Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Satu Cerita, 14.600 Hari

Tradisi menerbitkan ”kecap dapur”—suplemen khusus berisi kegiatan di dapur belakang—terus dipelihara Tempo hingga usia 40. Kali ini menu diracik dengan resep untuk publik untuk republik.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMSIL Barat yang bilang life begins at forty–hidup dimulai pada umur 40–rasanya tak padan untuk Tempo, yang berhari jadi ke-40 pekan ini. Tak ada alasan hebat, bukan juga sok sentimental. Setiap tahun, setiap minggu, bahkan setiap saat merupakan tonggak penting: kerja jurnalistik harus terus dilangsungkan. Tapi 40 tahun memang usia yang perlu disyukuri, seperti awal dari penggalan perjalanan untuk memasuki sesuatu yang diharapkan lebih baik.

Bermula pada 6 Maret 1971. Tapi ini juga sekadar penanda. Tempo sebagai proses lahirnya gagasan dan ide pemberitaan sejatinya berlangsung tiap-tiap hari, pekan, bulan, tahun, dekade. Dia lahir dari ide cerita, lalu diwujudkan–embodied–ke dalam produk-produk jurnalistik. Tapi sejarah media ini bukan hanya soal meracik berita. Di dalamnya ada jejak ”kekerasan” pemerintah terhadap media, kisah ikhtiar empat dekade untuk menyumbang sedikit perbaikan pada negeri.

Para pendiri meletakkan fondasi Tempo dalam ”Azas Djurnalisme” yang ditulis Goenawan Mohamad dalam nomor perdana majalah ini. Raga Tempo berkembang dalam waktu, macam batang pohon yang menjuntaikan cabang dan ranting. Dari satu mingguan berita bergambar, kini menjadi satu kelompok media–merentang dalam rupa mingguan berbahasa Inggris, koran, berita online, hingga majalah gaya hidup. Tapi intisari asas itu selalu sama, menjadi semangat yang menghidupkan. Ibarat api di atas kandil yang diupayakan tak kunjung padam–bahkan di masa-masa Tempo rebah ke tanah, mati suri beberapa kali di masa bredel.

Di dalam asas itu pula kita menemukan semangat independensi, niat baik, sikap adil, dan tak memihak satu golongan. Maka jadilah publik sebagai kiblat utama sajian berita Tempo, sejak zaman para ”kakek guru” menulis berita dengan mesin ketik, hingga kini, generasi terbaru mengirim laporan via BlackBerry.

Kepentingan publik, serta Indonesia yang lebih baik, diperkenalkan kepada setiap wartawan. Maka tak mengejutkan, ketika kecap rasa 40 tahun ini dirancang, publik dan republik pun menjadi arah utama laporan. Toriq Hadad, kini Kepala Pemberitaan Korporat dan Direktur Produksi Kelompok Tempo Media, memimpin rapat itu di Temprint–percetakan kami–Palmerah, Jakarta Barat, pada November 2010.

Duduk di ruangan itu tiga bekas pemimpin redaksi yang telah beralih tugas menjadi anggota direksi: Bambang Harymurti dan Toriq Hadad, yang pernah memimpin majalah Tempo–baik versi Indonesia maupun Inggris–serta S. Malela Mahargasarie, mantan Pemimpin Redaksi Koran Tempo. Sejumlah editor turut dalam rapat itu. ”Setelah berbagai ide kita bahas, tema kecap dapur yang kita putuskan untuk ulang tahun Tempo ke-40 adalah untuk publik, untuk republik,” ujar Toriq. ”Teman-teman silakan mulai bekerja,” dia menambahkan dengan singkat saja.

Kalimat singkat itu seperti lonceng pembuka gerakan panjang, dan berantai selama berbulan-bulan. Diskusi di ruang rapat, riset, riset, riset, liputan di lapangan, rekonstruksi peristiwa. Ada masa 40 tahun–atau 14.600 hari–yang harus ditelusuri. Maka riset berperan penting–dipimpin Priatna, Kepala Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT). ”Sekitar 99 persen materi Tempo tersedia dalam bentuk digital sejak 2009,” kata Driyandono, 22 tahun, anggota staf PDAT. ”Sehingga pekerjaan meriset menjadi jauh lebih mudah,” dia menambahkan.

l l l

Kecap dapur 40 tahun adalah menapak tilas kenangan panjang. Kami membaca kembali tujuh laporan serupa yang ditulis sebelum ini. Kecap dapur edisi 15 Maret 1986, yang dipimpin Bambang Bujono–pernah menjadi Redaktur Pelaksana Tempo, kini penulis dan pemerhati seni rupa–bahkan ”berani” menyuguhi pembaca satu majalah utuh berisi ingar-bingar di dapur redaksi.

Dari nomor tersebut serta enam suplemen lain, kami mendapati banyak nama–yang telah menyerahkan potongan hidupnya untuk menegakkan Tempo. Sebagian sudah berpulang, banyak yang tetap segar bugar–termasuk generasi pendiri. Ada yang terus berpaut dengan kelompok media ini, yang lain bertiwikrama sebagai ”diaspora” Tempo di media-media lain. Dan ada yang ruang hidupnya tak lagi bersentuhan langsung dengan jurnalisme–entah di satu kamar sunyi di Pekalongan, entah di tengah metropolitan riuh di Tokyo. Tapi dari mereka, dari deretan nama itu, bata setinggi 40 tahun ini disusun.

Sesekali ada saja yang menggoda: apa gunanya menerbitkan suplemen khusus ulang tahun? Membuat pembaca lebih akrab dengan kerja kami. Kalau jawaban itu dirasa terlalu serius, kami punya alasan yang lebih enteng: ini sebuah kecap dapur–yang kita tahu menjadi penyedap penting promosi sebuah merek.

Bentuk laporan jenis ini memang melahirkan jebakan, sejenis sweet temptation yang ”berbahaya”: orang jadi tergoda menulis catatan prestasi serba narsisistis. Kelakar ini dengan tepat melukiskan situasi itu: hanya ada kecap nomor satu.

Dan begitulah tekad kami ketika laporan ini disusun: membotolkan kecap nomor satu–sembari, nah, ini dia sulitnya, menjauhkan aneka godaan sanjung-menyanjung. Mudah? Tepatnya, tidak! Dua editor pelaksana ditugasi menjadi kepala proyek: Budi Setyarso, Redaktur Pelaksana Desk Nasional Majalah Tempo, dan Yos Rizal Suriaji, Redaktur Pelaksana Desk Internasional Koran Tempo.

Strategi disusun, rapat-rapat difokuskan–demi menjaga agar tulisan tak melenceng ke jalur ”pemujaan diri”–yang mungkin tak selalu berhasil. Dicarilah sejumlah pilar Tempo yang dipandang paling kuat–untuk diceritakan, dan bukan sekadar menampilkan para juru belanja dan juru masak berita.

Anton Septian, kini 30 tahun, satu wartawan dari generasi termuda, melukiskan salah satu pilar itu, sembari berjalan menjemput motornya di parkiran Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, suatu malam. ”Sikap independen Tempo lewat aneka laporan investigasinya telah menerbitkan impian saya menjadi wartawan,” katanya. ”Hanya tak pernah terbayangkan menjadi wartawan Tempo–yang pada awalnya saya rasa mustahil dijangkau,” ujarnya sembari tertawa renyah.

Ya, anak muda macam Anton Septian dan ratusan lainnya datang dan pergi dalam 40 tahun terakhir. Mereka menyangga pilar investigasi dengan banyak cara dan upaya. Banyak yang kuat–dan banyak yang patah hati, tapi hidup toh kudu terus berlangsung.

Pilar investigasi hanya mungkin tegak bila disangga pilar independensi. Dan keduanya dapat dipatri, ditularkan, bila ada pendidikan yang sungguh dan sinambung. Nama Yusril Djalinus, wartawan senior yang berpulang pada 2009, layak disebut dengan hormat sebagai arsitek pendidikan Tempo.

Sikap egaliter di ruang redaksi salah satu hasilnya. Juga keputusan ”berani miskin”, yang dalam istilah Anton, ”Dapat saya kompromikan sebagai konsekuensi menjadi wartawan Tempo.” Jadilah ketiga pilar itu, independensi, investigasi, dan pendidikan, garis utama laporan kecap dapur ini. Ditambah elemen keempat yang tak kalah penting, yaitu bisnis.

l l l

Kami percaya, selalu percaya, bahwa media independen bukan kontra terhadap bisnis yang sukses, being well off. Kejayaan ekonomi generasi Kuningan–begitu kami menyebut Tempo prabredel 1994–dan resureksi perlahan generasi Proklamasi-Velbak, ini julukan Tempo pasca-Oktober 1998, dengan terang mencerminkan hal itu.

Claude Angeli, kini 80 tahun, legenda investigasi Prancis dan Pemimpin Redaksi Le Canard Enchaine, salah satu koran satire paling sohor di Eropa, mengakui hal itu kepada Tempo di Jenewa dalam wawancara pada April 2010: ”Jurnalisme investigatif adalah bisnis menguntungkan. Yang kita perlukan hanya cerita jujur dan memikat, lalu biarkan pembaca yang menghi­dupi kita.” Setiap Rabu pagi, warga Prancis berebut Le Canard–koran mingguan ini menolak segala iklan demi independensi–yang laris macam pisang goreng Kalimantan, dan memberjayakan Le Canard sepanjang 40 tahun terakhir.

Sulit menjadi sempurna, dan kami tak pernah bermimpi sanggup menjangkaunya. Tapi setiap hari ada ikhtiar untuk memperbaiki kekurangan. Toh, usia 40 tahun barangkali waktu yang tepat untuk menyatakan sebuah harapan besar: jika ada umur panjang, kami ingin generasi-generasi berikut akan mengantar Tempo beserta ”Azas Djurnalisme” sampai seribu tahun lagi–siapa tahu?

Selamat menikmati isi dapur Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus