Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ketika Gambar Lebih Berbicara

Infografis menjadi kekuatan Tempo untuk memberi konteks peristiwa. Standar akurasi pun tak kalah ketat.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAH satu sudut di lantai IV gedung majalah Tempo. Inilah pojok paling tertib di antara semua ruangan redaksi. Tertib bukan karena rapi dan tertata, tapi karena begitu sunyi. Tidak seperti ruang redaksi di bawah yang sering dibisingkan teriakan, di sini semua orang bekerja dalam diam. Yang bergerak-gerak hanya tangan mereka, sibuk memelintir dan menggeser tetikus.

Di layar komputer, rangkaian gambar disusun satu per satu. Ada tabel, ada gambar denah gedung, ada pula gambar urut-urutan peristiwa yang disusun meniru gaya komik Asterix.

Ruang inilah jantung pembuatan semua ”efek visual” di majalah Tempo. Kami menyebutnya tim desain. Tugas mereka tidak hanya membuat ilustrasi, tapi juga merancang seperti apa tampilan majalah yang Anda baca. Kerja mereka mirip perancang busana. Mematut-matut gambar dan desain apa saja yang pantas ditampilkan.

Jumat dinihari, batas waktu ketika mesin cetak sudah tidak sabar menunggu. Gilang Rahadian, komandan desain, sedang tegang. Ini salah satu malam paling penuh tekanan bagi orang Sunda asli itu. Ia baru saja menerima info dari redaksi yang tengah menyiapkan laporan investigasi tentang semburan lumpur panas Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Redaksi menemukan informasi baru. Ternyata, semburan lumpur terjadi bukan karena gempa yang menggoyang Yogyakarta, tapi karena kesalahan pengeboran (hal yang selalu dibantah pihak Lapindo).

Masalahnya, rangkaian fakta itu sulit diceritakan dengan kata-kata. ”Amat sangat rumit,” kata Untung Widiyanto, salah satu anggota redaksi tim investigasi, ketika menunjukkan dokumen Lapindo milik Richard Davies. Profesor ahli geologi dari Durham University, Inggris, ini memastikan semburan lumpur terjadi akibat kesalahan manusia, bukan bencana alam. ”Penjelasan dia cuma bisa digambarkan dengan infografis,” kata Untung.

Gara-gara itulah muncul dua kerutan tambah­an di kening Gilang. ”Hooii... pit diubah jadi meter, dong,” teriaknya dengan logat Sunda kental di telepon. Aha…, pit tentu maksudnya adalah feet, ukuran metriks. ”Dro, background untuk pointer jangan beureum,” kali lain ia mengingatkan si desainer.

Hasil kerja malam Jumat itu adalah infografis berjudul ”Tersangka Tunggal”.

l l l

Sudah lama Tempo mengandalkan infografis (info: informasi; grafis: gambar) untuk memperkuat tulisan. Bagi kami, ada kalanya, tulisan sebagus apa pun bisa kalah berbicara dibanding gambar. Infografis sekaligus berfungsi memberi jeda. Setelah dibombardir rangkaian kata-kata, pembaca diharapkan bisa lega sejenak ketika semua itu bisa diwakili oleh gambar.

Pada mulanya, gambar itu hadir dalam bentuk ilustrasi. Pada 1970-an, S. Prinka (almarhum) adalah ilustrator andalan di masa awal Tempo. Karya-karyanya yang berciri latar gelap dan pembelokan logika sangat khas sehingga muncul istilah ”keprinka-prinkaan”. ”Waktu saya mahasiswa selalu mengkliping ilustrasinya,” ujar S. Malela Mahargasarie, mantan Pemimpin Redaksi Koran Tempo, kini Kepala Desain Korporat Tempo.

Pada era 1980, Tempo mulai kerap menggunakan gambar untuk menjelaskan peristiwa. Salah satu infografis pertama di masa itu adalah denah tempat kematian Aldi, teman artis Ria Irawan, akibat overdosis narkotik. ”Ivan Haris (salah satu redaktur) yang mengusulkannya, karena susah disampaikan lewat tulisan,” kata Malela.

Infografis itu berhasil. Tempo makin menyadari kekuatan luar biasa dari metode penyampaian pesan ini. ”Ini juga berkah dari pikiran terbuka di Tempo. Meski kala itu Tempo adalah rumah para seniman sastra, mereka juga seniman yang mencintai seni lukis,” ujar Malela. Maka majalah Tempo tak segan mengirim Malela dan beberapa orang lainnya ke redaksi Time di New York hingga Der Spiegel di Jerman, khusus untuk mempelajari infografis.

Ketika Grup Tempo menerbitkan Koran Tempo pada 2001, kiat itu diterapkan habis-habisan. Infografis menjadi salah satu andalan di tengah pasar koran yang sudah begitu riuh.

l l l

Pukul nol-nol masih dua jam lagi. Ini periode paling sibuk di ruang desain Koran Tempo di Velbak, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Naskah sudah lama selesai. Di meja ujung, infografer Koran Tempo, Machfoed Gembong, sibuk menggerak-gerakkan tetikusnya. Ia gerah karena sudah dipelototi komandannya, M. Yuyun. ”Cepetan, Mbong,” kata Yuyun nyaris putus asa. Tak aneh, karena tim percetakan sudah berteriak-teriak menunggu.

Kala itu Perang Teluk II pecah. Gembong bertugas menggambar bagaimana pasukan Sekutu menyerbu Bagdad: strategi perang, manuver serangan, hingga persenjataan. Ini bukan kerja ringan. Setiap hari, selama tiga bulan penuh, tim desain Koran Tempo harus menampilkan infografis di halaman depan.

Untung, kerja keras itu berbuah. ”Berita perang dengan infografisnya banyak dicari pembaca, Mas,” kata Shanti Nur Patria, awak sirkulasi Koran Tempo.

Sejak itu, setiap perang adalah ”kabar buruk” bagi tim desain. Bukan karena mereka cinta perdamaian, tapi karena wajib hukumnya bagi Koran Tempo mencantumkan infografis di halaman depan.

Tapi bukan hanya perang yang melahirkan infografik. Infografik di Koran Tempo tersebar di banyak halaman, mulai halaman ekonomi, berita bencana alam, hingga—yang selalu tampil—pendukung tulisan di rubrik Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Bahkan situs online Tempo pun tak luput dari jelajah infografis. Di sini infografis diperkuat dengan animasi. Hasilnya jauh lebih hidup. Tak aneh, situs ini pada 2010 menerima penghargaan internasional tingkat Asia sebagai salah satu media online terbaik dalam infografis.

Model penyajian berita infografis ini kemudian menjadi tren di koran-koran lain. Bahkan banyak media yang ”keinfografis-infografisan”, memaksakan infografis muncul meski sebetulnya tidak perlu.

Memutuskan kapan sebuah berita perlu infografis atau cukup hanya foto memang tak selalu mudah. Di Tempo, soal ini ditetapkan dalam rapat redaksi. Biasanya, setelah tim redaksi memutuskan sebuah berita harus diperkuat grafis, tim desain mulai bekerja.

Bagi redaksi dan tim desain, ini artinya kerja ganda. Setelah selesai menulis naskah, redaktur harus aktif berdiskusi dengan tim desain. Maklum, kadang gambar yang dibuat melenceng dari angle tulisan. Atau sebaliknya, angle terpaksa diubah sehingga infografik pun harus mengikuti.

Dalam kesempatan lain, redaksi yang harus mengalah. Mereka harus membabat habis naskahnya, karena ternyata gambar dari tim grafis jauh lebih berbicara dibanding berondongan kata-kata.

Bahkan sering ada masa ketika tim naskah ”mati kutu” di hadapan tim desain. Ini, misalnya, terjadi saat tim desain Koran Tempo membuat infografis serbuan tewasnya teroris Azahari. Semua bahan sudah selesai, siap dikirim ke percetakan. Tiba-tiba Yuyun, kepala desainer, minta pengiriman ditunda. ”Tunggu, Mas. Tim infografis minta koreksi. Tadi salah bikin gambar. Harusnya senapan serbu Densus 88 pakai Colt M4, tapi yang digambar Colt M4A1.”

Astaga…, apa bedanya? Dua senapan itu sangat mirip. Saat koran dicetak, tak akan tampak bedanya. Tapi redaksi toh harus taat pada ketentuan akurasi. Untunglah, koran tak terlalu terlambat sampai di percetakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus