Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sampul Simbolik, Heboh, dan Nakal

Sampul-sampul majalah Tempo memanfaatkan karya seni rupa terkenal untuk menarik perhatian pembaca. Ada yang lucu, ada pula yang terganggu.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOM molotov yang dilempar orang tak dikenal itu membakar sedikit lantai teras kantor majalah Tempo pada Selasa, 6 Juli 2010. Tak ada korban, memang, tapi menyisakan kecemasan bagi beberapa karyawan. Kendra Paramita, ilustrator yang biasa membuat gambar sampul majalah Tempo, pulang sore sejak insiden tadi. Padahal tak jarang dia pulang larut malam. ”Saya cukup khawatir dengan kejadian tersebut,” kata lelaki lajang bertubuh kurus itu.

Kekhawatiran itu bisa dipahami. Dialah yang membuat gambar sampul majalah edisi 28 Juni-4 Juli 2010 berjudul ”Rekening Gendut Perwira Polisi” yang sempat membuat heboh. Sampul itu bergambar seorang pria berseragam cokelat menghela tiga celengan babi. Laporan utamanya mengangkat soal sejumlah rekening mencurigakan milik beberapa jenderal polisi.

Bagi pihak kepolisian, bukan isi berita yang dipersoalkan, melainkan gambar sampul itu, yang dianggap melecehkan. ”Sampul itu membuat seluruh polisi tersinggung perasaannya,” kata Kepala Divisi Humas Markas Besar Kepolisian RI Inspektur Jenderal Edward Aritonang pada saat itu. Kepolisian lantas mengirim surat teguran kepada Tempo untuk menenteramkan jiwa 406 ribu personel kepolisian yang tersebar di seluruh wilayah.

Beberapa pihak menilai pelemparan bom molotov itu terkait dengan gambar sampul tersebut. Tapi Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri membantahnya. Hingga kini, siapa pelaku pelemparan bom itu tak juga terungkap.

Kendra, yang selalu melakukan riset sebelum membuat rancangan sampul, menyatakan ce­lengan berupa babi itu simbol yang pas, karena dapat menjadi lambang dari rekening sekaligus hewan peliharaan, sehingga mudah diolah dalam berbagai tampilan.

Sampul majalah Tempo memang sering bermain-main dengan simbol dan karya seni rupa ikonik. Dalam seni visual, teknik ini disebut apropriasi, yakni mengadopsi, meminjam, atau mendaur ulang—sebagian atau seluruhnya—suatu karya, bisa berupa lukisan, patung, atau lainnya.

Tempo, dalam hal ini, banyak meminjam adikarya seniman dunia untuk gambar sampulnya dan mengubah unsur-unsurnya agar sesuai dengan tema yang diangkat. Keuntungannya adalah gambar tersebut akan segera menarik perhatian pembaca—satu langkah penting dalam strategi komunikasi.

Salah satu apropriasi yang dilakukan Tempo dan juga sempat membuat heboh adalah gambar sampul edisi 4-10 Februari 2008. Sampul berjudul ”Setelah Dia Pergi” itu menggunakan komposisi The Last Supper (”Perjamuan Terakhir”), lukisan dinding di sebuah biara di Milan karya Leonardo da Vinci, yang menggambarkan perjamuan makan malam Yesus bersama 12 muridnya sebelum penyaliban.

Kendra, yang juga menggambar sampul yang kemudian dianggap kontroversial itu, sebenarnya hanya meminjam komposisi dari karya Da Vinci tersebut, dan mengganti tokoh-tokohnya dengan mantan presiden Soeharto yang dikelilingi enam anaknya di sebuah meja panjang. ”Lukisan karya Da Vinci itu sangat pas untuk menggambarkan sebuah keluarga besar yang sedang berkumpul untuk terakhir kalinya,” kata dia.

Namun, beberapa pihak, seperti Delegasi Pemuda Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia, dan Persatuan Gereja-gereja di Indonesia, keberatan dengan gambar sampul tersebut. Toriq Hadad, pemimpin redaksi saat itu, menyatakan Tempo sama sekali tak berniat melecehkan agama mana pun dengan ilustrasi tersebut. ”Kami membuat gambar itu sebagai interpretasi atas lukisan Da Vinci, bukan mengilustrasikan kejadian di Kitab Suci,” kata Toriq.

Pertemuan redaksi Tempo dengan beberapa wakil umat Katolik pun digelar di kantor majalah ini. Meski pada mulanya diskusi berlangsung cukup panas, semua pihak akhirnya bisa keluar dari ruang rapat dengan berjabat tangan. Toriq menyatakan permintaan maaf jika gambar itu telah menyinggung perasaan sebagian umat Katolik.

l l l

Sudah lama majalah Tempo menggunakan simbol-simbol dalam ilustrasi sampulnya. ”Karena tema yang diangkat sebagai cover story biasanya cukup kompleks, gambar sampulnya tidak bisa diwakili figur seseorang atau sebuah foto peristiwa. Lebih tepat dengan menampilkan ilustrasi secara simbolik,” kata S. Malela Mahargasarie, Kepala Desain Korporat Tempo.

Bedanya, penggunaan simbol setelah reformasi relatif lebih berani. Sekarang, misalnya, Tempo bisa menampilkan gambar wajah Ani Yudhoyono di sampul edisi 10-16 Januari 2011 yang berjudul ”Ancang-ancang Ibu Presiden”.

Atau sampul edisi 25-31 Oktober 2010 dengan judul ”Polah Ring 1 SBY” yang menyajikan kepala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terbelah dan di dalamnya ada kepala lain yang juga terbelah, lalu di dalamnya ada kepala lain lagi. Desain ini meminjam komposisi dari poster Cold Souls, film fiksi ilmiah yang disutradarai Sophie Barthes. Saat itu tak ada protes dari pemerintah. Sukar dibayangkan kalau gambar seperti ini muncul di era Orde Baru.

Dalam menentukan gambar sampul, biasanya ada rapat kecil antara pemimpin redaksi, redaktur desain visual, dan koordinator fotografer. Mereka membahas isu yang akan jadi laporan utama dan bagaimana menyajikannya secara visual. Di sanalah para desainer mengajukan usul. Bila usul diterima, ilustrator akan merealisasi rancangan sampul tersebut. Saat ini, dengan adanya perangkat lunak Adobe Photoshop, desainer dengan cepat dapat membuat sekitar tiga alternatif gambar dalam format digital, sehingga pemimpin redaksi dapat melihat bentuk rancangan visualnya secara nyata di layar monitor komputer sebelum memutuskan rancangan yang akan digunakan.

Dalam sejarahnya, desain sampul Tempo mengalami beberapa kali perubahan sejak terbit pada 6 Maret 1971. Perubahan paling besar dan mendasar terjadi ketika majalah ini terbit kembali pada 12 Oktober 1998, dengan menghilangkan garis merah yang membingkai sampul dan selama itu dianggap sebagai ciri majalah Tempo. Merencanakan perubahan yang radikal tersebut ketika itu tentu tidaklah gampang. Banyak tentangan, baik dari internal maupun eksternal (para agen). Perdebatan pun cukup alot, antara yang setuju dan tidak setuju. Namun, dengan alasan kebaruan dan keberbedaan—setelah Tempo dibredel, banyak majalah yang beredar menggunakan bingkai merah—pimpinan Tempo akhirnya menyetujui usul rancangan sampul Tempo baru tanpa bingkai merah.

Merancang kemunculan kembali majalah Tempo pada 1998 merupakan tekanan psikologis tersendiri, tidak hanya pada redaksi, tapi juga bagi tim desain visual. Beban mental untuk menerbitkan majalah yang baik, sebagaimana ekspektasi masyarakat, tapi dengan jumlah awak yang minim, memaksa tim produksi bekerja ekstrakeras. Pembahasan tentang topik apa yang akan dimunculkan pada edisi perdana dan gambar sampulnya seperti apa merupakan hari-hari perdebatan yang panjang dan seru. Bahkan hingga kini.

Syukur, kerja keras tim visual dan redaksi Tempo telah membuat majalah ini meraih berbagai penghargaan untuk desainnya, seperti penghargaan perak pada Pressmart Indonesia Print Media Award 2010, peringkat pertama Sampul Depan Majalah Terbaik pada Kongres Penerbitan Asia Pasifik 1986, dan peringkat kedua pada kongres serupa 1990.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus