Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sandiaga Santri Post-Islamisme VS Ma'ruf yang Tidak Milenial

PKS menyebut Sandiaga merupakan santri post-Islamisme. Sementara itu, bagaimana strategi kubu Jokowi mendekatkan Ma'ruf ke anak muda?

12 Agustus 2018 | 13.02 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jokowi dan Prabowo kembali bertarung pada Pilpres 2019

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kata kunci “Post-Islamisme” di Google Trend ujug-ujug melonjak tajam pada Jumat dini hari pekan lalu. Dari skala 0-100, “Google Trend” memberikan skor 72 untuk pencarian dengan kata kunci tersebut. Bahkan, Sabtu, pekan lalu, “Post-Islamisme” mendapat nilai sempurna, 100.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang artinya banyak orang memang penasaran dengan kata kunci ini. Padahal, berbulan-bulan sebelumnya, kata kunci ini bahkan tidak dilirik oleh warga net. Google mencatat, pencarian kata kunci “Post-Islamisme” ini mencuat di Yogyakarta, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah. Laman pencarian ini pun menautkan nama “Sandiaga Uno” bersandingan dengan “Post-Islamisme”

Memang, terminologi “Post-Islamisme” dalam beberapa hari terakhir tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Sandiaga Uno. Kata tersebut, pertama kali keluar tidak lama setelah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mendeklarasikan Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden yang akan mendampinginya dalam Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019.

Adalah Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman yang pertama kali mengaitkan nama Sandiaga Uno dengan terminologi Post-Islamisme. "Saya kira beliau memang hidup di alam modern, tetapi beliau melewati proses spiritualisasi dan islamisasi. Sehingga saya bisa katakan saudara Sandiaga Uno sebagai sosok santri di era post-islamisme," kata Sohibul Iman, Kamis, 9 Agustus 2018, malam setelah Prabowo mengumumkan nama Sandiaga sebagai cawapres.

Bukan tanpa alasan Sohibul melemparkan pernyataan ini. Beberapa jam sebelum Prabowo mengumumkan nama Sandiaga, kondisi partai koalisi yang terdiri dari Demokrat, PAN, Gerindra, PKS, dan Partai Berkarya ini sedang di ambang perpecahan.

 

Sebabnya, Prabowo ngotot menyodorkan nama Sandiaga ke koalisi. Padahal, PKS keukeuh menyorongkan Ketua Majelis Syuro partai ini, Salim Segaf Al-Jufri. PKS ngotot mencalonkan Salim Segaf dengan alasan nama dia merupakan rekomendasi Ijtima Ulama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF).

Akhir Juni lalu, GNPF menggelar Ijtima Ulama. Hasilnya, mereka merekomendasikan Salim Segaf dan Ustad Abdul Somad sebagai cawapres Prabowo. Dengan alasan hanya ingin fokus berdakwah, Abdul Somad menolak. Makanya, PKS merasa di atas angin. Namun, Prabowo malah memilih Sandiaga.

GNPF tidak mau menyerah. Beberapa jam sebelum pengumuman, kelompok ini kembali mendatangi Prabowo. Mereka menyodorkan nama penceramah Arifin Ilham dan Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym. Tapi Prabowo tetep keukeuh dengan nama Sandiaga. Jadilah Prabowo berpasangan dengan Sandiaga untuk Pilpres 2019.

Sohibul menyebut pasangan Prabowo - Sandiaga ini dengan sebutan Nasionalis - Religius. Nasionalis merupakan representasi Prabowo. Sementara itu, kata Sohibul, “Sandiaga telah memiliki spiritualisme seperti santri.”

Bukan tanpa alasan jika PKS “menjual” Sandiaga sebagai seorang santri dengan embel-embel Post-Islamisme. Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari mengatakan ada pergeseran opini dalam pemilihan presiden. “Di pemilihan Presiden era SBY, pertimbangan pemilih masih soal program kerja,” kata Qodari, Jumat pekan lalu. “Tapi sekarang ada faktor SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), seperti agama.”

 

Isu SARA  ini, kata Qodari, muncul khususnya ketika Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 lalu. Ketika itu, Anies Baswedan berhadapan dengan inkumben Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Isu SARA seperti agama, kata Qodari, menjadi salah satu variabel utama pertimbangan pemilih. “Ada wilayah opini yang menjadi penentu dalam proses politik,” kata Qodari.

Survei Indo Barometer pada Januari 2018 menyebutkan ada lima alasan kenapa seseorang memilih calon presiden. Selain tegas dan merakyat, agama menjadi pertimbangan.

Sigi lembaga survei Poltracking periode Februari lalu juga mengamini hal ini. Dalam survei pada kurun 27 Januari hingga 3 Februari 2018 dengan melibatkan 1.200 responden, sebanyak 58,5 persen memilih agama menjadi fator paling berpengaruh dalam pemilihan.

Karena itulah, tak heran jika PKS ingin menempatkan Sandiaga sebagai santri Post-Islamisme. Apalagi, calon inkumben Joko Widodo memilih sesepuh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin, sebagai calon wakil presiden. Mesin partai koalisi Prabowo - Sandiaga yaitu PKS, PAN, Gerindra, Demokrat, dan Partai Berkarya akan menghitung faktor ini.  

Wakil Ketua Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Dewan Pimpinan Pusat PKS Sukamta menegaskan salah satu ciri Sandiaga yang bisa dilihat sebagai sosok santri post-Islamisme adalah kedekatan dia dengan tokoh-tokoh agama. "Kedekatan dengan ulama dan perilaku Islami yang menunjukkan kesalehan pribadi itu bagian tidak terpisahkan," katanya lewat pesan singkat kepada Tempo, Sabtu, 11 Agustus 2018.

Sukamta menjelaskan, ciri utama aktivis post-Islamisme adalah cenderung pragmatis, realistis, dan bersedia berkompromi dengan realitas meski tidak selalu ideal. Namun ia membantah Sandiaga atau aktivis post-Islamisme ini sekuler. Ia berujar Sandiaga dan para tokoh post-Islamisme tidak lagi terobsesi dengan penerapan ajaran Islam yang kaku.

Di lain sisi, anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra Andre Rosiade menyindir pilihan kubu Jokowi. Ia mengatakan, "Kalau kubu sebelah (cawapres) orang tua, di kubu kami (cawapres) anak muda," kata Andre di kawasan Menteng, Jakarta, Kamis, 9 Agustus 2018.

Jika merujuk pada segmen pemilih Islam, Jokowi memang unggul. Qodari menyebut, bahkan Amien Rais yang biasa mengkritik Jokowi pun kini bisa berpikir dua kali menyerang ke-Islam-an Jokowi, karena ada figur Ma’ruf Amin di sebelahnya. Serangan berbau SARA pun mulai mengendur.

Namun, sindiran Andre soal usia Ma'ruf harus benar-benar diperhatikan. Soalnya Jokowi berpotensi ditinggalkan pemilih anak muda dan kelas menengah. Pengamat Politik Universitas Padjajaran Muradi menilai pilihan calon wakil presiden Joko Widodo yang jatuh kepada Maruf Amin membuat basis pemilihnya dari kalangan kelas menengah ngambek.

Apa alasan kelas menengah dan milenial bisa ngambek memilih Jokowi? Baca kelanjutannya...

Alasannya sederhana, kelas menengah dan kaum milenial saat ini lebih melek dengan isu-isu pluralisme. “Mereka bisa meninggalkan Jokowi, tapi tidak memilih Prabowo, bisa jadi golput,” kata dia. Ma’ruf memang dianggap sebagai tokoh Islam konservatif. Salah satu pandangannya adalah menolak kebiasaan Muslim memberi ucapan Natal pada kaum Kristiani.

Untuk mencegah suara milenial yang lepas, tim sukses Jokowi memang akan kepayahan jika mempermak Ma’ruf Amin. Secara usia, Ma’ruf yang lebih banyak mengenakan gamis dan sarung sekarang berusia 74 tahun, sudah tidak bisa ditutupi. Karena itulah, belakangan Jokowi sendiri yang tampil mencitrakan dirinya dekat dengan anak muda.

Dalam beberapa kesempatan, Jokowi sering terlihat mengenakan sepatu sneaker. Bahkan, beberapa hari ini, ia mengenakan kemeja yang kekinian. Kemeja putih dengan corak tulisan yang menggelorakan semangat. “Bersih, Merakyat, Kerja Nyata”. Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan kemeja tersebut adalah desain Jokowi sendiri agar dekat dengan kalangan milenial.

Sayangnya, hingga sekarang belum ada sigi yang menandingkan Ma’ruf dan Sandiaga setelah keduanya diumumkan sebagai cawapres. Sejauh ini baru ada tiga lembaga survei yang menyinggung nama Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi.

Sigi dari LSI Denny JA, Alvara, dan Roda Tiga Konsultan berikut ini sama-sama digelar pada periode Juni sampai Agustus lalu. Hasilnya, Denny JA menyebut elektabilitas Ma’ruf Amin 21 persen. Sedangkan Roda Tiga Konsultan dan Alvara ada di angka satu persen.

Apakah Post-Islamisme bakal mengalahkan si Milenial? Simak pertarungan Jokowi VS Prabowo Ronde II di kanal Pilpres Tempo.co 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus