soekarno. Tugu Monas yang tegak di tengah Taman Monas, 80 hektare, di jantung Kota Jakarta itu memang sarat dengan pesan dan nilai, seperti layaknya monumen pada umumnya di dunia ini.
Monas merupakan karya arsitek Soedarsono. Namun Silaban cukup punya andil dalam penyelesaian pembangunannya meskipun dia sempat patah arang untuk urusan Monas ini. Pada lomba perancangan tugu Monas yang pertama, Silaban menjadi juara kedua. Tapi, karena juara pertama tidak ada, mestinya rancangan Silaban yang jadi acuan. Sayangnya, meskipun dia sudah membuat banyak rancangan tugu Monas, karya Silaban tak pernah terwujud.
Itu karena Silaban selalu memilih konstruksi dan bahan yang paling awet. Akibatnya, keseluruhan rancangan tersebut menjadi mahal. Jadi, meskipun Soekarno ingin memperkenalkan bangsa Indonesia ke dunia luar melalui karya-karya arsitektur yang megah, dan menjadi ”mercusuar”, dia tetap tidak bisa menerima rancangan Silaban untuk tugu Monas. Sebab, untuk mewujudkan ide Silaban, butuh biaya besar.
Suwondo Bismo Sutedjo, arsitek senior, yang memilih berprofesi sebagai arsitek karena terinspirasi oleh Silaban, menambahkan, Silaban punya pandangan bahwa arsitek dalam berkarya harus mencipta, dari tidak ada menjadi ada. Inilah yang membuat banyak rancangannya tidak dapat direalisasi menjadi bangunan konkret.
Untuk tugu Monas, misalnya, pada salah satu rancangannya, dia menggambar monumen dengan bidang dasar horizontal bertumpuk yang tampak masif, lalu disusul dengan lempengan yang juga berbentuk segi empat sebagai tatakan tugu vertikal langsing yang runcing pada puncaknya. Rancangan lain berbentuk beberapa bidang bangunan vertikal melengkung, yang lengkungannya mirip bulan sabit—menurut para arsitek, gaya ini mewakili ciri arsitektur modern Indonesia.
Selain itu, menurut buku F. Silaban dalam Konsep dan Karya, Silaban menawarkan beberapa rancangan tugu yang bergaya Rusia. Model-model tersebut merupakan gabungan bangunan-bangunan kotak pada dasar, dengan tugu vertikal yang menjulang, didominasi dengan gaya kaku, tegak, penuh garis-garis vertikal yang kuat. Para arsitek menyebutnya vertikalisme gaya Rusia.
Misalnya, pada salah satu usul rancangan tugu Monas, Silaban menunjukkan suatu kesatuan yang dibentuk dengan pengolahan proporsi. Bentuk segi empat beraturan yang disusun berjenjang seperti mempersiapkan bentuk vertikal ekstrem yang menyusul kemudian. Bangunan seperti ini banyak ditemukan di negara sosialis-komunis Eropa Timur dan Asia Tengah.
Uni Soviet dan negara-negara sosialis di Eropa Timur memang dekat dengan Indonesia pada masa itu. Soekarno sendiri bahkan meminta Silaban belajar gaya arsitektur negara-negara yang pernah mereka kunjungi. Selain itu, Silaban sendiri sangat setia pada penggunaan beton, sehingga cocok dengan gaya Rusia yang masif.
Namun, untuk Monas, rupanya Soekarno tidak terlalu sreg dengan rancangan Silaban. ”Aku sekarang nggak ngomong lagi dengan Soekarno, karena dia tak mengerti skala,” itu kata-kata Silaban ketika beberapa usul rencana tugu Monas tidak sesuai dengan Soekarno, seperti dituturkan Suwondo. Toh, Soekarno tak patah arang terhadap Silaban.
Soekarno kemudian menunjuk Silaban sebagai salah satu juri lomba rancangan Monas yang kedua agar ia tetap terlibat aktif dalam proses pembangunannya, siapa pun pemenangnya. ”Ini karena Silaban pandai menerjemahkan nilai-nilai nation building yang banyak didengung-dengungkan Soekarno pada masa itu,” kata Han Awal, arsitek senior yang beberapa kali bertemu dan berdiskusi dengan Silaban.
Kecocokan ini tampak pada sejumlah monumen yang dirancang Silaban. Nilai-nilai yang diyakini Soekarno seperti ”semangat kerakyatan” dan ”membuktikan bukan sebagai bangsa kuli” itu terlihat pada Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, dan juga rancangan tugu Monas.
Namun ada satu monumen rancangan Silaban yang berbeda dengan gaya dia pada umumnya yang berbentuk geometris sederhana yang ”telanjang”, tanpa ornamen, dan tegas. Monumen yang ”menyimpang” itu adalah gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata. Monumen ini berbentuk bangunan mendatar, ada sentuhan gaya candi, dan penuh dengan ornamen.
Menurut buku F. Silaban dalam Konsep dan Karya, pada gerbang Kalibata yang dibangun pada 1953 ini, Silaban mencoba menerjemahkan nilai ”merenungkan ke alam kelanggengan, alam hening para pahlawan”. Kritik terhadap gerbang Kalibata ini adalah pesan merenung, dan khusyuk, yang hendak disampaikan melalui ornamen dinilai tak sampai.
Menurut arsitek Yuswadi Saliya, kegagalan ornamen Silaban merepresentasikan epos kepahlawanan mungkin karena perbendaharaan jenis bangunan monumental di Indonesia memang tidak ada. Bahkan Candi Borobudur yang monumental itu dibangun bukan sebagai monumen, melainkan sebagai tempat ibadah. Namun, apa pun kritik terhadap Silaban, dia adalah sang monumen itu sendiri.
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo