Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAJALAH ini dulu punya tagline: ”Majalah Berita Bergambar”. Julukan resmi itu sejak edisi pertama pada 1971 sudah ditaruh di masthead, di atas nama para direktur dan redaktur. Kalimat tersebut ingin menegaskan bahwa selain berita, gambar atau foto adalah hal penting yang harus dijual. Meski tagline itu kemudian hilang dan dipakai oleh majalah lain (Jakarta Jakarta), kesatuan antara foto dan teks tak pernah terpisahkan.
Alkisah, di suatu siang, ketika awak Tempo sedang mempersiapkan kelahiran majalah ini di kantor Senen, datanglah seorang pria. Ia mengendarai sepeda motor Ducati, memakai topi kulit biker, dan berteriak dari halaman depan kepada para anggota redaksi yang sebagian sudah dikenalnya baik: ”Gua gabung!” Dialah Lukman Setiawan, juru foto olahraga di sebuah koran besar.
Tentu saja dia diterima dengan senang hati. Karya pertamanya adalah foto Minarni di kulit muka Tempo edisi percobaan, Januari 1971. Foto terbaik yang dia hasilkan dari enam kamera dan 12 lensa tele yang ia bawa ke Asian Games di Bangkok pada 1970. ”Kali ini tak ada satu pun momen yang akan saya lewatkan,” katanya.
Meski membawa enam kamera, di masthead namanya tak berada di kolom fotografer, melainkan anggota redaksi. Dialah redaktur olahraga pertama. ”Waktu disuruh nulis, ternyata tulisannya bagus, ya salah sendiri,” kata Fikri ÂJufri, anggota Dewan Redaksi Tempo saat itu. Fotografer inilah yang menulis cover story legendaris di edisi tjuma2 itu: ”Bunyi ’Kraak” dalam Tragedi Minarni”.
”Fotografer itu harus paham konsep-konsep penulisan,” kata Ed Zoelverdi, redaktur foto pertama Tempo. Dari jemari pria yang menciptakan istilah ”Mat Kodak” (sebagai ganti kata ”fotografer”) itu muncul sejumlah cover story, seperti tentang Ali Sadikin, Bing Slamet, Rendra, Benyamin S., dan Titiek Sandhora. Bahkan, pada Februari 1972, Ed mengomandani cover story tentang matinya fotografi. Sebuah lecutan bagi para fotografer Indonesia saat itu agar lebih berkembang.
Tentu saja, menulis adalah sampingan. Tugas utama juru foto adalah bagaimana membuat foto menjadi berita. Pada awalnya Ed menyerap konsep foto di majalah Life. ”Foto untuk majalah berita harus ikut konsep berita. Perkara foto itu berkonteks seni, itu beda lagi. Jadi yang kuat itu nilai beritanya, bukan yang lain,” kata Ed. ”Sebuah foto itu harus berbicara dengan yang melihatnya. Jadi foto itu punya bahasa sendiri,” kata Yudhi Soerjoatmodjo, redaktur foto Tempo 1988-1992.
Dengan demikian, foto Tempo tak perlu banyak caption atau keterangan mendetail. Tempo lalu memperkenalkan penulisan caption bergaya celetukan yang kerap jenaka. ”Yudo yang loncat dan bola yang masuk: Terbang tak di langit, berenang tak di air” adalah caption untuk foto seorang kiper yang terbang dan melihat bola masuk ke gawangnya. ”Iswadi (kanan) melawan Jepang: Bagi lawan, umpan itu bagai martabak,” tentang foto pemain bola Iswadi Idris.
Caption yang lebih panjang dipakai di rubrik Halaman Bergambar, esai foto dua halaman. Halaman yang muncul di awal 1970-an itu kemudian mati suri. Pada 1989 Yudhi membangkitkan lagi esai dengan membuat rubrik Kamera. Yudhi bahkan mengharuskan fotografer dalam sebulan menghasilkan satu karya esai foto.
Ini penting untuk meningkatkan kualitas fotografer. Sebagai contoh, fotografer Rully Kesuma, yang sekarang menjabat Redaktur Foto Koran Tempo, membuat esai foto kompleks pelacuran di Surabaya. Demi mendapatkan foto yang dahsyat, Rully harus memotret berminggu-minggu di dalam kompleks tersebut.
Tuntutan kualitas itu membuat foto-foto Tempo sempat menjadi trendsetter fotografi pers di Indonesia. ”Paling tidak, waktu itu kita punya obsesi ada yang namanya brand foto Tempo. Dan itu dicemburui oleh banyak media. Banyak yang enggak demen. Ya, kecemburuannya terasa di lapangan,” kata Ed.
Hal yang paling terasa adalah saat fotografer Tempo di kemudian hari—majalah atau koran—berkali-kali memenangi perlombaan fotografi jurnalistik. Arie Basuki, yang bergabung dengan Tempo pada 2002, bahkan pernah memenangi sembilan perlombaan dalam setahun. Yang paling dia kenang adalah foto operasi pembersihan tenaga kerja Indonesia di Kuala Lumpur, yang memenangi Mochtar Lubis Award 2008.
Foto tentu tak hanya bisa diperoleh di lapangan. Pada 2000-an, fotografer Hendra Suhara memperkenalkan foto profil yang menggunakan properti dan lampu studio. Di majalah gaya hidup, ini sering dilakukan. Tapi tidak untuk majalah berita di Indonesia. Ia, misalnya, memotret Dewi Lestari berendam di dalam bathtub yang penuh biji kopi atau Christine Hakim di dalam cangkang telur raksasa. Tak selamanya eksperimen ini berhasil. Sering kali foto berkonsep ini stating the obvious, menegas-negaskan yang sudah jelas.
Tapi hal itu justru membuat majalah ini yakin perubahan dan eksperimen harus terus dilakukan. Jika berhenti atau takut melakukan pembaruan dalam fotografi, Tempo pasti ditinggalkan oleh majalah lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo