Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH menjalankan salat malam, Kamis pada pertengahan Mei 2007, Indra Setiawan mendekati penyidik Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Sebelum berbicara, mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia itu sempat tersedu. Lalu ia menyatakan bersedia menjelaskan informasi yang selama ini ditutupnya rapat-rapat mengenai peristiwa pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib, 7 September 2004.
"Indra mengatakan hanya akan memberikan keterangan itu kepada Pak Bambang Hendarso Danuri," kata perwira polisi yang ikut menyidik kasus Munir ini, bulan lalu. Waktu itu jabatan Bambang Hendarso adalah Kepala Badan Reserse Kriminal. Ia dilantik menjadi Kepala Polri setahun berikutnya.
Sesuai dengan saran penyidik, Indra lebih dulu menunaikan salat sunah. Harapan polisi, seusai salat, pikiran Indra akan lebih jernih dan mantap dalam memberi kesaksian. Saat itu, lulusan magister bisnis administrasi dari perguruan tinggi di California pada 1985 ini sudah 40 hari mendekam di sel Badan Reserse Kriminal sebagai tersangka dengan tuduhan ikut serta bersama Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot maskapai penerbangan Garuda Indonesia, membunuh Munir. Dalam kasus ini, Indra telah dihukum satu tahun penjara dan bebas pada 2008.
Polisi memenuhi permintaan Indra. Mereka menelepon Bambang Hendarso pada Jumat pukul dua dinihari. Penyidik ini menginformasikan kepada atasannya ada hal penting sehingga ia harus bergegas datang ke Trunojoyo Satu—merujuk pada alamat Markas Besar Polri di Jalan Trunojoyo Nomor 1, Jakarta Selatan. Tak lama berselang, Bambang Hendarso tiba. Mulanya ia mengira ada yang keliru dari proses penyidikan anak buahnya. Namun, di luar dugaan, ternyata Indra bersedia membuka misteri pembunuhan Munir.
Kepada Bambang Hendarso, kata penyidik kasus Munir ini, Indra mengaku telah menerima surat rekomendasi dari Badan Intelijen Negara yang berkode rahasia. Surat Nomor R-451/VII/2004 yang diteken As'ad Said Ali—waktu itu Wakil Kepala Badan Intelijen Negara—tersebut dialamatkan kepada Direktur Utama Garuda. "Lama sekali Indra baru menyebut nama As'ad. Sepertinya dia takut," ujar perwira polisi ini.
Indra tak bisa dimintai konfirmasi. Telepon selulernya aktif, tapi ia sama sekali tak mengangkat ataupun membalas pesan pendek Tempo. Pria kelahiran Jakarta pada 1951 ini telah pindah dari kediamannya di Jalan Taman Meruya Ilir, Jakarta Barat. "Pak Indra sudah lama pindah," kata pria paruh baya yang tinggal berdampingan dengan rumah Indra di Meruya Ilir, Jumat dua pekan lalu.
Seusai pemeriksaan Indra, Juni 2007, Bambang Hendarso mengatakan ada keterangan beberapa saksi yang betul-betul bisa membuka peristiwa pembunuhan Munir. Tapi ia tak menyebut identitas saksi itu. Penyidik kasus Munir ini bercerita, mulanya polisi kesulitan mengorek keterangan Indra mengenai keterkaitan BIN dengan insiden pembunuhan Munir. Padahal polisi sudah berkali-kali membujuknya. Bahkan, dalam empat kali pemeriksaan sebagai saksi pada Februari 2005, Indra tak pernah mengungkap keberadaan surat lembaga spionase itu.
Hati Indra baru luluh setelah polisi mengetahui kedoknya yang merahasiakan identitas istri siri dan anaknya di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. "Anda melakukan kejahatan memalsukan identitas. Anak Anda dibawa-bawa," ucap penyidik kepada Indra. Akhirnya, kata dia, Indra tersentuh dan bersedia menjelaskan peran BIN dalam kasus Munir.
Indra bercerita kepada penyidik bahwa dia menerima surat BIN dari Polly di Restoran Bengawan Solo, lantai dasar Hotel Sahid, Jakarta, pada Juli 2004, dua bulan sebelum peristiwa kematian Munir. Waktu itu ia sudah janjian bertemu dengan pilot yang dikenalnya sejak 2003 ini. Saat-saat itu pula Indra dan Polly kian akrab.
Mulanya Polly memaparkan kepada Indra ihwal pelbagai kelemahan operasi penerbangan Garuda, seperti penumpang yang menghilangkan paspor agar bisa mencari suaka ke negara lain, adanya penumpang gelap tanpa tiket, dan awak pesawat yang kerap menyelundupkan barang terlarang. Lantas Polly menyatakan kesediaannya membantu maskapai penerbangan nasional itu. Ia lalu menyodorkan amplop tertutup kepada Indra, yang ternyata berisi surat rekomendasi BIN.
Di situ tertulis Garuda sebagai perusahaan negara yang strategis mengemban peran terdepan dalam menangkal ancaman terorisme sehingga butuh kerja sama lintas lembaga. Untuk itu, As'ad merekomendasikan agar Polly diberi tugas sebagai anggota pengamanan internal Garuda. Polly, yang dimintai konfirmasi, menampik adanya surat rekomendasi BIN. "Itu semua rekayasa," ujarnya di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Rabu dua pekan lalu—sebelum Polly bebas bersyarat setelah menjalani dua pertiga masa hukumannya.
Menurut Indra, setelah menerima surat As'ad, ia tak langsung meresponsnya. Lulusan teknik mesin Institut Teknologi Bandung pada 1976 ini mengaku baru menindaklanjutinya setelah mendapat tekanan dari pejabat BIN. Indra menandatangani surat penugasan kepada Polly sebagai anggota pengamanan internal Garuda pada 11 Agustus 2004.
Inilah satu-satunya surat penugasan pengamanan internal yang pernah diteken Indra sebagai Direktur Utama Garuda. Sebab, biasanya surat penugasan untuk anggota pengamanan internal ditandatangani Wakil Direktur Bidang Keamanan Garuda Ramelgia Anwar. "Tugasnya adalah membantu Garuda dalam memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan internal security," kata Indra kepada penyidik. Polly membantah adanya surat penugasan itu.
Berdasarkan surat itu, Polly mengubah jadwal penerbangan pada 6 September 2004. Semula ia dijadwalkan terbang ke Beijing pada tanggal itu. Namun ia pindah ke penerbangan Garuda 974 menuju Singapura—satu pesawat dengan Munir.
As'ad mengatakan penyidik pernah menanyakan kebenaran surat itu saat diperiksa sebagai saksi enam tahun lalu. Tapi ia membantahnya dan meminta polisi menunjukkan surat itu jika betul ada. "Mereka enggak bisa nunjukin karena sudah hilang," ujar As'ad bulan lalu.
Tiga tahun sebelum As'ad diperiksa, surat asli BIN itu sudah raib bersama tas Indra. Mobil BMW milik Indra yang diparkir di Hotel Sahid, Jumat, 31 Desember 2004, dibobol maling. Indra menyimpan surat tersebut di dalam mobilnya. Surat itu ia masukkan ke tas, lalu ditumpuk dengan aneka tagihan, majalah, alat tulis, tongkat pendek, dan batu-batuan.
Meski surat penugasan telah raib, polisi "menghidupkan" surat itu ketika membongkar komputer di ruang kerja Deputi Bidang Penggalangan BIN Muchdi Purwoprandjono pada 2008. Kopian dari arsip surat itulah yang dipegang Tempo, lalu diperlihatkan kepada As'ad. Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini lagi-lagi membantahnya. Ia mengatakan kopian surat berkop BIN itu bukan buatan lembaganya. Alasan dia, tak ada dasar perintah di dalam surat dan ukuran huruf surat keluaran BIN lebih besar ketimbang karakter tulisan di lembar kopian tersebut. "Siapa saja bisa bikin," katanya.
Sejak bebas pada 2008, Indra tampaknya tak nyaman tinggal di kediamannya di Meruya Ilir. Rumah satu tingkat di Jakarta Barat itu ia tinggalkan sampai sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo