Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tegaklah sebuah bukit. Di situ terbentang pula Taman Buru Masigit Kareumbi, tempat kelompok pencinta alam Wanadri mendirikan sebuah monumen. Mereka menamai lokasi itu Bukit Yusril—diambil dari nama wartawan senior Tempo, Yusril Djalinus, yang meninggal pada 2 Februari 2009.
Menurut salah satu anggota Wanadri, Fahrizal, monumen dan nama bukit itu merupakan bentuk penghargaan terhadap Yusril atas dedikasinya membesarkan perkumpulan pendaki gunung yang bermarkas di Bandung ini. ”Beliau senior yang amat berjasa terhadap Wanadri,” kata Fahrizal.
Di Bukit Yusril ditanam 999 batang pohon mahoni yang diharapkan akan bisa menghijaukan kawasan tersebut. Sebelumnya bukit ini dikelola oleh Letnan Jenderal (Purnawirawan) Ibrahim Adji, mantan Pangdam III/Siliwangi. Lama tak terurus, bukit itu gundul sampai dihijaukan kembali bersamaan dengan pemasangan monumen Yusril.
Turut mendirikan Tempo pada 1971, Yusril Djalinus adalah arsitek sistem manajemen modern Tempo. Dia membuat pembagian sesuai dengan kaidah modern dan merancang penilaian prestasi yang mengacu pada meritokrasi. Yusril adalah arsitek sistem koordinasi reportase, lembaga yang menjadi urat nadi peliputan sebuah majalah berita. Dan dia chief reporter atau koordinator reportase pertama. Dari sistem pendidikan internal yang digagasnya, lahir banyak wartawan andal yang kemudian memimpin Tempo atau tersebar memimpin sejumlah media penting di Tanah Air.
Saat Tempo dibredel pada 1994, Way Di (dari inisialnya, YD)—demikian kami memanggilnya—ikut melahirkan Tempo Interaktif. Dan tatkala Tempo terbit kembali setelah rezim Soeharto tumbang pada 1998, Yusril berada di garis depan—ikut menggagas Koran Tempo dan turut melahirkan Tempo News Room dan TV Tempo.
SEJUMLAH kawan kami memang telah tiada, tapi semangat mereka—juga apa yang mereka lakukan bersama kami—tetap tinggal bersama dan dalam kenangan kami.
Sebelum Yusril, kami juga kehilangan Ahmad Wahib. Dia masuk wartawan generasi pertama majalah ini, cerdas dan gemar berdiskusi. Meninggal pada 1977 dalam usia 31, anak muda itu ditabrak kendaraan hanya beberapa puluh meter dari tempat kerja yang ia cintai: Tempo. Beberapa bulan setelah Wahib meninggal, catatan hariannya diterbitkan dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Buku ini laris di pasar dan menjadi bahan diskusi kalangan intelektual muda Islam.
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang meresensi buku itu, mengutip sebuah catatan Wahib. ”Aku bukan nasionalis, bukan Katolik. Aku bukan Buddha, bukan Protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat” (halaman 46). Alangkah mulianya pribadi Ahmad Wahib, dan alangkah sempurna kemuslimannya, tulis Gus Dur.
Generasi awal Tempo yang juga meninggal pada 1977 adalah Husni Alatas. Wartawan asal Toli-toli berusia 37 tahun itu meninggal saat pesawat yang ditumpanginya, DHC-6 Twin Otter milik Merpati Nusantara Airlines, jatuh di Pegunungan Tinombala, Sulawesi Tengah, pada 29 Maret 1977. Padahal dua puluh menit lagi mestinya pesawat itu sudah mendarat di tanah kelahiran Husni.
Yang juga meninggal karena kecelakaan pesawat adalah Burhan Piliang, bekas fotografer majalah Tempo. Burhan, 55 tahun, tewas saat membuat film dokumenter Perusahaan Listrik Negara. Heli Bolcow HS 7060 milik TNI Angkatan Darat yang disewanya jatuh di kawasan Gunung Sibayak, Deli Serdang, Sumatera Utara, pada 22 Agustus 1994.
Sepuluh tahun kemudian, 21 April 2004, Donny Metri, 45 tahun, menyusul rekan-rekannya yang telah berpulang. Fotografer andal itu meninggal karena penyakit lever. Seorang fotografer, Daniel Supriyono, menulis komentar dalam fotografernet sehari setelah Donny meninggal. ”Saya mengenang Donny Metri lewat fotonya tentang ’Bentrokan’ saat demo menolak pembredelan Tempo, Detik, Editor 1994. Saat itu saya bersama Donny meliput di kawasan Medan Merdeka Barat. Foto karya Donny itu menjadi inspirasi bagi saya untuk merekam foto tentang bentrokan. Kala itu foto tema bentrokan masih amat langka.”
Dalam demo tersebut, Donny berhasil mengabadikan kekejaman tentara yang mematahkan kaki seniman Semsar Siahaan. Foto ini kemudian menjadi salah satu sarana kampanye peneÂgakan hak asasi manusia di Indonesia.
Tahun lalu, Tempo kembali kehilangan anggota keluarga: Budiman S. Hartoyo. Lewat blognya, budimanhartoyo.blog.com, Mas Bud, begitu kami memanggilnya, tak pernah lelah membimbing siapa pun yang berminat menekuni jurnalistik. Dia juga dikenal sebagai pendiri Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi.
Dari dunia desain Tempo, hadirlah nama Syarinur Prinka, seniman dan perancang grafis yang bergabung dengan Tempo sejak 1977. Ide-ide cover Prinka kerap mengundang decak kagum pembaca dan kerap menjadi bahan kajian skripsi para mahasiswa desain.
Menurut kritikus seni Agus Dermawan T., dalam berkarya Prinka selalu berhasil menunjukkan pemahamannya atas psikologi sosial masyarakat. ”Prinka orang yang tepat untuk itu,” tulis Agus dalam harian Kompas, 23 Desember 2004, sehari setelah Prinka meninggal. Sampai akhir hayatnya, dia banyak memberi masukan ide untuk tampilan Tempo.
Banyak memang teman kami yang telah wafat. Dari generasi awal ada nama Herry Komar yang bergabung sejak Tempo berdiri. Dia tak kuat menahan serangan jantung pada pertengahan Februari 2006. Setelah Tempo dibredel, bersama sejumlah wartawan Tempo lain, Herry mendirikan majalah Gatra sebelum kemudian, pada 1999, dia keluar dari majalah itu dan mendirikan majalah berita Gamma.
Sejumlah tokoh lain yang ikut menegakkan dan jatuh-bangun bersama Tempo juga telah tunai usianya. Salah satu nama penting yang perlu disebut adalah Eric Samola—pemimpin perusahaan pertama Tempo. Eric pula yang melahirkan koran Jawa Pos serta menunjuk wartawan Tempo di Jawa Timur, Dahlan Iskan, untuk memimpin koran itu.
Dari bidang bahasa ada nama legendaris, Slamet Djabarudi. Redaktur Bahasa Tempo ini bertugas menjaga bahasa Tempo agar enak dibaca, akurat, dan benar. Dia pun diundang berbagai lembaga untuk memberi ceramah perihal bahasa Indonesia. Slamet meninggal pada 1994 karena serangan jantung.
Di bagian dokumentasi di masa dulu, ada nama Suminto Rahardjo, yang biasa dipanggil ”Mbah”, serta Zubaedi. Keduanya staf biasa yang kami kenang sebagai pribadi yang kaya humor dan teman bicara yang asyik. ”Mereka tempat kami berkeluh-kesah dan menjadi juru damai jika di antara kami ada perselisihan,” ujar Daryono dari dokumentasi foto, dan Soleh, anggota staf perpustakaan.
Tatkala melepas Yusril pergi, pendiri Tempo, Goenawan Mohamad, berbicara juga tentang teman-teman lain yang sudah menutup umur. Katanya, ”Mereka tidak pergi, mereka hanya pulang.”
38 DI SEPANJANG 40
- Eric Samola (direktur utama)
- Mahtum (direktur)
- Yusril Djalinus (direktur)
- Ahmad Wahib (wartawan)
- Husni Alatas (wartawan)
- Helman Eidy (wartawan)
- Yunus Kasim (wartawan)
- Bastari Asnin (wartawan)
- Sigit Haryoto (wartawan)
- D.S. Karma (wartawan)
- Yulizar Kasiri (wartawan)
- Zakaria M. Passe (wartawan)
- Amir Daud (wartawan)
- Monaris Simangunsong (wartawan)
- Budiman S. Hartoyo (wartawan)
- S. Prinka (desainer)
- Ahjar Abbas Ibrahim (fotografer)
- Herry Komar (wartawan)
- Donny Metri (fotografer)
- Burhan Piliang (fotografer)
- Rudy Priatna Singgih (fotografer)
- Ali Said (fotografer)
- Zubaedi (dokumentasi)
- Suminto Rahardjo (dokumentasi)
- Alex Korompis (pracetak)
- Abdul Rahman (teknologi)
- Slamet S. Djabarudi (bahasa)
- Dody Hidayat (keuangan)
- Hiujana Prajna (keuangan)
- Dian Novita (pusat data)
- Erlin Soekarno (wartawan)
- Firmiani Darsjaf (wartawan)
- Soewardi (teknologi)
- Syahwil (staf artistik)
- Djoefri Tanissan (wartawan)
- Sumantri Saputro (keuangan)
- Eltico Prakoso (teknologi)
- Dinar (sekretaris tata muka)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo