Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sang Pencetus Badan Bahasa

Dalam Kongres Bahasa Indonesia 1930, Sanusi Pane mengusulkan pembentukan institusi pengembangan bahasa Indonesia. Idenya terwujud pada 1948, menjadi lembaga yang kini disebut Badan Bahasa.

27 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sanusi Pane (berdiri, kelima kiri) bersama M Tabrani (berdiri, kedua kiri), Sutan Takdir Alisjahbana (berdiri, kedua kanan), Mohammad Yamin (berdiri, kanan), Armijn Pane (duduk, kiri), dan peserta lainnya di Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, Juni 1938. Foto: Dok. Museum Sumpah Pemuda

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANUSI Pane tak dapat dilepaskan dari sejarah lahirnya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa atau kerap disebut sebagai Badan Bahasa. Badan Bahasa berdiri pada 1948. Berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, lembaga ini tak hanya bertugas merawat bahasa Indonesia. Badan ini juga mengembangkan bahasa, melakukan pembinaan dan perlindungan, serta melestarikan bahasa lokal bersama pemerintah daerah.

“Lahirnya Badan Bahasa ini adalah karena pemikiran Sanusi Pane,” ujar Kepala Badan Bahasa Kementerian Pendidikan E. Aminuddin Aziz saat dihubungi pada Kamis, 25 Februari lalu. Menurut Amin, Badan Pengembangan Bahasa sebenarnya sudah mulai diinisiasi pada 1930-an saat masa pemerintahan kolonial Belanda. Namun ketika itu yang diteliti masihlah bahasa daerah. Baru setelah Sanusi aktif mengusulkan pelembagaan Bahasa Indonesia, Badan Bahasa terbentuk.

Pada 1947 digagaslah lembaga negara yang menangani pemeliharaan dan pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Ketika itu, Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Soewandi mengutus R.T. Amin Singgih Tjitrosomo untuk mempersiapkannya. Namun rencana itu tak bisa terlaksana dengan cepat. Pemerintah saat itu baru dalam tahap membentuk panitia pekerja, yang dipimpin Sutan Takdir Alisjahbana dan Amin Singgih Tjitrosomo. Pada 1948, tentara Belanda sempat menduduki negeri ini. Pembentukan lembaga bahasa pun tertunda sementara. Tapi pada 1948 akhirnya bisa didirikan lembaga otonom bernama Balai Bahasa yang berada di bawah Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. “Tugas utamanya mengembangkan bahasa Indonesia,” tutur Aminuddin.

Awalnya, Balai Bahasa yang dipimpin Amin Dahlan mempunyai empat bagian, yakni bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Madura. Pada 1952, Balai sempat menjadi bagian Fakultas Sastra Indonesia yang tugas-tugasnya dilaksanakan Lembaga Bahasa dan Budaya pimpinan Prijana. Baru akhirnya pada 1959 Balai terlepas dari kampus dan masuk menjadi bagian Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Namanya, pada 1966, menjadi Direktorat Bahasa dan Kesusastraan.

Lembaga ini tercatat bolak-balik ganti nama. Pada 1969, namanya berubah lagi menjadi Lembaga Bahasa Nasional, yang diikuti pembentukan cabang di tiga daerah, yakni Singaraja, Bali; Yogyakarta; dan Makassar. Pada 1974, LBN berganti nama menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Cabang di tiga daerah pun ikut bersalin rupa menjadi Balai Bahasa. “Namun tugasnya tetap sama, mengembangkan bahasa Indonesia,” ujar Aminuddin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sastrawan Angkatan Pujangga Baru Sanusi Pane. Dok.TEMPO/Keluarga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Atas jasanya, selain mendukung Tabrani, dalam Kongres Bahasa Indonesia untuk menggunakan nama Indonesia ketimbang bahasa Melayu, serta jasanya mengusulkan pembentukan institut bahasa Indonesia, Sanusi Pane dan Tabrani diusulkan menjadi pahlawan nasional. “Kemendikbud sejak beberapa tahun lalu mengusung Tabrani dan Sanusi menjadi pahlawan nasional. Bila Tabrani berperan besar terhadap lahirnya bahasa Indonesia, Sanusi adalah tokoh yang menginisiasi pelembagaannya,” tutur Aminuddin Aziz. Rekomendasi itu sudah disampaikan Kementerian Pendidikan ke pemerintah provinsi dan pemerintah daerah asal Tabrani dan Sanusi, yakni Pemerintah Kabupaten Pamekasan dan Tapanuli Selatan.

Bahasa Sumatera Utara berkoordinasi dengan sejumlah pihak, lalu menelusuri lokasi-lokasi yang ada dalam riwayat hidup Sanusi. Salah satunya dengan menyambangi kediaman Sanusi di Kabupaten Asahan. Di sana, nama aktivis Jong Sumatera dan Gerindo itu bahkan sudah diabadikan sebagai nama jalan. Terkait dengan itu, Dinas Pendidikan Asahan juga memberikan informasi soal sejarah penamaan Jalan Sanusi Pane pada 1980-an.

Aminuddin menyebutkan proses pengusulan Tabrani dan Sanusi sebagai pahlawan nasional sempat mandek karena pandemi dan pergantian pemimpin di Badan Bahasa. Namun, sejak akhir tahun lalu, tim pemerintah daerah sudah bergerak kembali untuk mendekati keluarga Tabrani dan Sanusi. Pemerintah Kabupaten Pamekasan sendiri sudah bergerak untuk pendataan berkas Tabrani. Data yang terkumpul nantinya akan disetorkan ke Kementerian Sosial untuk dibahas lebih lanjut oleh tim di bawah presiden.

ISMA SAVITRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus