Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rambut gondrong sebahu dan berkumis. Hanya itu informasi yang ada. Padahal lelaki ini menjadi saksi kunci kematian Munir Said Thalib, aktivis hak asasi manusia yang diracun saat terbang menuju Belanda dari Jakarta. Keterangan saksi menyebutkan pria berbadan tinggi ini berbincang dengan Munir dan Pollycarpus Budihari Priyanto di The Coffee Bean & Tea Leaf, Nexus Lounge, Bandar Udara Changi, Singapura, pada dinihari 7 September 2004. Saksi juga menyebutkan bahwa mereka makan sesuatu.
Kesaksian itu antara lain diungkapkan oleh Asrini Utami Putri, salah seorang penumpang kelas bisnis Garuda Indonesia rute Jakarta-Amsterdam, yang juga ditumpangi Munir. Namun keterangan wanita yang kini tinggal di Frankfurt, Jerman, itu dianggap angin lalu. Sebab, hasil forensik menyebutkan racun arsenik pembunuh Munir masuk lewat makanan saat di atas pesawat. Walhasil, keberadaan pria gondrong itu dicoret dari daftar pemeriksaan.
Tiga tahun setelah kematian Munir, kesaksian Asrini mulai dibuka lagi. Gara-garanya hasil forensik teranyar menyebutkan racun masuk ke tubuh Munir diperkirakan pada waktu ia transit di Singapura. "Radar langsung mengarah ke Coffee Bean," kata seorang penyidik yang menangani kasus Munir, Senin dua pekan lalu. Makanya mereka perlu mencari tahu identitas pria gondrong misterius itu.
Asrini kembali dimintai keterangan. Penyidik menuturkan, kesaksian Asrini masih sama dan detail seperti pemeriksaan pertama. Akhirnya ia diikutkan dalam rekonstruksi di Singapura. Sayangnya, dua tahun setelah kejadian, Coffee Bean di Changi sudah raib dan tak ada jejak kamera pengawas. Asrini menolak diwawancarai Tempo. "Aku sudah kubur soal Munir sedalam-dalamnya," ujarnya melalui pesan pendek, Selasa tiga pekan lalu.
Penyidik pun memutuskan menggunakan metode manual, yaitu mencocokkan boarding pass penumpang dengan data imigrasi. Mereka sampai begadang di Kantor Imigrasi Wilayah Jakarta Timur. Untungnya, pria itu memiliki ciri fisik spesifik, yaitu rambut panjang, sehingga mudah dikenali. "Setelah empat hari ubek-ubek, ketemulah nama Ongen Latuihamallo," ucapnya.
Pada 1980-an, pria ini adalah penyanyi pop, meski tidak terlalu terkenal. Sejumlah lagu dia ciptakan. Ia juga merambah ke musik rohani untuk gereja. Keluarga Latuihamallo memang dekat dengan dunia tarik suara. Keponakan Ongen adalah penyanyi terkenal, yaitu Glenn Fredly Latuihamallo. Menurut keterangan sejumlah kerabatnya, Ongen banyak menghabiskan waktu di Belanda.
Wartawan Tempo Asmayani Kusrin pada April 2007 menelusuri keberadaannya di Belanda. Namun mencari Ongen bukan perkara mudah. Di Negara Kincir Angin, ada 64 kampung Ambon atau biasa disebut wijk. Di situ ada tak kurang dari 30 ribu keturunan Ambon. Hampir semua orang Ambon yang ditemui mengenal Ongen, tapi mereka tidak tahu dia di mana. Pria ini memang kerap manggung di Belanda, khususnya pasar malam pesta tahunan orang Indonesia di Belanda.
Penelusuran di Belanda mempertemukan Tempo dengan seorang pria yang mengaku mendapat perintah dari seorang perwira di Indonesia untuk mencari Ongen. Lelaki yang sudah tinggal selama sepuluh tahun di Belanda ini mengenal Ongen sejak 2003. Ia membawa pesan untuk Ongen agar berhati-hati karena dia dicari lantaran kasus Munir.
Ongen rupanya sudah pulang ke Indonesia pada 30 Maret 2007. Ia menjalani pemeriksaan selama empat hari di Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya. Pada 4 April, ia kembali ke Belanda untuk memenuhi undangan beberapa gereja. Si Gondrong kembali lagi ke Tanah Air pada 20 April melalui Kuala Lumpur, Malaysia.
Dua penyidik menunggunya di sana. Tengah malam pada 20 April itu, Ongen dan dua penjemputnya tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Di sinilah terjadi insiden. Seorang penyidik menuturkan, dua pria berusaha merebut sang musikus dari tangan polisi. "Sempat terjadi tarik-menarik," ujarnya. Sejak itulah Ongen dan keluarganya masuk perlindungan saksi dengan pengamanan ketat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo