Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATAHARI sudah mengusir selimut subuh. Sinarnya menebarkan kemilau pada lantai Lapangan Tiananmen. Kota Beijing pun terbangun. Lorong pemberhentian kereta bawah tanah mulai memuntahkan manusia: tua-muda, dari yang berdasi hingga yang bersepatu kungfu. Orang-orang yang turun dari bus menambah jumlah mereka. Semuanya, sekitar seribu manusia, berbaris rapi, menuju sebuah titik di Lapangan Tiananmen.
Lalu sirene melengking, upacara dimulai. Bendera dikibarkan oleh sepasukan tentara diiringi lantunan lagu kebangsaan Yiyongjun Jinxingqu. Perhelatan itu berlangsung tidak lebih dari sepuluh menit. Ratusan manusia itu buru-buru membubarkan diri, memulai kesibukan rutin mereka di kantor, pabrik, atau pasar.
Zaman sudah bergerak jauh, tapi ritus itu masih berlangsung setiap hari, selama bertahun-tahun. Sebagian warga masih setia menghadiri upacara, kendati tidak ada batu peringatan atas matinya ratusan anak negeri itu pada 1989 lalu di sana. Apalagi karangan bunga.
Dan lihatlah saat matahari mulai meninggi. Ratusan manusia, kebanyakan dari desa, secara bergelombang, datang lagi ke Tiananmen. Mereka masuk ke sebuah gedung megah. Di sana terbaring mayat pemimpin revolusi Cina, Mao Zedong, dalam kotak kaca yang dijaga beberapa orang tentara. Sekitar lima juta manusia setiap tahun mengunjunginya, untuk memberikan penghormatan.
Ritus itu belum lenyap kendati November lalu Presiden Jiang Zemin, 76 tahun, mulai mengabaikan pesan-pesan Mao. Dengan berani dia melakukan perubahan besar: mengawinkan komunisme dengan kapitalisme. Terang-terangan, dalam kongres Partai Komunis Cina, Zemin menegaskan pentingnya perekonomian yang berorientasi pasar bagi masa depan Cina. Dia pun memperkenalkan konsep "tiga keterwakilan", yakni buruh, petani, dan yang terbaru: pengusaha. Yang terakhir disebut telah berjasa mendongkrak pertumbuhan ekonomi Cina. Karena itu, kini para pengusaha dirangkul untuk masuk dalam struktur partai.
Kepalang basah. Setelah gagal membendung gelombang pasar bebas, akhirnya Negeri Cina bersiap terjun sekalian ke dalam jagat kapitalisme. Wakil Presiden Cina sekarang, Hu Jintao, 59 tahun, agaknya telah dipersiapkan memimpin Cina pada era baru ini. Tahun depan, dia akan menggantikan Jiang Zemin sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina.
Koran-koran Cina menulis dengan judul besar-besar tentang perubahan itu. Media di negara-negara kapitalis pun menyambutnya dengan sukacita. Pun sebagian besar politisi dan kalangan pengusaha di Beijing.
Rakyat? Diam-diam sebagian besar rakyat Cina pun menikmati pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada era kepemimpinan Jiang Zemin. Seorang mahasiswa di Beijing bilang, "Mereka tidak terlalu peduli lagi apakah yang berkembang masih dalam rel komunisme." Yang pasti, rakyat merasakan, pada era sebelumnya (kepemimpinan Mao Zedong), hanya kemiskinan yang didapat oleh para buruh dan petani. Kini mereka mulai mencicipi nikmatinya kebebasan berusaha dan mengumpulkan harta.
Tengoklah jalanan di sekitar Lapangan Tiananmen. Kemenangan modal atas buruh tergambar amat jelas. Ribuan sepeda berjubel bersandingan dengan mobil-mobil mewah. Pekerja bangunan berjalan dalam kelompok-kelompok mereka dengan pengki dan gergaji di tangan. Bus kota pengap terisi manusia yang berjubel. Sedangkan mobil-mobil dengan kaca gelap hanya berisi satu atau dua orang. Mercedes, Volvo, Opel, Volkswagen, dan Renault berdesakan dengan mobil buatan anak negeri, Xiali dan China Jeep.
"Dulu, sekitar 20 tahun lalu, hanya pabrik dan perusahaan yang punya mobil-mobil bagus. Sekarang anak-anak muda sudah berani berutang ke bank untuk membelinya," kata Li Gui Qing mengomentari perubahan negerinya. Wanita berusia 64 tahun ini sudah merasakan hidup dalam tiga generasi kepemimpinan partai komunis di Cina.
Meski daging dan darah yang mengalir di tubuhnya masih asli Cina, sebetulnya Qing lahir di Indonesia. Sekitar 42 tahun lalu, dia dikirim orang tuanya belajar di tanah leluhurnya dan tak kembali lagi. Kebetulan saat itu pemerintah Indonesia memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959. Ruang hidup kalangan Cina dibatasi hanya di daerah perkotaan.
Li Gui Qing pulang ke Cina bersama sekitar 100 ribu keturunan Cina di Indonesia. Rezim Mao Zedong menyambutnya dengan tangan terbuka, kendati kondisi ekonomi di negeri itu cukup memprihatinkan. Qing muda masih ingat wajah Beijing saat itu dipenuhi kampung-kampung kumuh. Di setiap 100 rumah hanya tersedia sebuah toilet yang harus dipakai bersama. Saat hujan, mereka harus antre sambil membawa payung.
Kini Qing ikut merasakan kemajuan tanah leluhurnya. Sekadar ikut mencicipi. Sebab, di antara apartemen dan vila mewah berharga jutaan yuan, dia hanya menempati sepetak rumah. Rumah seluas 70 meter persegi itu dibelinya tujuh tahun lalu dengan harga 20 ribu yuan atau sekitar Rp 22 juta.
Semula rumahnya disewa dari negara seharga 30 yuan sebulan, lama-lama bisa menjadi milik pribadi. Itu pun dia dapat karena suaminya bekerja sebagai insinyur di sebuah pabrik kimia. Memiliki rumah nyaris tidak terpikirkan oleh penduduk Beijing 20 tahun lalu. Saat itu kepemilikan pribadi masih diharamkan. Semuanya masih milik negara.
Dulu Qing termasuk kader partai yang setia. Saat Ketua Mao mengajak kaum muda ikut dalam gerakan Revolusi Kebudayaan pada 1966, dia masuk dalam garda terdepan. Dengan secarik kain merah di lengan dan bunga di dada, dia ikut merazia orang-orang yang dianggap borjuis licik dan kapitalis benalu. Para guru di sekolah pun, kalau dianggap bersalah, bisa mereka pukuli tanpa peradilan.
Ketika Mao mengajak para pemuda belajar dari petani, tanpa ragu Qing mengemasi barang-barangnya dan pergi ke desa. Dia bergabung dengan teman-temannya sebagai hong weibing atau pengawal merah. Ini kesempatan baginya mengunjungi desa-desa dengan kendaraan umum tanpa harus membayar.
Qing memilih pergi ke Hainan, di wilayah selatan Cina. Bersama dengan 200 pemuda, dia belajar menanam padi, ubi, dan kacang serta memotong rumput. Selain itu, para siswa mendapat tugas mengajarkan baca tulis kepada para petani. "Meski berat, kami percaya ajakan Ketua Mao itu baik untuk Cina," kata Qing.
Hanya, tidak semua penduduk desa menyambutnya dengan baik. Sebagian malah menentang kehadiran mereka. Beberapa kali mereka harus menyelamatkan diri dari ancaman pisau dan bedil petani yang menolak.
Satu lagi yang dihadapinya di desa: minimnya makanan. Jatah kupon dari pemerintah ludes hanya untuk ditukarkan dengan sabun cuci atau minyak untuk tiga kali menggoreng ikan teri. Tentu saja tidak terbayang di kepalanya membeli baju. Selain tidak ada uang, barangnya sangat langka. Beberapa lembar baju yang dipakainya semua bawaan dari Indonesia. Rata-rata baju orang Cina berwarna senada: biru, hitam, atau abu-abu. "Tidak ada baju modern seperti sekarang," kata Qing menyebut baju ala Barat.
Kendati keadaannya sulit, Qing memutuskan untuk menikah saat usianya mencapai 29 tahun. Ketika itu, dia masih berada di Hainan, sementara suaminya bekerja di Beijing. Pemerintah hanya memberi pasangan suami-istri ini kesempatan bertemu satu kali dalam setahun. Itu pun hanya dalam hitungan hari.
Setelah delapan tahun terpisah dari suami, barulah dia ditempatkan di Beijing dengan gaji 38,61 yuan per bulan. Qing menjadi karyawan sekolah taman kanak-kanak di pabrik tempat suaminya bekerja. Sedangkan suaminya bisa membawa pulang 55 yuan.
Baju-baju "kuno" yang dulu biasa dipakai Qing kini makin langka. Toko yang berderet di kawasan perbelanjaan Wangfujin, misalnya, memamerkan aneka mode terbaru. Bahkan beberapa supermarket memajang pakaian dari merek ternama. Perilaku kaum muda pun banyak berubah. Mereka datang ke berbagai pesta dengan dandanan ala Barat. Tanpa sungkan mereka bermesraan di taman-taman kota atau di dalam kereta bawah tanah (lihat Tiada Revolusi dari Kedai Kopi).
Negara pun sekarang tak lagi mengatur pembagian tenaga kerja untuk mengisi posisi sesuai dengan kebutuhan produksi. Dalam sepuluh tahun terakhir, setelah swasta makin berkembang, kaum pekerja bisa memilih sendiri pekerjaan sesuai dengan keinginan. Sekarang semakin banyak warga yang menanggalkan baju buruh pabrik dan menekuni pekerjaan baru. Salah satu yang diincar mereka adalah menjadi sopir taksi. Penghasilannya lumayan. Sebagai sopir taksi, mereka bisa mengantongi duit 2.500 yuan atau sekitar Rp 2,75 juta setiap bulan.
Perubahan itu mulai terjadi setelah Mao meninggal, 26 tahun silam. Di bawah kepemimpinan Deng Ziaoping, Cina mulai memberlakukan kebijakan pembaruan dan keterbukaan. Dia menyebut konsep barunya itu sosialisme dengan ciri khas Cina. Akhirnya, berkembang pula konsep ekonomi pasar sosialis. Pertumbuhan ekonomi pun melompat rata-rata di atas delapan persen setiap tahunnya. Bahkan, menurut East Asian Institute, Cina mencapai pertumbuhan paling tinggi di Asia.
Atas perubahan itu, Deng sempat berkelakar dalam suatu kesempatan pada 1985. "Marx kini sedang duduk di surga. Dia melihat apa yang kita perbuat, dan dia tidak menyukainya. Jadi, dia menghukumku dengan membuat telingaku tuli," kata Deng, yang memang kehilangan sebagian pendengarannya.
Karena gebrakan Deng pula, sejak sekitar 15 tahun silam, mulai tumbuh pengusaha swasta di Beijingsesuatu yang mustahil di masa kekuasaan Mao. Rakyat pun mulai berani berlaku konsumtif. Sementara di masa Mao menyimpan dua butir telur saja bisa dituduh antek kapitalis, rakyat mulai mencoba-coba kemewahan.
Warga Beijing pun mulai membelanjakan uangnya untuk membeli televisi hitam-putih ukuran 10 inci. Kala itu, Qing sudah memiliki televisi warna 14 inci. Jangan heran jika banyak tetangganya yang sering datang ke rumahnya untuk ikut menonton. "Televisi itu dikasih saudara saya dari Indonesia," kata Qing.
Qing pensiun setahun sebelum terjadi tragedi pembantaian mahasiswa dan buruh di Lapangan Tiananmen. Setahun setelah peristiwa ini, dia melihat kehidupan ekonomi malah makin membaik. Orang asing makin banyak yang membuka usaha di Beijing. Begitu pula masyarakat lokal. Toko-toko baru dibuka, juga sejumlah rumah makan.
Menghadapi kemajuan ini, Qing tidak mau ketinggalan. Dia mengisi waktu pensiunnya dengan membuka rumah makan bersama tiga orang temannya. Namun dia harus merasakan kejamnya persaingan bebas. Banyaknya rumah makan membuat persaingan makin berat. Akibatnya, mereka memutuskan untuk menutup rumah makan itu sekitar tujuh tahun silam.
Kini Qing bersama suaminya menikmati masa pensiunnya dengan santai. "Saya juga kepingin pindah rumah dan punya kendaraan, tapi dari mana uangnya?" katanya. Selama ada makanan dan uang pensiun, rumah itu sudah cukup. Apalagi kedua anaknya kini telah berkeluarga. Dia tidak peduli siapa yang memimpin Cina. Baginya, Mao, Deng, Jiang, atau Hu punya cara masing-masing dalam mengatur Cina.
Hanya, dia menyesalkan, kegiatan partai di kelompok-kelompok kecil kini makin mengendur. Biasanya setiap minggu kader-kader partai bertemu untuk belajar tentang sejarah partai atau membaca buku-buku ajaran komunis. "Tapi, lima tahun belakangan, makin banyak yang tidak hadir," kata Qing kecewa.
Zaman telah berubah. Upacara bendera dan penghormatan terhadap Mao di Tiananmen pun kini menjadi sekadar ritus harian. Maknanya kian sulit dipahami oleh anak-anak Qing, apalagi cucu-cucunya kelak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo