Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Dunia Jawa Semar Lembu

Novel Kereta Semar Lembu karya Zaky Yamani menjadi buku sastra pilihan Tempo 2022. Alur paralel antara realisme-sosialis perburuhan dan surealisme mistik berbau tantrik.

8 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI mana datangnya susastra? Dari imajinasi turun ke kata. Dari mana datangnya imajinasi? Dari konstruksi historis ke pengalaman budaya. Akibatnya, pengarang tak bisa hanya “mengarang”, ia juga “dikarang” oleh sejarah kebudayaan personalnya. Pengarang menjadi obyek konstruksi susastra yang memberikannya keberhinggaan wacana, tempat ia bebas menyusun wacana, sekaligus tergantung pada keberhinggaan wacana yang dikuasai dan menguasainya. Adalah kreativitas dalam kebebasan-berhingga itulah yang akan memperlihatkan kemampuan atau keterbatasan dalam permainan bernama susastra yang digebernya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan pemahaman seperti ini, ketika pembaca menghadapi teks Kereta Semar Lembu, tidak keliru jika pengarangnya di dunia formal, yakni Zaky Yamani, dimasukkan laci lebih dulu (dan tak masalah jika “mati” di situ). Lalu, hidupkanlah narator bagian terbesar cerita ini, Semar Lembu, yang hidup dalam berbagai dimensi, dan alur cerita mengikuti kehidupannya yang keluar-masuk berbagai macam dimensi tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dimensi faktualnya adalah pembangunan jalan kereta api di Jawa yang dimulai di Desa Kemijen pada 17 Juni 1864. Ini dimulai dengan cangkulan pertama oleh Gubernur Jenderal Baron Sloet van den Beele sebagai penanda dimulainya pembangunan jalan kereta api sepanjang 26 kilometer sampai Desa Tanggung.

"Saat cangkul van den Beele melesak ke dalam tanah, saat itu pula benih ayahku menyembur masuk ke rahim ibuku. Ibuku sangat yakin akan hal itu, karena begitu cangkul itu masuk ke tanah, orang-orang bersorak-sorai dan bertepuk tangan, sementara di belakang semak-semak, hanya beberapa langkah dari tempat van den Beele berdiri, ayahku sedang kejang-kejang mendapatkan apa yang dia inginkan dari ibuku, di siang bolong."

Namun apa yang tampak faktual-historis segera disusul dengan berbagai kejadian yang lebih mengikuti “logika dongeng”, seperti yang terjadi delapan bulan kemudian, pada 17 Februari 1865, ketika bayi laki-laki yang dihasilkan dari hubungan pelacur dan pekerja rel kereta api itu lahir sambil menggenggam kerincingan. Seperti anak lembu, kerincingan itu kemudian selalu terkalungkan di lehernya, maka ia pun dinamai Lembu. 

Zaky Yamani, penulis novel Kereta Semar Lembu, di Bandung, Jawa Barat, 26 Desember 2022. TEMPO/Prima Mulia

Dari mana Semar-nya? Rupanya pandangan mata Lembu bisa menembus dimensi tempat hunian arwah-arwah gentayangan, yang mati tanpa kelayakan sebagai manusia: sudah digorok, dibantai, jika dikuburkan pun tidak didoakan pula. Nah, di antara arwah-arwah itu ada pula sosok dari dimensi lain lagi, katakanlah dimensi wayang purwa: Semar. Lembu kecil tak tahu siapa Semar, tapi suka meniru gerakannya. Para pekerja rel yang mengenali gerakan itu melengkapi namanya sebagai Semar Lembu.

Ibunya pelacur pinggir rel berumah gubuk di seberang Stasiun Kedungjati, Jawa Tengah, sejak hari pertama meluncurnya kereta api pada 10 Agustus 1867. Namun Lembu berumah di atas kereta api karena kakinya secara konkret tak bisa beranjak lebih jauh dari lantai peron stasiun. Maka biografi Lembu pun bergulir seiring dengan riwayat perkeretaapian di Pulau Jawa. Tak hanya mengikuti jalur rel ke mana pun perginya, tapi juga tumbuhnya kesadaran para pekerja rel, yang semula hanya berjudi dan mengantre pelacur sampai bunuh-bunuhan, hingga berorganisasi sebagai serikat buruh kereta api yang berhaluan komunis.

Masa hidup Lembu yang 150 tahun, dengan sosok yang selalu jauh lebih muda, sebagai manusia dan arwah gentayangan, memberi peluang kisah paralel antara realisme-sosialis perburuhan dan surealisme-mistik berbau tantrik. Ibarat sepasang besi rel yang tidak pernah bertemu, tapi dihubungkan Lembu yang hidup dalam kedua dunia itu. 

Dari dunia buruh kereta api, dengan keterbatasan pemandangan dari dekat-dekat rel, Lembu merambah sejarah politik Indonesia, bahkan berdialog dengan tokoh-tokohnya, dari Semaoen sampai Koesno, yang disebutnya akan mengalami kejatuhan politik karena kelemahannya terhadap perempuan.

Hubungan antarjenis, dalam bentuknya yang paling purba, yakni persanggamaan liar, mendapat porsi dominan dalam riwayat Lembu. Selain karena ibunya pelacur pinggir rel, lengkap dengan adegan-adegan deskriptifnya, ia pun tersemati mitos bahwa siapa pun pelacur yang menidurinya akan terkabul keinginannya, seperti punya suami orang Belanda atau harapan lain.   

Lantas, persetubuhan mistik terhadap peran wayang tak lupa ditancap dengan hadirnya Uma, kekasih Manikmaya yang sedang menjalani kutukan ratusan tahun. Dapat dikatakan terdapat atraksi juga dalam pembedaan cara bercinta dengan para pelacur, dengan Mbok Min yang disukai karena payudaranya berbau mawar, ataupun dengan tokoh seperti Durga-Umayi dari pewayangan yang menyala kebiruan bagai api kompor gas itu.

Novel Kereta Semar Lembu

Namun fragmen-fragmen erotis banal yang selalu berulang tentu menimbulkan pertanyaan, tidak adakah kenikmatan dan kemewahan budaya lain dari khalayak pinggir rel ini? Betapapun, apa yang tampak seperti bara berahi, terpadamkan secara getir oleh adegan-adegan pemerkosaan massal dalam sejarah Indonesia, yang menunjukkan bagaimana perempuan Indonesia telah menjadi korban kebiadaban tak terperi, baik oleh bangsa asing maupun bangsanya sendiri.

Sebenarnyalah novel ini berkonteks politik. Surealismenya bukan eskapisme, sebaliknya, justru jalan masuk penghadiran korban-korban kekejaman tanpa harus menunjuk rezim algojo tertentu. Hal seperti itu terungkap dalam kutipan berikut ini.

"Aku menjalani hari demi hari bersama Kunti dan kawan-kawanku sambil memperhatikan dunia manusia yang tak henti-hentinya melakukan beragam pembunuhan. Sekitar dua puluh tahun setelah kematianku, dunia hantu juga geger dengan kematian banyak orang yang tidak dikuburkan dengan baik-baik. Mereka masuk ke dunia hantu dengan leher tersayat, leher yang bengkok karena dipatahkan, atau bolong kepalanya karena ditembus peluru. Mereka adalah orang-orang dengan tubuh dirajah yang dituduh jagoan dan mengganggu keamanan."

Cukup jelas bahwa yang ditunjuk adalah episode Penembakan Misterius 1983-1985. Dua puluh tahun sebelumnya Lembu juga dibunuh beramai-ramai bersama gelombang pembantaian terhadap mereka yang dianggap komunis di Jawa sepanjang 1965-1966. Korban-korban romusha selama pendudukan Jepang juga termasuk, demikian pula korban-korban Perang Diponegoro, ribuan prajurit Mataram yang dibantai rajanya sendiri karena gagal menaklukkan Batavia, bahkan masa sebelum pembangunan Candi Borobudur. 

Novel ini berbicara tentang korban-korban, tapi tidak langsung menunjuk kekuasaan pada masa tertentu karena korban segala bangsa terdapat di dunia arwah gentayangan. Gugatan macam apa kiranya tersahihkan ketika tokoh-tokoh di luar Ramayana dan Mahabharata yang baru ditambahkan di Jawa, dari Semar, Mbah Bagong, Mbah Petruk, hingga Mbah Gareng, tidak mampu mengubah apa pun? 

Takdir sering kali terasa kejam, tapi perhitungan semesta berbeda dengan perhitungan manusia. Semesta memiliki caranya sendiri dalam memutar roda takdir, dan sering kali manusia tergilas roda itu. Tapi salahkah semesta jika ada yang tergilas? Tidak seorang pun salah dalam hal itu. Semuanya sudah diletakkan pada tempat yang seharusnya, dan itu bukan perkara kejam atau tidak. Itu perkara pilihan acak takdir siapa yang tergilas dan siapa yang tidak.”

Itu kata Mbah Gareng. Nrimo ing pandum (menerima secara tulus) berlaku bagi Lembu yang mati dibantai pada usia 100 tahun dan luntang-lantung sebagai arwah gentayangan selama 50 tahun. Setelah itu, tengkoraknya yang dipasak sepasang paku—agar cocok dengan nama Lembu—ditemukan dan dikubur baik-baik serta dianggap bukti akhir terbaik. Ini memberi harapan kepada arwah-arwah gentayangan lain yang sejak penemuan terakhir sudah 300 tahun menunggu disempurnakan.

Dibuka dengan keperkasaan teknologi yang melahirkan lokomotif, Lembu yang hidupnya menempel dengan perjalanan kereta api tidak pernah keluar dari pulau ataupun dunia Jawa. Novel Kereta Semar Lembu Zaky Yamani yang memaparkan begitu banyak korban kebiadaban manusia di Jawa dapat dipandang sebagai gugatan terhadap sikap nrimo ing pandum dalam kebudayaan Jawa—meski, sesuai dengan etika Jawa, tidaklah dituliskan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus