SERBUAN hawa dingin membuat Zhang Heiwei menutup kaca taksinya rapat-rapat. Hari masih pagi, udara masih di bawah lima derajat Celsius. Di depan sebuah hotel di Kota Beijing, dia memarkir taksinya sambil menanti penumpang. Mulutnya terus saja komat-kamit dengan suara yang kurang jelas.
Berdoa? Bukan. Dia sedang membaca buku bahasa Inggris praktis. Lidah Cina Zhang terlalu kaku untuk melafalkan bahasa ini. Namun tak ada pilihan lain. Jika ingin mempertahankan pekerjaannya, ia mesti fasih berbahasa Inggris. Izin mengemudinya bakal dicabut jika bahasa asing ini tak segera dikuasainya.
Lelaki 37 tahun itu sudah melupakan pesan Mao Zedong, pemimpin Cina yang amat disegani. Ketika dia mengobarkan Revolusi Kebudayaan (1966-1976), segala hal yang berbau kapitalis dan Barat dicampakkannya jauh-jauh. Jangankan belajar bahasa Inggris, seorang kepala sekolah yang menyimpan dasi dan sepatu kulit saja bisa dituduh pro-negara Barat. Sebagai hukumannya, ia bisa dikirim ke penjara atau ke daerah pertanian yang terpencil untuk menjadi petani.
Era Mao sudah berlalu. Kini pemerintah malah mensponsori pemakaian "bahasa kapitalis" itu bagi rakyatnya. Sejak awal tahun ini, pengajaran bahasa Inggris diberikan kepada hampir seluruh masyarakat Beijing dan kota besar lain di Cina secara gratis. Untuk program ini, pemerintah membelanjakan lebih dari 2 miliar yuan atau sekitar Rp 2,2 triliun. Setiap akhir pekan, mereka belajar bersama di berbagai gedung pertemuan. Bisnis kursus bahasa Inggris pun mewabah.
Perubahan besar itu didorong oleh keinginan Cina untuk diakui sebagai salah satu warga yang "sah" di dunia. Negara ini pun sudah masuk dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun lalu. Tapi, yang paling memicunya, Beijing bakal menjadi tuan rumah Olimpiade 2008.
Segalanya dipersiapkan untuk menyambut perhelatan itu, termasuk bidang jasa yang tengah menggeliat. Bukan cuma sopir taksi, karyawan hotel dan petugas biro perjalanan pun kini diwajibkan belajar bahasa Inggris.
Zhang juga tidak mau ketinggalan kereta. Ayah dari satu anak ini terpaksa bersusah payah belajar bahasa Inggris. Lahir sebagai anak petani di Beijing, dulu dia sempat belajar hingga tingkat sekolah menengah. Namun, untuk masuk ke universitas, orang tuanya tidak sanggup membiayainya. Sepuluh tahun lalu, dia amat bangga bisa bekerja di sebuah pabrik tekstil milik pemerintah. Statusnya adalah pegawai negeri.
Namun, tiga tahun lalu, dia merasa penghasilannya sebagai buruh pabrik tidak lagi mencukupi untuk hidup di kota besar seperti Beijing. Zhang akhirnya menanggalkan pekerjaan di pabrik pemerintah dan memilih jadi sopir taksi. Dia berharap penghasilannya kelak bisa dipakainya sebagai modal untuk membuka usaha sendiri. "Mungkin bisa buka warung atau toko," kata Zhang.
Pendapatannya memang lumayan. Setiap bulan dia bisa mengumpulkan hasil sekitar 2.500 yuan (Rp 2,75 juta). Penghasilan ini jauh di atas rata-rata pendapatan masyarakat Cina, yang masih sekitar Rp 225 ribu per bulan. Jika dibandingkan dengan gajinya saat bekerja di pabrik, kini Zhang memperoleh tiga kali lipat.
Di zaman Mao, memilih pekerjaan yang disukai hampir mustahil. Saat itu negara mengorganisasi setiap tenaga kerja. Partai komunis menjalankan tugas sebagai manajer, sementara rakyat dan buruh menjalankan rencana yang dibuat sang manajer. Akibatnya, seorang kader yang aktif di partai akan mudah mendapat pekerjaan dengan kursi empuk.
Keleluasaan yang tertiup belakangan membuat pemuda Cina kegirangan. Menjadi sopir taksi jelas lebih mudah ketimbang harus menyelesaikan sekolah di perguruan tinggi. Lapangannya terbuka karena bisnis taksi memang tengah berkembang. Dalam dua tahun terakhir, jumlah taksi di Beijing melonjak hampir dua kali lipat menjadi sekitar 70 ribu mobil. Tak kurang dari 800 perusahaan taksi berebut rezeki di lahan basah ini.
Hanya, persaingan bebas segera memakan korban. Dari 800 perusahaan, dalam waktu dekat akan tinggal seperempatnya. Perusahaan taksi kecil akan dimerger dengan perusahaan besar, yang rata-rata patungan dengan perusahaan asing.
Roda kapitalisme juga mulai menggilas Zhang. Karena semakin banyaknya taksi, lama-lama penghasilannya menurun. Kian banyaknya pemuda yang berminat jadi sopir taksi juga mendorong dia agar lebih siap menghadapi persaingan. Jangan heran jika dia sudah sibuk belajar bahasa Inggris di pagi yang masih sunyi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini