Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA mesti mencatat sejumlah peristiwa seni rupa yang melibatkan banyak tokoh perempuan pada 2022. Melati Suryodarmo meraih Bonnefanten Award for Contemporary Art, yang disertai pameran sejumlah karyanya di Museum Bonnefanten, Maastricht, Belanda (12 Juni-30 Oktober). Trilogi memoar Mia Bustam sudah lengkap diterbitkan pada Juni. Pada Agustus, kita bisa menyaksikan “Titicara”, pameran karya 23 perupa perempuan di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, termasuk tokoh berusia lanjut seperti Erna Garnasih Pirous (81 tahun) dan Chairin Hayati Joedawinata (74 tahun).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Victoria Kosasie dan grup Perempuan Pengkaji Seni mendapat penghargaan dalam Bandung Contemporary Art Awards yang ketujuh pada September. Kelompok Hyphen (Akmalia Rizqita, Grace Samboh, dan Ratna Mufida) pun meraih Fine Prize atas presentasi “As if there is no sun”, pameran karya-karya Kustiyah (1935-2012) di Carnegie Museum of Art, Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat (September 2022-April 2023).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masih ada sejumlah peristiwa lain. Museum Toeti Heraty Noerhadi resmi dibuka untuk publik pada akhir November. Dialita—kelompok paduan suara perempuan penyintas peristiwa 1965—beroleh penghargaan dari Akademi Jakarta juga pada November. Satu-satunya perupa Indonesia yang diundang ke Singapore Biennale 2022 yang bertajuk “Natasha” (Oktober 2022-Maret 2023) adalah Natasha Tontey. Natasha, perupa muda yang sangat aktif di lingkup global, berpameran tunggal di Auto Italia, London, pada September dan mengikuti sejumlah pameran di Bangkok, Zürich, Den Haag, Seoul, serta Istanbul.
Pada 2022, pameran tunggal Mella Jaarsma bertajuk “Performing Artifacts: Objects in Question” yang berlangsung di ROH Projects, Jakarta (19 Oktober-20 November), paling menarik perhatian. Pameran yang dikuratori Alia Swastika—salah satu juri Bonnefanten Award—ini menghadirkan karya obyek/kostum-instalasi dan performance Jaarsma dalam rentang lebih satu dekade (2011-2022) serta sejumlah lukisan terbarunya. Perkembangan karya Jaarsma ditandai pertanyaan tajam tentang identitas manusia dan budaya materialnya melalui obyek dan citra selubung tubuh. Tapi, terutama sejak awal 2000, melampaui representasi identitas khas budaya, Jaarsma menghadirkan perspektif kritisnya melalui cara pandang “antropologi, sejarah, dan kolonial”.
“Dulu, pada akhir abad ke-19, ada misionaris Belanda yang meneliti dan mencatat berbagai perihal mengenai pakaian kulit kayu di Indonesia bagian timur. Karya ilmiah itu luar biasa sekali, tapi pada saat yang sama mereka adalah penganjur yang mendorong penduduk pribumi mengenakan busana modern, meninggalkan tradisinya sendiri. Bukankah ini sangat kontradiktif?” ujarnya. Tubuh, identitas budaya, sejarah, dan antropologi kolonial atau yang asing inilah yang terus-menerus mengusik perhatian Jaarsma. Alia menganggap pertanyaan tajam Jaarsma mengenai ketiga isu itu diungkapkan justru dengan cara mendekolonisasi praktik keseniannya sendiri, memposisikan diri sebagai “orang dalam”.
Mella Jaarsma di studio miliknya di Mantrijeron, Yogyakarta, 27 Desember 2022. R. Berto Wedhatama
Selama masa Orde Baru, Jaarsma merasa lebih sebagai orang luar dalam lingkungan sosio-politik yang represif di dalam negeri. Orang luar, terlebih Londo (Belanda), itu asing dan liyan. Peristiwa 1998 yang meledak dengan kekerasan rasial membuka pintu bagi Jaarsma untuk menampilkan pandangan kritisnya atas isu-isu politik identitas yang lebih luas. Pertunjukannya yang pertama di ruang publik, Pribumi-Pribumi (1998), mengundang sejumlah bule beramai-ramai menggoreng kodok dan menawarkannya kepada pejalan kaki yang melintas di Jalan Malioboro, Yogyakarta.
Sejarawan seni Asia Tenggara, Iola Lenzi, menulis, pendekatan konseptual karya ini menghadirkan metafora untuk menerima “sang liyan” dalam konteks masyarakat Indonesia. Tertarik pada bentuk kaki kodok yang seksi—dianggap haram oleh muslim, tapi makanan yang digemari kalangan Tionghoa—Jaarsma keluar dari cangkang tegang “luar/dalam”-nya sendiri dan menelusuri isu politik identitas yang makin marak di dunia global selepas peristiwa 9/11. Tidak penting lagi untuk merasa sebagai Londo, liyan, pendatang, atau orang luar, Jaarsma justru mengolah identitas “luar/dalam”-nya untuk tema-tema keberbedaan dan identitas budaya dalam kondisi pascakolonial yang menantang. Dalam dua dekade terakhir, tulis Lenzi, Jaarsma terus mempraktikkan pendekatan “metodologi sarat ekspresi” seperti itu.
Lihatlah, misalnya, karya Until Time is Old (2014) dan I Owe You (2017). Yang pertama adalah karya obyek instalasi yang dikenakan dua performer dengan bahan kain sebagai kostum yang longgar sekaligus saling terikat dan selubung kepala yang menjulang berbahan bulu babi (Echinoidea), seperti arsitektur wuwungan atau atap rumah. Sosok manusia sepenuhnya diidentifikasi dengan identitas balutan yang menempel pada tubuhnya. Tapi bagian luar mengontrol eksistensi yang ada di dalam. Karya I Owe You—obyek kostum pertunjukannya dari bahan kulit kayu murbei—seakan-akan hendak menunjukkan rasa bersalah atas punahnya tradisi panjang pembuatan pakaian asli di Nusantara sebelum tekstil atau tenun ditemukan.
Tidak ada negeri sekaya raya Indonesia dalam hal kekayaan tradisi dan keberagaman penggunaan material penutup tubuh. Tradisi itu berhubungan dengan kepercayaan, ritual, adat, lingkungan, dan pengetahuan-pengetahuan lokal. Masih dapat dijumpai hingga hari ini tradisi tertentu yang menganggap jenazah seseorang mesti ditutup semua, sementara tradisi lain justru menggambarkan orang mengenakan sedikit penutup tubuh dalam kehidupan sehari-hari. Di suatu daerah, berlaku hukum syariah yang mengharuskan perempuan berjilbab dan melarang mereka mengenakan celana ketat. Tapi punk rocker laki-laki boleh mencukur rambutnya dengan gaya mohawk. Dalam masyarakat lain, perempuan membiarkan payudaranya terbuka, tapi para laki-laki menutupi penis mereka.
Pada 2017, Jaarsma berkesempatan menjalani residensi di Weltmuseum Wien, Wina. Di sana dia mendapati sejumlah besar koleksi antik berupa bahan selain kain tenun dari berbagai wilayah di Nusantara. Ada penutup kemaluan dari batok kelapa dan jaket prajurit dengan hiasan kerang dari Sulawesi. Tradisi penutup tubuh, kapan pun dan di mana pun, berhubungan dengan sejarah dan simbol budaya lokal. Jaarsma bertanya, “Apa artinya menjadi manusia? …. Tidak mungkin memiliki pandangan obyektif atau netral terhadap orang lain…. Saya selalu tertarik pada bagaimana kita memposisikan diri kita, berhubungan dengan lingkungan dan mempertimbangkan ruang. Apa itu ruang privat, apa itu ruang publik, dan apa itu ruang bersama?” Penjelajahan karya-karya Jaarsma yang sangat kreatif untuk menghadirkan lapisan makna baru dalam wacana seni kontemporer melalui artefak dan material vernakuler mengingatkan pada pendekatan dalam ranah antropologi interpretif. Antropologi semacam ini, tulis Clifford Geertz, adalah upaya memahami pemahaman-pemahaman yang justru bukan bagian dari diri atau pemahaman kita sendiri.
Pameran Performing Artifacts: Objects in Question Di ROH Projects,Jakarta, 11 November 2022. TEMPO/Magang/Martin Yogi Pardamean.
Lihatlah, misalnya karya instalasi-pertunjukan Pure Passion-After Murni (2016) yang menantang anggapan-anggapan normatif mengenai ruang privat dan publik terkait dengan tubuh perempuan. Seorang penampil perempuan berdiri diam agak di pojok, sudut terbaik untuk memandang kehadiran semua pengunjung pameran, mengenakan kostum kulit kambing dan menonjolkan sepasang payudaranya yang melorot digayuti buaya. Terinspirasi sebuah lukisan karya Murniasih, Jaarsma menunjukkan simpatinya yang mendalam atas tema keterbukaan tubuh pada sejumlah besar karya pelukis tersebut. Tubuh (perempuan) adalah ketegangan antara passi, kehidupan, sekaligus tabu, diskursus sosial, dan identitas politik. Tapi Jaarsma juga membuka ruang lebih longgar, termasuk humor, dalam narasi-narasi besar. Karya instalasi dan videonya, Lubang Buaya (2014), mengundang pengunjung pameran memasukkan kepala ke obyek instalasi mulut buaya seraya mendengarkan rekaman obrolan santai dua orang mengenai genosida 1965.
Pada bagian terdepan ruang pameran ROH, Jaarsma menyuguhkan Animals Have No Religion (2011). Dua penampil perempuan yang mengenakan kostum instalasi beranjak perlahan dengan atribut empat kaki binatang—seakan-akan makhluk yang belum lama mampu berjalan tegak—menunjukkan ciri hewan primata. Jaarsma telah menggugah kita pada budaya-budaya lama, transformasi, dan kepunahannya melalui perjalanan sejarah dan praktik kolonial yang panjang. Apakah karya Animals adalah gambaran antropomorfisme, tafsir seniman atas fenomena nonmanusia ke dalam terminologi manusiawi? Atau tindakan estetis sebagai kulturalisme, pencarian makna seni melalui atribut-atribut nonbudaya? Apakah berbagai citra atau selubung kulit luar yang ditampilkan Jaarsma dengan sangat menantang bukan sekadar gejala luar tubuh, melainkan turut menentukan perkembangan atau kondisi moralnya? Batas-batas itu tidak tampak tegas. Namun derasnya arus populisme dan politik identitas dengan bendera agama dalam dunia kontemporer pascakolonial belakangan ini jelas menjadi perhatian Jaarsma.
Mella Jaarsma, yang lahir di Emmeloord, Belanda, pada 1960 telah menghabiskan lebih dari separuh usianya tinggal di Indonesia. Ia mempelajari seni rupa di Minerva Academy of Visual Arts di Groningen, Belanda, kemudian di Institut Kesenian Jakarta dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada pertengahan 1980-an. “Jika masih menetap di Belanda,” tuturnya, “saya mungkin akan tetap seperti teman-teman seniman saya yang bekerja di dalam studio, cenderung formalis dan berada di lingkungan yang lebih tertutup, dibandingkan dengan apa saja yang telah saya temukan dan alami di sini.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo