Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berkaus oblong hitam, Pollycarpus Budihari Priyanto berjalan santai keluar dari penjara Sukamiskin, Bandung. Sabtu dua pekan lalu, kendati tampak tua—dengan rambut dipenuhi uban—wajah bekas pilot Garuda itu sumringah. Kacamata gelap bertengger di hidungnya. Senyumnya juga mengembang saat ia disapa sejumlah wartawan.
"Banyak yang meminta saya terbang lagi, mengelola penerbangan," kata Pollycarpus saat ditanya tentang rencananya setelah menjadi "manusia bebas" kembali. Dia kemudian menuju taksi Gemah Ripah, yang rupanya sudah menunggunya. Dan, wuss, ia pun menghilang.
Pollycarpus divonis 14 tahun penjara karena, menurut hakim, terbukti membunuh Munir Said Thalib. Ditahan sejak 25 Januari 2008, setelah dikurangi masa tahanan selama setahun saat persidangan, Polly semestinya baru bebas pada 2021. Namun akhir November lalu dia sudah bebas. Polly mendapat pembebasan bersyarat. Ia bisa bebas lebih cepat lantaran memperoleh remisi alias pengurangan hukuman dengan jumlah terhitung "besar"—total 51 bulan 80 hari atau setara dengan empat setengah tahun. Maka, dihitung dari masa penahanannya, ia praktis hanya menjalani hukuman delapan tahun penjara.
Dari data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pollycarpus rata-rata mendapat dua kali remisi dalam setahun, yakni remisi umum, remisi khusus, dan remisi tambahan. Jumlah remisi itu terus meningkat tiap tahun. Pada 2009, misalnya, ia menerima remisi umum 3 bulan dan remisi tambahan 2 bulan 15 hari. Pada 2013 dan 2014, dia menerima remisi umum 6 bulan, remisi tambahan 2 bulan, plus remisi khusus 2 bulan. Remisi khusus diberikan saat "HUT Proklamasi" dan kala hari raya keagamaan. Adapun remisi tambahan diberikan lantaran terpidana dinilai telah membantu kegiatan pembinaan di penjara. Kepada Tempo, saat ditemui di penjara Sukamiskin dua pekan lalu, Polly mengaku menjadi instruktur Pramuka.
Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Hukum dan HAM Jawa Barat Giri Purbadi menegaskan, remisi untuk Polly sudah melalui prosedur. "Remisi enam bulan diberikan setelah menjalani hukuman lima tahun ke atas," katanya. Giri juga memastikan proses persetujuan bebas bersyarat bagi Pollycarpus sudah melalui Tim Pengamat Pemasyarakatan Penjara Sukamiskin dan dibahas hingga dua tahun.
Banyaknya korting hukuman untuk Polly itu diprotes sejumlah aktivis HAM. Suciwati, istri Munir, juga geram terhadap "hujan remisi" yang diterima Polly. "Sistem hukum Indonesia busuk, mau bilang apa?" ujar Suci. Dia menilai pemerintah tidak memiliki komitmen menuntaskan kasus ini, mengungkap aktor intelektual pembunuh suaminya.
Ridwan Mansyur mengingat-ingat kembali proses musyawarah hakim menjelang putusan perkara Pollycarpus pada Desember 2005. Ketika itu, musyawarah berlangsung alot. Menurut Ridwan saat itu, sebagai hakim anggota, dia mengajukan dissenting opinion atau pendapat berbeda dengan empat hakim lain.
Bagi Ridwan, meski selama sidang diuraikan sejumlah fakta, kasus terbunuhnya Munir tetap menyisakan sejumlah pertanyaan. Misalnya berapa banyak dan di mana persisnya racun arsenik diberikan—meski dakwaan jaksa menyebutkan racun diberikan saat Munir makan di pesawat Garuda dari Singapura menuju Belanda. "Vonis dari saya sebenarnya jauh lebih tinggi." Tapi ia kalah suara. "Lagi pula saat itu berbeda pendapat belum populer," ujar Ridwan, kini Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Jumat dua pekan lalu.
Vonis Pollycarpus bak perjalanan roller coaster, naik tinggi, "menukik" dan naik lagi, lalu turun lagi. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 20 Desember 2005 memvonis Polly 14 tahun penjara—dari tuntutan jaksa hukuman seumur hidup. Dia dinyatakan terbukti membunuh Munir dan memalsukan surat tugas demi memuluskan aksinya. Tapi pengadilan banding, tiga bulan kemudian, menurunkan hukuman itu menjadi empat tahun penjara. Lalu majelis kasasi Mahkamah Agung pada 3 Oktober 2006 mengkortingnya lagi menjadi dua tahun penjara. Polly dinyatakan hanya terbukti memalsukan surat tugas sebagai aviation security Garuda.
Selama setahun, polisi kembali bekerja mengurai puzzle untuk menguak kasus Munir. Berbekal novum alias bukti baru hasil penyelidikan polisi, pada 2007, kejaksaan mengajukan upaya hukum terakhir: permohonan peninjauan kembali (PK). Salah satu novum itu ialah racun arsenik diduga masuk (intake) kala Munir berada di Bandar Udara Changi, Singapura, pada 7 September 2004, beberapa jam sebelum kematiannya. Novum inilah yang dimasukkan ke berkas memori PK.
Berkas memori PK itu sendiri kemudian diperiksa dalam sidang pemeriksaan berkas dan saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di pengadilan, seperti tertulis dalam laporan majalah Tempo pada 2007, Polly menyatakan bahwa ia segera menuju Hotel Novotel Apollo bersama awak lain setelah pesawat mendarat di Changi. Tapi, seperti tertulis dalam memori peninjauan kembali, ada dua saksi yang melihat Polly tetap berada di ruang transit bersama Munir. Dua saksi itu, Asrini Utami Putri, mahasiswi Indonesia di Jerman penumpang kursi 2J, dan Raymond "Ongen" Latuihamallo, pemusik yang duduk di kursi 50H, di pesawat Garuda 974 rute Jakarta-Amsterdam yang transit di Bandara Changi itu.
Kepada polisi, Asrini mengatakan melihat Pollycarpus, Munir, dan Ongen di The Coffee Bean & Tea Leaf di Bandara Changi. Mereka, kata Asrini, duduk menghadap ruang merokok dan money changer. Adapun Ongen menyatakan melihat Pollycarpus meninggalkan tempat pemesanan sambil membawa dua gelas minuman. Setelah itu, menurut Ongen, Pollycarpus dan Munir berbincang-bincang sambil minum. Keterangan inilah yang dijadikan bukti baru oleh kejaksaan untuk menjerat Pollycarpus. "Jamuan" di The Coffee Bean itu diduga sebagai saat masuknya racun arsenik ke tubuh Munir.
Pollycarpus sendiri membantah jika disebut duduk bersama bahkan mengenal Ongen. Belakangan, dalam sidang pemeriksaan berkas, Ongen mencabut keterangannya di berita acara pemeriksaan. Alasannya, dia ditekan dan diancam penyidik saat dimintai keterangan yang kemudian dijadikan berita acara pemeriksaan.
Andriani Nurdin, hakim pemeriksaan berkas, memerintahkan jaksa memanggil saksi verbalisan, yakni penyidik yang memeriksa Ongen. Brigadir Jenderal Mathius Salempang, ketua tim penyidik, kemudian hadir di pengadilan. Hakim mengkonfrontasi keduanya, Ongen dan Mathius. "Ini proses standar ketika saksi mengatakan ditekan saat penyidikan," ujar Andriani kepada Tempo saat dihubungi, Senin pekan lalu. Hanya, Andriani mengaku tidak ingat lagi hasil konfrontasi tersebut. "Kejadiannya sudah lama. Harus lihat lagi arsipnya," ucap hakim yang kini menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Mataram ini.
Berkas peninjauan kembali itu kemudian dikirim ke Mahkamah Agung. Majelis peninjauan kembali, yang dipimpin Bagir Manan, pada 25 Januari 2008 memvonis Pollycarpus 20 tahun penjara. Ada beda pendapat dalam putusan itu. Situs putusan.mahkamahagung.go.id menyebutkan Parman Suparman dan Harifin A. Tumpa, dua dari lima hakim agung, menyatakan vonis Pollycarpus tidak boleh lebih dari putusan tertinggi dari peradilan di bawahnya, yakni 14 tahun. Tapi keduanya kalah suara.
Pollycarpus melawan vonis itu. Menurut Wirawan Adnan, pengacara Pollycarpus, kliennya melakukan perlawanan, antara lain, karena permohonan upaya hukum luar biasa itu sebenarnya hak terpidana dan ahli warisnya. Polly juga berkukuh tidak berada di Coffee Bean. Dia mengajukan novum yang menguatkan ia tidak berada di kedai kopi tersebut. "Saksinya itu para awak kabin Garuda bersama-sama klien kami ke Hotel Novotel," ujar Wirawan. Upaya Polly tak sia-sia. Majelis peninjauan kembali, yang dipimpin Zaharuddin Utama, pada 2 Oktober 2013 menjatuhkan vonis 14 tahun terhadap Pollycarpus—lebih rendah daripada vonis sebelumnya.
Vonis ini juga sama dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2005. Meski kliennya sudah menjalani hukuman dan diganjar remisi, Wirawan mengaku pihaknya hingga kini tetap masih menyisakan pertanyaan, yakni siapa dalang pembunuhan Munir. "Pertanyaan kami sama seperti keluarga Munir," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo